Islam
adalah Barat
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
09 November 2014
Pada zaman dulu kala orang-orang Mesir percaya ada makhluk
kombinasi seperti Sphinx, makhluk berkepala singa, bersayap garuda dan
berekor ular yang doyan makan manusia. Orang Yunani percaya ada Centaurus,
yaitu manusia yang bertubuh kuda.
Orang Yunani dan Roma juga percaya pada para dewa, makhluk-
makhluk abadi yang menguasai alam semesta, tetapi bersifat seperti manusia,
termasuk juga mempunyai nafsu asmara dan angkara murka, seperti misalnya dewi
kecantikan dan seks yang diYunani disebut Aphrodite dan dalam mitologi Romawi
kuno disebut Venus. Atau dewa laut Yunani, Poseidon, yang di Romawi disebut
Neptunus.
Mereka juga kawin-mawin dengan hewan dan/atau dilahirkan dari
hewan, seperti Ekhidna, yaitu makhluk setengah wanita setengah ular yang
merupakan istri Tifon, dan tentu saja putri duyung (mermaid) yaitu wanita cantik bertubuh ikan, yang menikah dengan
raja yang tampan. Tetapi pada 384-322 sebelum masehi, hiduplah seorang filsuf
yang pikiran-pikirannya sangat berpengaruh sampai hari ini, yang bernama Aristoteles.
Dia mengajarkan untuk pertama kalinya ilmu logika, yang isinya
antara lain adalah hukum ”All or None ” (seluruhnya atau bukan sama sekali),
yaitu bahwa sesuatu itu adalah ”X” atau ”Bukan- X”. Tidak ada setengah X,
atau campuran X dan Y.
Atas dasar itu ia membagi makhluk hidup di dunia ini ke dalam
tiga golongan, yaitu anima vegerativa
(tanaman yang hidup dan berkembang biak saja), anima sensitiva (hewan yang
hidup dan mempunyai indera), dan anima intelektiva (yaitu hewan yang hidup,
berindera dan punya fungsi mnemic
atau memori).
Maka sejak itu di Barat berkembang ilmu pengetahuan yang
dasarnya adalah logika Aristoteles dan berkembang sampai ke kawasan Timur
Tengah. Maka, sejak itu pulalah makhluk-makhluk campuran yang bisa saling
kawin-mawin tinggal menjadi mitos saja. Ilmu dan agama-agama yang lahir di
Barat kemudian berkembang dengan mengikuti logika Aristoteles.
Islam adalah yang paling konsisten dengan logika Aristoteles
itu, misalnya Islam membedakan dengan sangat jelas tumbuhan, hewan, dan
manusia dari malaikat, dan setan; dan antara dunia dengan akhirat. Tuhan di
mata Islam adalah tunggal, tidak dilahirkan dan tidak berketurunan. Tetapi di
Timur (India, Tiongkok, Jepang, zaman dulu Amerika belum ditemukan), tidak
ada Aristoteles.
Karena itu logika Timur berbeda sekali dengan logika Barat.
Tuhan yang menurut kepercayaan-kepercayaan timur disebut dewa bisa banyak
(Hindu, Konghucu). Setiap orang yang sangat baik hati, bisa dipromosikan
menjadi dewa. Dewa-dewanya orang Hindu Bali dengan orang Hindu Nepal bisa
berbeda sekali.
Berbeda dengan saya yang terkadang salat di berbagai masjid di
seluruh dunia tanpa halangan apa-apa (kecuali bahasa pengantar lokal yang
saya tidak mengerti), seorang dokter kawan saya yang kebetulan dari Bali, ketika
kami mengikuti konferensi di Nepal, langsung keluar dari kuil tempat pemujaan
Hindu lokal, katanya, ”Enggak enak,
dewa-dewanya enggak ada yang saya kenal.”
Orang Buddha, bahkan punya konsep tentang Tuhan yang berbeda
sama sekali dengan konsep agama lain, di mana yang penting adalah perbuatan
baik dari setiap orang, agar nantinya bisa reinkarnasi ke kehidupan yang akan
datang dan menjadi manusia yang makin baik dan makin baik lagi, sehingga akhirnya
moksa (bukan surga loh), seperti sang Buddha sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebelum mengenal Islam dan Kristen,
kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama Jawa dan Sumatera, sudah mengenal
animisme, dinamisme dan agama Buddha dan Hindu terlebih dulu. Di Bali bahkan
sampai sekarang agama Hindu masih merupakan agama mayoritas. Tidak
mengherankan jika pengaruh logika Timur masih sangat kental di Indonesia.
Di Jawa Tengah, misalnya, kalau ada orang meninggal, diadakan
acara berdoa bersama atau dalam istilah Islam Jawa ”tahlilan” (Jawa: ”slametan”)
pada hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, sampai ke 100 hari, bahkan 1.000
hari. Demikian pula ada kebiasaan mengunjungi makam atau berpuasa pada
hari-hari/ peristiwa-peristiwa tertentu.
Hubungan manusia dengan roh gaib, bahkan dengan Tuhan
digambarkan sebagai manunggaling kawula
lan gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan) atau yang dalam Islam disebut
sufisme yang sangat ditentang oleh golongan yang ingin mengembalikan agama ke
jalan seperti yang dicontohkan oleh para nabi pada zamannya (Islam yang dipahami
oleh pengikut aliran Wahabi dan Salafi).
Orang Indonesia juga masih percaya pada babi ngepet (siang jadi
manusia, malam jadi babi, karena mengikuti ilmu hitam untuk mencari
kekayaan), dan di ceritacerita wayang (yang aslinya dari India) ada Gatotkaca
yang bisa terbang, Bima yang beristrikan seekor ular, dan Semar si manusia
sekaligus dewa.
Kebiasaan dan kepercayaan- kepercayaan ini dilakukan juga oleh
penganut agama Kristen di Jawa, tetapi tidak oleh muslim di Sumatera Barat.
Ini tidak berarti bahwa muslim Sumatera Barat lebih beriman dan bertakwa dari
muslim di Jawa, tetapi memang agamaagama yang sama, ketika berkembang di
daerah kebudayaan yang berbeda akan melahirkan kebiasaan yang berbeda pula.
Inilah yang disebut akulturasi budaya, atau yang dalam istilah
ilmu perbandingan agama disebut sinkretisme. Sekarang ada kecenderungan orang
untuk kembali ke agama masing-masing sesuai asalusulnya. Maka semua yang
tidak berasal dari agama versi orisinal (asli dari sononya) dianggap salah, kafir, dan harus diberantas, kalau perlu
dengan perang dan darah!
Banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa musuh Islam adalah
Barat, karena kebudayaan Barat yang masuk Indonesia (Westernisasi) telah
membawa budaya imperialisme, kapitalisme, demokrasi, dan konsumtivisme,
pokoknya destruktif. Padahal, semua itu bukan agama yang bermain, melainkan
politik. Dalam kaitannya dengan logika Aristoteles, agama Islam itu sama saja
dengan agama-agama samawi lain yang berasal dari Barat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar