Falsafah
Legislatif dan Dualisme Kepemimpinan
Masduri ; Akademikus
Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya
|
SINAR
HARAPAN, 05 November 2014
Dunia politik kita kembali dibuat gaduh dualisme kepemimpinan
DPR. Dua kubu yang berseberangan; Koalisi Merah Putih (KMP) yang pada
pemilihan presiden (pilpres) mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan
kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK).
Kubu DPR pendukung Prabowo-Hatta telah melalap habis semua kursi
pemimpin DPR, sedangkan kubu DPR Jokowi-JK tak kebagian posisi penting sama
sekali. Akhirnya, DPR kubu Jokowi-JK ngamuk, berbuntut dengan munculnya pemimpin
DPR versi KIH. Mereka dengan segenap alasan bertindak atas nama kebaikan
hidup rakyat. Alasan baik dan buruk mereka hadirkan. Seolah-olah mereka
pemilik tunggal republik yang dibangun dari peluh, harta, hingga darah para
founding fathers.
Publik sebenarnya sudah tak begitu percaya dengan politikus,
sebab apa pun alasannya, di balik itu semua ada kepentingan politis yang
dirancang, baik kepada KMP atau pun KIH. Namun, cara bermain politikus sangat halus—meski
yang terakhir ini begitu sangat keras—seolah-olah tak tampak di hadapan
publik. Tanpa bermaksud berpihak, kita penting membaca problem dualisme ini
dalam kerangka pembangunan negara yang berkeadaban. Sebuah landasan filosofis
pembentukan negara yang dimaksudkan sebagai jalan bersama menuju hidup sejahtera
dan berkeadilan.
Dalam filsafat politik, sedikitnya ada dua filsuf penting yang
mengurai filosofi tentang terbentuknya negara, yakni Thomas Hobbes dan John
Locke. Dalam karya besarnya yang bertajuk Leviathan, Hobbes
berpandangan, negara lahir dari
keinginan untuk menghalau kekacauan hidup akibat sifat dasar destruktif
manusia, yang dalam bahasa yang sangat terkenal, Hobbes menyebut homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Itu karena sifat dasar destruktif ini akhirnya melahirkan bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).
Tentu saja begitu menakutkan bagi manusia bila perang antara
sesama terus terjadi karena mereka terus-menerus akan kehilangan generasinya
akibat peperangan. Karena itu, negara dibangun dengan dasar semangat
kebersamaan guna mencapai kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan hidup.
Warga sebuah bangsa menyerahkan hak-haknya pada negara sehingga negara berada
di posisi yang tinggi. Tidak boleh ada satu orang pun yang mampu melampaui
kuasa negara.
Pandangan Locke tentang terbentuknya negara dapat dilacak dalam
bukunya yang berjudul Two Treatises of
Civil Government. Locke secara sistematis menguraikan tahap perkembangan
masyarakat hingga terbentuknya negara. Ada tiga tahapan penting, yakni
keadaan alamiah (the state of nature),
keadaan perang (the state of war),
dan negara persemakmuran (commonwealth).
Pada tahap alamiah, Locke berbeda pandangan dengan Hobbes.
Mulanya bagi Locke, masyarakat itu hidup harmonis sebab semua memiliki
kebebasan dan hak yang sama. Namun, ketika lahir mata uang, yang dahulu dalam
interaksi sosial-ekonomi masyarakat menggunakan sistem barter, mulailah
muncul hasrat manusia menguasai hak-hak ekonomi.
Kompetisi terjadi secara besar-besaran. Semua manusia ingin
menjadi paling kaya sehingga terjadilah perang. Perang tentu tak disuka maka
masyarakat mengadakan perjanjian guna melahirkan negara persemakmuran, yang
menjamin setiap hak warga negara hidup damai dan sejahtera.
Kuasa Negara
Negara tidak bisa menjalankan tugasnya tanpa penyelenggara maka
dibentuklah apa yang dalam bahasa kenegaraan kita disebut pemerintah (government). Pemerintah, meminjam
bahasa Aristoteles, harus mengedepankan kepentingan umum dan keadilan. Itu
karena pemerintah memiliki tugas memberikan kesejahteraan bagi kehidupan
rakyat.
Tugas ini barangkali mengandaikan pemikiran Plato. Sebesar apa
pun persoalan kebangsaan, termasuk dahulu peperangan dan hilangnya hak-hak
rakyat, dapat diselesaikan. Besarnya tanggung jawab seorang pemerintah sudah
menjadi pengetahuan umum. Namun realitasnya, masih saja mereka banyak
mengabaikan tugas-tugasnya. Bahkan pada posisi tertentu, pemerintah—lebih
tepatnya politikus—menunggangi kedaulatan rakyat sebagai pemilik tunggal
sebuah negara. Pada konteks Indonesia, terjadinya dualisme kepemimpinan di
DPR, menandai ada kepentingan politik yang digiring guna mendapatkan kekuasaan
yang besar bagi diri dan kelompoknya. Pada posisi ini, lagi-lagi rakyat
selalu menjadi korban.
Dalam polemik dualisme ini, kita bisa melihat perbedaan
pandangan Hobbes dan Locke. Hobbes menekankan, kuasa negara itu mutlak. Tak
ada warga negara yang bisa melampaui kuasa negara. Seperti simbolisasi
Leviathan yang dihadirkan Hobbes, sebuah binatang buas dalam mitologi Timur
Tengah. Baginya, negara harus berkuasa mutlak dan ditakuti rakyatnya. Karena
itu, secara tidak langsung, Hobbes memberikan kuasa mutlak pada pemerintah
(eksekutif).
Ini karena pemerintahlah yang menyelenggarakan tugas kenegaraan.
Karena itu, penyimpangan sangat mungkin terjadi, sebab tak ada kontrol dari
legislatif.
Bagi Locke, kekuasaan negara itu terbatas pada kesepakatan yang
dibuat bersama. Sepanjang tidak atas dasar kesepakatan bersama, rakyat berhak
menggugat dan tidak menaati ketentuan negara.
Dalam rangka membatasi kekuasaan negara, Locke menghadirkan dua
sistem pemerintahan, sistem parlemen berdasarkan prinsip mayoritas serta pembagian
kekuasaan menjadi tiga unsur; legislatif, eksekutif, dan federatif.
Pragmatisme Politik
Tak jauh berbeda dengan Locke, negara kita menggunakan sistem
pemerintahan melalui pembagian kekuasaan, legislatif, eksekutif, dan
yudikatif yang dikembangkan Montesquieu dengan sebutan trias politica. Konsep
trias politica banyak digunakan di berbagai negara, sebab dianggap paling
aman dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, kita disuguhi drama
politik atas polemik dualisme kepemimpinan DPR versi KMP dan KIH. Mereka
menandaskan, kelompoknya berpihak pada rakyat, tetapi sejatinya sedang
menjungkalkan rakyat pada jurang kematiannya karena elite legislatif sibuk
mengurusi kekuasaan ketimbang upaya penyejahteraan rakyat.
Kuasa politik yang diberikan rakyat saat pemilihan legislatif
disalahgunakan demi kepentingan kelompok, yang sebenarnya lahir atas
kekecewaan karena kalah dalam pilpres dan tidak mampu menguasai parlemen.
Mulanya KMP menguasai kepemimpinan DPR dan MPR. Jadi, muncul spekulasi, tugas
legislatif yang sebenarnya mengawasi eksekutif, secara khusus presiden,
dicurigai akan menjegal jalannya pemerintahan. Akhirnya, seiring waktu
berjalan, kelompok KIH memunculkan kepemimpinan DPR versi mereka.
Sesungguhnya dualisme kepemimpinan DPR ini nestapa paling nyata
dari hilangnya keadaban politik. Itu disebabkan cita-cita dasar sebuah negara
lahir atas semangat tercapainya hak-hak hidup rakyat. Dalam rumusan founding
fathers kita disebut hak-hak warga negara Indonesia untuk bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur. Bukan untuk bersolek diri dengan uang dan kekuasaan,
apalagi begitu ambisius untuk menguasai eksekutif dan legislatif. Ini karena
di balik kekhawatiran KIH pada KMP, ada kecenderungan kekuasaan yang mutlak.
Bila eksekutif dan legislatif dikuasai satu kelompok koalisi,
ancamannya adalah kecenderungan kongkalikong politik yang berakibat
disorientasi politik sebagai jalan keadaban hidup. Saya khawatir bahasa Lord
Acton ini bakal terjadi, power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut
cenderung korupsi absolut). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar