Kondisi
DPR yang Kian Terbelah
FS Swantoro ; Peneliti
dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 03 November 2014
PERILAKU sejumlah anggota DPR belakangan ini sungguh memalukan
dan memprihatinkan. Belum dua bulan mereka dilantik, sudah dua kali kisruh
dalam rapat paripurna. Sumbernya, hanya rebutan kursi pimpinan dan bukan
persoalan substansial kerakyatan.
Politik parlemen yang gaduh membuat DPR terbelah dan berisiko menimbulkan
konflik dalam masyarakat. Meski menyandang status ’’yang terhormat’’,
perilaku wakil rakyat itu sungguh memalukan, jauh dari sikap terhormat.
Nafsu berkuasa elite KMP lebih menonjol ketimbang semangat
musyawarah untuk berbagi peran dengan kekuatan KIH dalam membangun demokrasi
dan kehidupan bangsa ke depan. Lantas bagaimana kita menyikapi perseteruan
itu? Apa yang terjadi dalam sidang paripurna DPR pada Selasa (28/10) belum
pernah terjadi dalam sejarah parlemen sebelumnya.
Saat rapat paripurna digelar, Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar
sampai membalikkan meja karena meradang ketika Wakil Ketua DPR Agus Hermanto
dari Fraksi Partai Demokrat tidak mengindahkan penjelasannya. Rapat paripurna
yang kisruh itu berawal saat pimpinan rapat mengakui keabsahan daftar nama
anggota Fraksi PPP yang disampaikan oleh Epyardi Asda.
Adapun Hasrul Azwar berpendapat daftar nama itu tidak sah karena
bukan dikeluarkan oleh DPP PPP hasil Muktamar VIII di Surabaya yang
menetapkan Romahurmuziy sebagai ketua umum baru, menggantikan Suryadharma
Ali. Sebaliknya Epyardi yang memasukkan daftar nama ke pimpinan DPR
menganggap status Hasrul Azwar tidak sah karena ada SK pemberhentian Hasrul
dari DPP PPPversi Suryadharma Ali.
Saat rapat paripurna dibuka sebenarnya Sekretaris Fraksi
PPPArwani Thomafi telah meminta pemimpin sidang menjelaskan asal-usul daftar
nama itu mengingat dari hasil rapat paripurna tidak ada pergantian ketua
fraksi PPPdi DPR. Daftar yang dibacakan itu dinilainya tidak sah sehingga
harus kembali dirumuskan oleh DPPPPPyang baru.
Hasrul mengecam sikap pimpinan DPR yang sudah tahu ada konflik
di internal PPP,tetapi diam saja dan bahkan tidak mengajaknya berdialog.
Menurut Hasrul, 34 dari 39 anggota Fraksi PPP di DPR masih mendukungnya
sebagai ketua fraksi. Dia minta waktu untuk menjelaskan SK Menteri Hukum dan
HAM soal Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP PPP tapi Agus tidak
mengabulkannya.
Hasrul kemudian maju naik ke podium memperlihatkan surat
Kemenkumham kepada Agus Hermanto dan Fahri Hamzah, tapi tetap tidak digubris.
Masuknya daftar nama anggota PPP ke pimpinan DPR itu memiliki arti penting
dalam perebutan pimpinan komisi dan alat kelengkapan lain. Karena itu kini
pimpinan 11 komisi DPR sudah dikuasai KMP.
Partai nonpemerintah seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN,
dan PKS kini menguasai 313 kursi (56,5 %) sejak awal menghendaki pemilihan
pimpinan alat kelengkapan dilakukan dengan sistem paket agar bisa menyapu
bersih pimpinan komisi setelah sukses meraih semua kursi pimpinan DPR.
Lebih Luwes
Sementara partai pendukung pemerintah yakni, PDI-P, PKB, Nasdem,
Hanura, dan PPP yang memiliki 247 kursi (43,5%) menghendaki pemilihan
pimpinan komisi dibagi secara proporsional pada semua fraksi seperti periode
sebelumnya.
Karena itu saat kisruh sidang paripurna, anggota DPR dari partai
nonpemerintah mendukung masuknya daftar nama PPP. Sebaliknya, anggota DPR
dari partai pendukung pemerintah meminta pimpinan DPR tidak tergesa-gesa
mengesahkannya.
Akibatnya, DPR kini terbelah dan itu cermin buram wajah demokrasi
kita sekarang. Penempatan posisi pimpinan komisi seharusnya mengedepankan
prinsip musyawarah sebagai bagian dari budaya politik mencapai konsensus. Ada
prinsip etis dan kepantasan dalam memilih komposisi pimpinan komisi, tak
hanya mengedepankan prinsip the winner
takes all, apalagi bersiasat menguasai pimpinan parlemen.
Tapi di balik peristiwa tersebut, tampaknya perlu menjadi
catatan bagi anggota KIH supaya lebih luwes lagi membangun komunikasi
politik. Termasuk kembali merenungkan mengenai pembentukan pimpinan DPR dan
pimpinan komisi tandingan mengingat hal itu tidak sesuai dengan UU MD3.
Di mata publik perebutan pimpinan komisi dan alat kelengkapan
DPR yang terjadi belakangan ini sungguh tidak mencerminkan semangat
musyawarah sebagai budaya politik kita. Rakyat melihat semua itu sebagai
peristiwa politik memalukan dari anggota DPR karena tidak ada prinsip
kebersamaan, kebijaksanaan, dan musyawarah mufakat dalam kehidupan politik.
Akankah kehidupan politik kita akan terus ditentukan oleh balas
dendam antaraktor yang memiliki hegemoni kekuasaan di partai koalisi?
Bukankah kepentingan rakyat perlu lebih diutamakan ketimbang kepentingan
individu, kelompok, dan partai seperti terlihat dalam sumpah mereka. Kini
publik berharap agar 560 anggota DPR benar-benar menempatkan diri sebagai
wakil rakyat dan bukan wakil partai.
Sebagaimana wakil rakyat menyandang status ìyang terhormatî
sudah selayaknya mereka berani memperjuangkan aspirasi rakyat dan jangan
mengkhianati rakyat yang memilihnya. Terlebih semua itu dikuatkan dalam
sumpah anggota DPR, ’’Saya akan
memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili, di mana pun mereka berada.’’
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar