Legitimasi
dan Peradaban
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 05 November 2014
Sebuah sistem membutuhkan legitimasi agar keberadaannya efektif
dan berlangsung secara berkelanjutan. Legitimasi adalah pengakuan dari
masyarakat akan kemanfaatan sistem tersebut bagi masyarakat yang
menghidupinya.
Kali ini ada perlunya kita gali lagi konsep legitimasi tersebut
karena dalam seminggu terakhir ini pandangan kita terpaksa mengarah ke
Senayan, ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang selama ini kita hidupi
sebagai bagian dari kegiatan bernegara. Sejak kemerdekaan, republik ini
percaya bahwa DPR adalah tempat bagi wakil rakyat yang bertugas merumuskan
ragam peraturan yang nantinya mendorong penerapan kebijakan dan program yang
prorakyat.
Dalam tata tertib DPR, hal itu disebut sebagai fungsi
legislasi.Di sisi lain, tertanam pula harapan bahwa DPR sebagai lembaga legislatif
akan menjadi penyeimbang kekuatan eksekutif. Itu sebabnya DPR juga memegang
fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Para wakil rakyat tersebut
kemudian punya hak mengatur alokasi anggaran dan mengawasi jalannya kebijakan
pemerintah.
Karena fungsi-fungsi tersebut, adalah hal wajar akan terjadi
pertentangan sengit di parlemen. Harapannya memang para wakil rakyat yang
terdidik dan santun ini mampu untuk mengolah perbedaan pandangan itu secara
elok. Setidaknya lebih elok daripada aksi unjuk rasa jalanan atau kegiatan
main hakim sendiri. Singkatnya, jika DPR berfungsi dengan baik, masyarakat
akan menurun minatnya untuk unjuk rasa dan main hakim sendiri.
Yang meresahkan saat ini adalah pertentangan sengit di DPR sudah
mengarah pada kebuntuan komunikasi. Pertentangan antarfraksi yang terjadi di
DPR bukanlah soal ideologis atau seputar penggodokan arah kebijakan negara,
tetapi sekadar adu mulut dan saling ancam demi meraup sebanyak-banyaknya
kursi pimpinan. Kursi pimpinan dianggap sebagai pencapaian utama karena
asumsinya bisa mengarahkan agenda rapat dan menentukan keputusan. Di sinilah
muncul problem karena atas legitimasi siapakah keputusan DPR diambil?
Bukankah semua anggota DPR yang hadir di sana membawa tanggung jawab bersuara
dan punya hak berharap bahwa agenda yang mereka usulkan dapat menjadi
kenyataan?
Filsuf Aristoteles pernah mengatakan manusia adalah political
animal yang memiliki hasrat untuk mengalahkan dan menundukkan manusia lain.
Namun manusia juga makhluk sosial yang tidak bisa merasakan dan mencapai
kebahagiaan yang sesungguhnya tanpa orang lain. Manusia memiliki ikatan
sosial dengan manusia lain. Ada satu tujuan yang membawa manusia dalam
kebersamaan dan tujuan itu adalah kebahagiaan. Tidak ada satu manusia pun
dengan akal yang sehat tidak menginginkan kebahagiaan tersebut.
Tujuan bahagia hidup bersama inilah yang dipertanyakan
masyarakat saat ini. Kelihatannya para anggota DPR tidak melihat prospek
bahagia ketika mengambil keputusan; situasikondisi DPR saat ini membuat
mereka galau dan saling curiga. Hal ini ironis karena Presiden Joko Widodo
sudah membuka jalan untuk menghalau segala rasagalaudancurigatersebutdengan
menemui dan berjabat tangan dengan Prabowo Subianto, sang tokoh pencetus
Koalisi MerahPutih( KMP) yangmendeklarasikan diri sebagai oposisi Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) yang dikelola oleh partai pendukung Presiden Joko
Widodo.
Padahal jelas masyarakat berharap banyak pada DPR. Mereka
berharap anggota Dewan akan lebih tanggap pada kebutuhan masyarakat, tidak
sekadar datang, duduk, diam, dan terima gaji. DPR diharapkan mengontrol
penyelenggaraan pemerintahan. Terlepas dari apakah seseorang memilih partai
di kubu KMP atau KIH, pertimbangan mengapa mencoblos suatu partai lebih
karena keyakinan bahwa sang anggota legislatif mampu membawa kesejahteraan
yang lebih luas.
Dalam konteks global saat ini, kekisruhan di DPR ini mengurangi
kemampuan Indonesia untuk hadir lebih disegani di kancah politik global.
Alasannya bukan karena kekisruhan itu sendiri, tetapi lebih pada efek
ketidakmampuan Indonesia dalam menyajikan model peradaban modern.
Ketika Indonesia bercitacita menjadi negara maju, negara
sejahtera, negara yang disegani dan mungkin juga sangat dihormati, haruslah
disadari bahwa bukan sekadar pertumbuhan ekonomi kita yang dicermati. Ketika
hanya pertumbuhan ekonomi yang menarik perhatian negara lain, kita rentan
menjadi sekadar objek dari kebijakan ekonomi negara-negara lain. Yang
sesungguhnya digali oleh negara lain ketika suatu negara tampil fantastis di
bidang ekonomi adalah nilai-nilai pendukung kinerja tersebut. Adakah filosofi
yang dikembangkan? Adakah wujud peradaban baru yang patut dihormati sebagai
aturan main baru di dunia ini?
Artinya sistem kenegaraan di Indonesia tidak sekadar harus
berjalan lancar dengan pertumbuhan ekonomi sekian persen, tetapi juga harus
berkembang karena diayomi oleh masyarakatnya. Berkembang karena masyarakat
secara sukarela memelihara sistem tersebut, berlanjut karena menimbulkan dan
membangkitkan keyakinan akan pencapaian kebahagiaan bersama.
Satu hal lagi yang juga penting dipahami adalah mengenai
dualisme identitas anggota DPR yang di satu sisi perlu loyal kepada partai
politik (lengkap dengan garis ideologi dan arahan keputusan dari petinggi
partai), tetapi di sisi lain perlu juga mengambil keputusan sendiri secara
mandiri. Kontradiksi pemikiran ini akan selalu ada sepanjang kita memercayai
demokrasi sebagai salah satu jalan menuju kesejahteraan bersama. Namun
kontradiksi itu juga tidak dapat berlaku hitam dan putih. Ada satu waktu saat
anggota DPR patuh kepada partai politik untuk menjaga ideologi dan
konstituennya, tetapi ada pula situasi ketika pertimbangan kemandirian
berpikir anggota DPR menjadi sumber utama pengambilan keputusan.
Relativisme kebijakan itu akan tetap hadir. Salah satu cara
untuk menjaga agar tidak terjadi keputusan yang salah adalah dengan
menghormati kebebasan semua pihak untuk mengemukakan pendapat, berpikir, dan
bertindak. Pada titik ini, distorsi-distorsi (afiliasi politik, agama, suku,
keyakinan) yang dapat mencederai rasionalitas dan memiliki risiko lahirnya
keputusan yang cacat harus dikubur dalam-dalam. Di sinilah arti sesungguhnya
musyawarah untuk mufakat. Musyawarah tidak akan berhasil bila berjalan hanya
di satu arah, tetapi memerlukan kerja sama dari dua, tiga atau empat arah.
Musyawarah untuk mufakat dalam bingkai demokrasi di negara yang
menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika ini sesungguhnya punya nilai peradaban
yang sangat tinggi. Tidak ada satu pun negara di dunia yang saat ini dianggap
sukses menggapai pertumbuhan ekonomi tinggi ketika pada saat yang sama harus
mengelola kebinekaan. China punya karakter masyarakat homogen. AS yang
heterogen lebih bertopang pada sistem mayoritas suara berbasis voting. India
yang heterogen masih bergulat dengan kekerasan di level masyarakat madani
karena pejabat-pejabat politik mereka masih terlalu lekat identitas
pengambilan kebijakannya dengan suku dan agama tertentu.
Indonesia sudah sampai di tahap di mana dunia global menanti-
nanti hasil dari praktik demokrasi yang diterapkan sejak Reformasi 1998.
Kebetulan sekali pertumbuhan ekonomi global sedang melambat. Negara-negara
besar di dunia sedang mengarahkan perhatiannya ke dalam negeri masingmasing.
Inilah peluang Indonesia untuk berbenah diri, mempersiapkan konsep peradaban
baru yang akan kita usung dan promosikan sebagai alasan mengapa Indonesia
kemudian layak diakui di tingkat global sebagai suatu negara maju yang
berdaulat dan patut disegani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar