Jaminan
Kesehatan Universal
Jim Yong Kim ; Presiden
Grup Bank Dunia
|
KOMPAS,
06 November 2014
PARA pemimpin di negara
berkembang sering mengatakan mereka ingin memperbaiki daya saingnya serta
memberantas kemiskinan dan melindungi kelas menengah mereka dari kerentanan
kembali jatuh miskin. Apabila kita belajar dari negara-negara seperti Brasil,
Tiongkok, Thailand, dan Turki, keinginan itu dapat dijawab dengan
menghadirkan jaminan kesehatan universal sebagai investasi terdepan. Dengan
memberi masyarakatnya akses terhadap kebutuhan paling dasar, India adalah
negara terakhir yang memperkenalkan jaminan kesehatan universal.
Menyumbang pertumbuhan
Manfaat ekonomi dari jaminan kesehatan universal sangat luas.
Simak laporan ”Komisi Lancet tentang Investasi pada Kesehatan”, yang berfokus
pada ukuran pertumbuhan suatu negara. Laporan ini menemukan bahwa dari tahun
2000 ke 2011, belanja kesehatan yang tinggi menjadi alasan di balik setidaknya
seperempat dari pertumbuhan yang terjadi di negara-negara berkembang.
Jaminan kesehatan universal melindungi orang miskin dan hampir
miskin dari bencana ekonomi dan sosial yang bisa terjadi akibat tingginya
ongkos berobat. Hal tersebut telah memiskinkan sampai 100 juta orang per
tahun di seluruh dunia. Dengan meningkatnya pendapatan dan munculnya golongan
kelas menengah yang cukup besar, wajar apabila harapan publik semakin tinggi
akan hadirnya sistem kesehatan yang baik di negara-negara berkembang. Survei
yang dilakukan di Brasil menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan menempati
urutan teratas. Tentu memenuhi harapan publik seperti ini bukan masalah
kecil.
Teknologi medis yang mutakhir kini sudah tersedia bagi
negara-negara berkembang. Yang belum tersedia adalah kemampuan membayarnya.
Ketika sistem kesehatan mulai dirasa memberatkan beban, negara harus lebih
cerdas lagi dalam mengelola belanjanya, sambil tetap menjaga pengeluaran
dalam batasannya.
Unsur demografi juga penting. Di Tiongkok, jumlah orang berusia
65 tahun ke atas akan berlipat tiga kali dari 123 juta menjadi 330 juta pada
2050, atau seperempat jumlah penduduk. Ketika orang semakin menua, dan dengan
gaya hidup berubah, beban penyakit berat melonjak hingga 80 persen dari
masalah penyakit secara keseluruhan.
Namun, di sisi lain, banyak sistem kesehatan yang tidak siap.
Penderita diabetes naik drastis di Indonesia, tetapi hanya separuh dari
pusat-pusat kesehatan masyarakat punya alat untuk mendeteksi penyakit
tersebut. Banyak negara tak bisa menyajikan akses layanan gawat darurat yang
baik untuk penyakit kardiovaskular atau diagnosis dan pengobatan kanker.
Analisis kami tentang program jaminan kesehatan universal di 24
negara menunjukkan bahwa perlindungan dan pelaksanaan pengobatan (coverage
and implementation) paling lemah justru terjadi pada penyakit tak menular
meskipun penyakit tak menular yang mendominasi masalah kesehatan di
negara-negara berkembang.
Mengatasi tantangan
Bagaimana mengatasi ini? Salah satunya melalui pemotongan biaya
perawatan rumah sakit (admissions cost)
di negara-negara berkembang. Di Tiongkok, biaya perawatan rumah sakit pada
2003 dan 2008 melonjak hampir dua kali lipat. Tren untuk memindahkan pasien
luar menjadi pasien dalam untuk memaksimalkan penggantian biaya adalah mahal,
tidak efisien, dan tidak adil.
Namun, bagaimanapun, upaya mengurangi biaya dan frekuensi
kunjungan ke rumah sakit akan bergantung pada insentif yang diberikan.
Pengalaman Brasil dan negara lain menunjukkan bahwa peningkatan anggaran pada
layanan dasar kesehatan dapat mengurangi biaya rumah sakit. Layanan dasar
yang berbasis komunitas, yang efektif dikoordinasikan dengan jaringan layanan
sosial lainnya, dapat mengurangi timbulnya penyakit.
Selain itu, layanan dasar juga efektif mengurangi komplikasi dan
memfasilitasi akses ke berbagai layanan kesehatan dalam sistem. Merekrut dan
melatih lebih banyak pekerja kesehatan berbasis komunitas juga akan
menciptakan pekerjaan dan meningkatkan peluang ekonomi di komunitas miskin
dan terpencil. Hal ini lebih efektif untuk pembagian tugas sehingga dokter
dan perawat bisa ditugaskan lebih efisien.
Pemerintah negara-negara berkembang selayaknya juga bekerja sama
dengan sektor swasta untuk memotong biaya layanan kesehatan dan memperluas
layanan berkualitas. Saya baru-baru ini mengunjungi Grup Aier Eye di Tiongkok yang mengobati secara umum lebih dari
dua juta orang per tahun untuk masalah mata, menggunakan prosedur operasional
dan teknologi baru. Negara Bagian Uttarakhand di India kini sedang menguji
coba sebuah sistem di satu daerah terpencil yang menerapkan jaringan layanan
publik dan swasta yang terintegrasi, berbasis komunitas dengan layanan
telemedis.
Hal lain, negara-negara berkembang juga perlu mengembangkan
model pembiayaan kesehatan yang terjangkau, cerdas, dan berkelanjutan.
Thailand dan Turki telah maju beberapa langkah dengan menggunakan skema
prabayar untuk mengurangi pembiayaan tunai, skema yang dirasakan lebih
menerapkan asas keadilan. Di Filipina, kutipan pajak dari alkohol dan
tembakau berhasil menghimpun cukup banyak dana untuk membiayai perlindungan
kesehatan universal.
Banyak dari masalah yang dihadapi negara berkembang sesungguhnya
serupa dengan negara berpenghasilan tinggi, hanya solusinya yang berbeda.
Menyediakan sistem perlindungan kesehatan yang universal membutuhkan
pengembangan model layanan kesehatan publik baru serta moda pembiayaan yang
mudah beradaptasi dengan kebutuhan yang berubah. Namun, apabila kita bisa
menjawab hal tersebut, manfaatnya akan sangat besar. Kesehatan jasmani dan
rohani masyarakat akan meningkat dan jalan untuk masa depan ekonomi yang kuat
dan sejahtera akan semakin terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar