Puting
Beliung Politik
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
SINAR
HARAPAN, 03 November 2014
Tidak disangka-sangka ternyata perubahan musim di Indonesia, dari
musim panas ke musim hujan, juga diikuti munculnya dampak yang kurang lebih
sama dalam politik Indonesia setelah perubahan kepemimpinan nasional. Jika
dalam ilmu tentang cuaca (meteorologi) disebutkan perubahan musim dapat
menimbulkan dampak seperti kehadiran angin puting beliung (seperti yang
terjadi di Bogor pada Oktober) maka dalam perpolitikan nasional pergantian
pemimpin nasional menyebabkan terjadinya puting beliung politik.
Puting beliung politik yang dimaksud adalah kondisi tidak pasti
yang terjadi dalam tubuh lembaga politik formal yaitu parlemen nasional.
Konstelasi politik di DPR terbagi menjadi dua kubu, yakni Koalisi Merah Putih
(KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Pada awal periode mereka ternyata
sudah berselisih tajam, bahkan menjurus pada kondisi lembaga yang terbelah.
Sampai akhir Oktober 2014, perseteruan kedua kelompok masih dan
terkesan bertambah sengit. Selepas KMP “menang” berkali-kali, dari mulai saat
rapat paripurna pengambilan keputusan UU MD3 dan UU Pilkada, sampai dengan
pemilihan Ketua DPR, MPR, dan pemimpin alat kelengkapan dewan, KIH baru dua
kali “menang”.
Kemenangan KIH itu yakni memuluskan pelantikan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden dan berhasil menarik Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) versi Romahurmuziy ke dalam KIH. Kondisi yang
paling update adalah penolakan penyerahan daftar nama anggota dewan untuk
alat kelengkapan dewan yang berlanjut dengan penolakan terhadap pemimpin alat
kelengkapan dewan oleh KIH. Sebagai pelengkap dari aksi tersebut adalah
pembentukan pemimpin DPR tandingan oleh KIH. Di sisi lain, KMP melontarkan
wacana akan membentuk pemerintahan tandingan untuk menyamai apa yang
dilakukan KIH.
Keadaan yang dapat menjurus pada kebuntuan politik (political
deadlock) ini mengkhawatirkan. Sama halnya dengan angin puting beliung dalam
kehidupan nyata yang ditakuti banyak orang dan berpotensi merusak sekaligus
merugikan orang-orang yang didatanginya, puting beliung politik ini juga bila
tidak reda dan selesai bisa menjadi bencana bagi rakyat Indonesia.
Kesimpangsiuran kehidupan politik adalah hal yang mencemaskan karena rakyat
jengah dan takut, setelah itu rakyat juga yang terkena risikonya.
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan berlarut-larutnya hal ini
terjadi? Apakah hal ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan apa yang
terjadi di masa lampau? Bagaimana perkiraan kondisi yang terjadi ke depannya?
Tulisan ini ingin menjawab ketiga pertanyaan kunci tersebut.
Keberlangsungan ketegangan politik di tingkat elite ini terjadi
dikarenakan beberapa sebab. Pertama, rasa sakit hati elite politik yang kalah
dan tidak meraih kekuasaan dalam pemilu eksekutif (presiden-red) lalu. Sulit
dimungkiri alasan ini ada. Di dalam sejumlah pidatonya yang menggebu-gebu di
hadapan elite partai politik (parpol) di bawah bendera KMP, Prabowo Subianto,
selaku pionir sekaligus pemimpin kunci KMP, kerap kali menyinggung kekalahan
dalam pilpres, sekaligus arah perjuangan politik KMP ke depannya.
Namun yang menarik, ternyata pola lama yang pernah terjadi terulang
kembali saat ini. Sebelumnya, Megawati Soekarnoputri ketika kalah dalam
Pilpres 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), begitu kuat keinginannya
untuk berada di luar kekuasaan (kabinet SBY Jilid I dan II). Meskipun dalam
kadar yang lebih soft, sebab sakit hati itu eksis dan menjadi pendorong
terbentuknya kubu “oposisi” di parlemen selama 10 tahun. Bedanya dengan
sekarang adalah Prabowo lebih keras dan sentimen, sekaligus berambisi besar
menggoyang kursi kepresidenan Jokowi ketimbang ketika Megawati kecewa karena
kalah dalam pilpres sepuluh tahun lalu.
Sebab kedua ialah adanya parpol di dalam masing-masing kubu yang
memang tidak dapat dan sulit sekali menyatu dalam sebuah kubu. Parpol yang
dimaksud yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di KMP dan PDI Perjuangan di
KIH. Ketidakakuran ini, menurut penulis, lebih dikarenakan faktor sentimen
ketimbang faktor perbedaan ideologis di antara keduanya.
Dalam sejarahnya, memang PKS selalu berada dalam posisi
berseberangan dengan PDIP. Pasca-Pemilu 1999, PKS (saat itu masih bernama PK)
berada dalam gerbong poros tengah di bawah pimpinan Amien Rais yang berhasil
menggagalkan terpilihnya Megawati sebagai presiden dalam pemilihan di MPR. Di
masa Kabinet Jilid I dan II, PKS memilih bergabung dengan “koalisi” di bawah
SBY, sedangkan PDIP lebih memilih berada dalam jalan sunyi di luar Istana
Negara.
Sebab ketiga yakni faktor komunikasi politik yang buruk dari
pemimpin parpol di bawah payung KIH di parlemen, ditambah kekurangcerdikan
mereka dalam membuka ruang negosiasi. Faktor itu diperparah sentimen pribadi
antara Megawati dan SBY yang menyebabkan Partai Demokrat tidak berhasil
digaet masuk ke dalam KIH.
Sebab keempat adalah posisi yang abu-abu dari Partai Demokrat
masuk ke dalam kubu mana. Sejauh ini, Partai Demokrat mengaku tidak memihak
ke salah satu kubu, walaupun secara de facto Partai Demokrat lebih terlihat
masuk ke dalam KMP. Setidaknya, dengan diberinya dua kursi pemimpin, satu di
DPR dan satu di MPR, menjadi sinyalemen bahwa
Demokrat sebenarnya anggota KMP.
Lantas, bagaimana ke depannya dan apa yang mungkin terjadi?
Sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, penulis berpandangan, kalau
tidak ada niat baik untuk serius berkomunikasi secara khusus di antara
perwakilan kedua kubu, politik Indonesia akan terus dirundung awan gelap yang
dipertontonkan kepada rakyat Indonesia. Jangan sampai hal ini lantas
dibiarkan sampai melibatkan pemilik kekuasaan sesungguhnya, yaitu rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar