Penjual
Sate dan UU ITE
Jamal Wiwoho ; Wakil Rektor II/Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta
|
KORAN
SINDO, 05 November 2014
Dalam siaran televisi swasta nasional terlihat seorang ibu
menangis tersedu-sedu dan mengiba untuk memohon maaf dan kalau perlu bersujud
di depan presiden Joko Widodo, karena anaknya ditangkap oleh petugas
Subdirektorat Cyber Crime Mabes Polri.
Usut punya usut ternyata Muhammad Arsyad Assegaf, 24, si tukang
sate dan anak dari Ibu Mursidah itu diduga telah melakukan tindak pidana yang
cukup berat yakni melakukan pelanggaran Undang-Undang Pornografi;
Undang-Undang Informasi, dan Transaksi Elektronik serta KUHP.
Secara singkat, tindakan pidana itu karena MAA diduga telah
memuat, memperbanyak serta menyebarluaskan melalui akun jejaring sosial
Facebook yang berisi gambar/potongan-potongan gambar, foto, dan
kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan terhadap presiden ketujuh tersebut.
Akibatnya, tindakannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran,
penghinaan, dan pornografi dengan menggunakan perangkat komunikasi atau
elektronik.
Bukan yang Pertama Kasus yang menimpa MAA sebagai dampak semakin
berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia bukanlah
kasus baru dan pertama. Setidak-tidaknya masih ada dua lagi kasus serupa yang
terjadi sebagai dampak pemberlakuan UU ITE itu.
Contohnya kasus yang menimpa Prita Mulya Sari. Kehebohan publik
pernah muncul awal 2009 di kala Prita menulis melalui pesan terbatas pada
email yang kemudian disebarluaskan kepada teman-temannya. Pada email
tersebut, Prita mengeluhkan dan mempertanyakan berbagai hal sebagai pasien
atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Serpong Tangerang.
Karena RS Omni Internasional merasa telah dicemarkan nama baiknya, kasus
Prita pada 4 Juni 2009 untuk pertama kalinya diajukan ke meja hijau di
Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan dari jaksa bahwa Prita telah
melakukan pelanggaran Pasal 310, 311 KUHP dan atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Selain kasus Prita, kasus yang mendapatkan perhatian publik
sebagai dampak adanya UU ITE dalam catatan penulis kasus Florence. Sekitar
akhir Agustus tahun ini, bermula dari ketidakpuasan Florence Saulina Sihombing,
seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada, atas layanan SPBU di Yogyakarta.
Guna menumpahkan kekesalan tersebut, Florence kemudian menulis di akun Path
dengan kata-kata yang membuat sebagian besar masyarakat Yogyakarta memerah
daun telinganya.
Dalam akun Path tersebut, mahasiswi program Notariat UGM itu
menulis antara lain: Jogjamu terlalu membosankan; Jogja sucks; Jogja
membosankan; Apalah Jogja tanpa UGM; oh Sultan, plis mengertikah; Jogja
miskin dan tak berbudaya; teman2 Jakarta-Bandung jangan tinggal di Jogja ,
dll.
Kicauan dalam Path tersiar ke akun Twitter, Facebook, WhatApps,
Line, dan berbagai media sosial lainnya sehingga dengan sangat cepat pula
kicauan Florence tersebut mendapat tanggapan yang sangat beragam, baik pro
maupun kontra.
Mengantisipasi berbagai kemungkinan yang timbul dan dengan
kurang kooperatifnya mahasiswi program notariat tersebut, polisi melakukan
langkah cepat dengan memanggil, meminta keterangan dan akhirnya menahan
Florence (walaupun dalam dua hari berikutnya dilakukan penangguhan
penahanan).
Dalam skala yang sama, walau agak berbeda kualitasnya ketiga
kasus tersebut (kasus MAA, kasus Prita, dan kasus Florence) secara normatif
sandaran yang dipakai oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim)
dalam menangani kasus tersebut sama. Penegak hukum mengenakan ketentuan
Pasal310ayat (2) atau311KUHP tentang delik penghinaan yang disiarkan di muka
umum/pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun dan
denda Rp4.500 (empat ribu lima ratus rupiah) serta UU No 44 Tahun 2008
tentang Pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun (khusus kasus
MAA).
Di samping menggunakan KUHP, karena perbuatan “kicauan” MAA,
Prita, Florence itu dilakukan dengan perangkat teknologi informasi (TI) maka
akibat pemberitaan tersebut dapat juga dikenakan ketentuan dalam UU No 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Secara spesifik, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut menyatakan
bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pelanggaran atas Pasal 27 ayat (3) tersebut diancam dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu
miliar rupiah).
Dalam tiga kasus tersebut, secara kasatmata timbul kesan bahwa
tindak pidana dalam kasus MAA, Prita, Florence adalah delik biasa, artinya
tanpa ada pengaduan orang yang merasa dirugikan maka polisi/ jaksa dalam
melakukan penyelidikan dan penyidikan bahkan melakukan penahanan pada pelaku.
Disisilain, penegakan hukum dalam kasus-kasus seperti ini masih
belum adil dan masih terkesan tebang pilih. Jika pelakunya adalah orang
“biasa”, aparat penegak hukum selalu sigap dan cepat untuk melakukan due
process of law, namun manakala pelakunya adalah orang yang kuat dan
berpengaruh maka aparat akan terkesan lamban dalam penanganannya.
“Kesan” ini seolah membenarkan bahwa hukum akan kuat menghujam
ke bawah dan akan tumpul manakala ke atas. Sementara itu, penegakan hukum
pada kasus seperti itu akan berbalik karena jika korban itu merupakan orang
yang mempunyai akses kuat maka penegakannya bersifat cepat atau sesegera
mungkin ditangani, dan sebaliknya jika korbannya orang yang tidak/sedikit
akses maka penegakannya berjalan lamban.
Sementara itu jika dilihat dari optik berbeda yakni polisi, maka
tindakan lembaga penegakan hukum untuk melakukan penangkapan hingga penahanan
itu merupakan hak kepolisian karena delik tersebut merupakan delik umum atau
delik biasa bukan merupakan delik aduan oleh karena itu ada atau tidak ada
pengaduan (dari Jokowi) polisi pasti akan mengusut tuntas delik penghinaan
yang dilakukan media sosial tersebut. Dilema UU ITE UU ITE belum
disosialisasikan dengan baik, dampaknya sering sekali masyarakat tanpa sadar
melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
dalam konteks UU ITE tersebut.
Oleh karena itu, para pengguna media sosial di dunia maya harus berhati-hati
dan bijak dalam menyebarluaskan informasinya kepada pihak ketiga. Biasanya
para pengguna media sosial pernah mendengar undang-undang ITE, tetapi tidak
pernah ada niatan untuk mencari dan membaca UU tersebut, padahal Pasal 27-37
Undang-Undang tersebut disadari dapat dipahami cukup jelas.
Namun demikian, dalam kasus MAA si penjual sate misalnya, harus
dipahami bahwa tujuan penegakan hukum pidana adalah bagaimana mengembalikan
kembali sebuah tatanan sosial yang awalnya terjadi disharmonisasi kemudian
lahir dan muncul harmonisasi menuju perdamaian bersama dalam masyarakat.
Penulis meyakini bahwa otokritik pada pengguna media sosial
tidak akan mungkin beredar sangat cepat jika tidak beredar ke media massa
karena semua orang akan menjadi tahu. Namun demikian, harus diakui bahwa
kebebasan menyampaikan pendapat di era elektronik dan digital ini harus tetap
dijamin dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan sopan santun serta
jauh dari kata-kata kotor dan makimakian, kebencian, pornografi dan hal-hal
yang bertentangan dengan etika, moral, dan hukum.
Mengakhiri tulisan ini, ada suatu hikmah yang kita petik kasus
Muhammad Arsyad Assegaf yakni bahwa dalam era globalisasi dan demokratisasi
maka sarana dan prasarana komunikasi sangatlah canggih dan dengan cepat
berkembang ke seluruh penjuru dunia. Media sosial tengah menjadi bagian di
tengah-tengah kemajemukan masyarakat dapat digunakan secara bijak untuk
kepentingan-kepentingan yang positif. Namun demikian, jika tidak
pandai-pandai memanfaatkan media sosial tersebut akan menimbulkan masalah
yang sebaliknya bahkan akibatnya lebih mengerikan bagi penggunanya jika tidak
tahu dan tidak hati-hati akan akibat hukumnya. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar