Politik,
Etika untuk Mengabdi
Yans PD Pattiwaela ; Pegiat di Lembaga Kajian Publik Institut Leimena
|
SINAR
HARAPAN, 28 Oktober 2014
Pada 28 Oktober 1928, para pemuda mengikrarkan sebuah sumpah
sehingga Indonesia yang begitu majemuk dapat bersatu. Hari ini, gaungnya
masih terdengar kuat di telinga kita. Sama kuatnya dengan sumpah yang baru
saja diucapkan para pejabat negeri ini. Namun ada sebuah pertanyaan, akankah
sumpah yang baru dikumandangkan mereka itu dapat terus menggema di hari esok?
Sumpah untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baik dan
seadil-adilnya, untuk memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang
Dasar 1945, guna menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, rutin terdengar rakyat dan rutin pula
ditemukan ingkar.
Ironis bahwa sumpah yang pernah dikumandangkan di hadapan Garuda
dan Sang Saka Merah Putih tidak sedikit yang berlalu tanpa penghayatan dan
bukti nyata. Rakyat Indonesia akhirnya pesimistis dan bertanya-tanya. Apakah
para pemangku jabatan itu mengerti apa yang sesungguhnya mereka emban?
Apakah mereka paham apa artinya berpolitik dan menjadi
politikus?
Untuk memahami tentang hal ini dengan lebih jauh, mari kita
belajar dari Johannes Leimena, tokoh
Sumpah Pemuda yang juga seorang politikus dan negarawan. Selama 20 tahun
berturut-turut ia mengabdi sebagai menteri kabinet dan tujuh kali menjadi
pejabat presiden dari 18 kabinet yang berbeda. Walaupun pemimpin kabinet
berganti, Om Yo (demikian ia biasa dipanggil), tetap dipilih untuk dapat
berkontribusi dalam pemerintahan.
Rekan-rekannya dapat dengan jelas melihat integritas dan
motivasi dasar dari Om Yo. Roeslan Abdulgani (Menko Hubungan dengan Rakyat
tahun 1956-1957), misalnya, ia menyaksikan bagaimana seorang Leimena
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
“Bagi beliau politik bukan teknik untuk berkuasa, melainkan
etika untuk mengabdi,” ujar Roeslan Abdulgani yang lalu menceritakan
pengabdian Om Yo dapat dilihat dari kepeduliannya yang tulus kepada
orang-orang di sekitarnya. Ia lalu menceritakan sebuah kejadian kecil yang
membekas dalam ingatannya.
Saat itu tanggal 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Abdulgani
sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit dengan kondisi tangan tertembak.
Ia kemudian berpapasan dengan rombongan juru rawat yang ditawan tentara
Belanda bersenjata lengkap. Om Yo berada di barisan paling depan dari para
tawanan itu.
Ketika melihat Abdulgani di atas dokar dengan kondisi terluka,
Om Yo yang sedang dalam kondisi tertawan tiba-tiba berteriak, “Roeslan! Kamu
luka-luka? Cepat ambil tetanus! Ambil tetanus!”
Saat itu Abdulgani tidak mengerti apa yang dimaksudnya. Om Yo
lalu dibentak tentara yang menawannya itu. Namun, ia tidak menghiraukannya
dan terus berteriak, “Lekas tetanus! Lekas tetanus!” Senjata pun ditodongkan
kepada Om Yo, tetapi toh masih saja terdengar suaranya, “Kuatkan dirimu!”
Kejadian ini berlangsung di sekitar Jalan Tugu Yogyakarta. Pada
sore itu telah terjadi baku tembak antara Indonesia dengan Belanda.
Perjumpaan sekilas dengan Om Yo saat krisis itu rupanya kuat melekat di hati
Abdulgani. Ia mengatakan, “Beliau dapat gusar mengenai nasib buruk orang
lain. Namun, manakala dirinya sendiri menghadapi kesulitan atau bahaya, dia
bersikap tenang. Watak demikian itu saya melihatnya secara konsisten dalam
karier Om Yo.”
Sementara itu, JE Siregar, rekan satu angkatan Om Yo dalam CSV
(cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) dan PMKI (Perhimpunan
Mahasiswa Kristen Indonesia) menyatakan, “Ia selalu memihak dan membela yang
miskin dan lemah.”
Keberpihakan pada yang lemah ini bukan isapan jempol semata
karena buahnya tetap eksis di tengah masyarakat Indonesia sampai sekarang
ini, yaitu melalui Bandung Plan (1951). Tahun 1954, istilah ini kemudian
dikenal sebagai Leimena Plan yang merupakan cikal bakal dari puskesmas (pusat
kesehatan masyarakat). Melalui skema Leimena Plan ini, rumah-rumah sakit
besar diharuskan memiliki satelit-satelit berupa poliklinik-poliklinik di
daerah pedesaan. Ini adalah sebuah tren yang diciptakan Om Yo agar terjadi
pemerataan pelayanan kesehatan.
Om Yo memang berusaha menjadi hati nurani masyarakat. Ia
betul-betul berjuang untuk kebaikan bangsa. Dedikasinya yang murni tercermin
lewat gaya hidupnya yang sederhana, seperti yang disaksikan Sabam Sirait
(politikus PDIP) yang tertulis dalam buku Johannes Leimena Mutiara dari
Maluku.
Sikap hidup Dr J Leimena yang lurus dan sederhana, seperti
pemimpin-pemimpin kita di awal Republik ini berdiri terlihat dari perabot
rumahnya yang sederhana. Dalam hal makan pun beliau tidak bermewah-mewahan.
Pernah saya lihat beliau memasak kembali nasi goreng yang belum habis dimakan
di pagi hari untuk dimakan kembali pada siang hari.
Hal yang lainnya adalah ketika ia menjual rumahnya di daerah
Menteng untuk membeli kembali rumah yang lebih sederhana di tempat lain.
Kemudian sikapnya yang tegas dalam memisahkan hal-hal yang menyangkut pribadi
untuk tidak memakai fasilitas dinas.
Sikap Om Yo tersebut tidaklah dibuat-buat. Melani Leimena
Suharli (Wakil Ketua MPR 2009-2014), putri bungsu Leimena, menyampaikan hal
yang senada tentang ayahnya. “Beliau mengajarkan untuk selalu bersikap
sederhana di dalam hidup ini.” Pada acara “Johannes Leimena Memorial Lecture”
(21 September 2010), Melani mengisahkan bagaimana ketika salah satu kakaknya
meminta untuk dibelikan sebuah setelan jas. Sang ayah—yang sedang menjabat
sebagai wakil perdana menteri II, orang nomor tiga di RI—malah menyarankan
untuk membeli jas itu di pasar loak di Jalan Surabaya untuk mendapatkan harga
yang lebih murah. Didikan yang diberikan di dalam keluarganya ini membuka
mata Melani bahwa bagi Om Yo, jabatan hanyalah sebuah amanah dan politik
bukanlah sarana untuk berkuasa.
Om Yo membuktikan, sumpah yang pernah dikumandangkannya bagi
Indonesia ketika usia muda dulu tetap bertahan dan rasa cintanya pada
Indonesia tidak luntur. Ia mengabdi kepada negara karena sebuah panggilan
suci untuk mengabdi bagi nusa, bangsa, dan negara. Om Yo berpolitik dengan
sebaik-baiknya. Saat ini ia dikenang sebagai negarawan dan pahlawan nasional.
Cerita akhir apa yang nanti dimiliki para pejabat negeri ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar