Subsidi
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan
Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
08 November 2014
Inilah kisah sebuah
negeri yang berputar-putar di lingkaran tanpa ujung. Perdebatan berulang-ulang
tanpa ada keputusan yang pasti atau keputusannya diulur-ulur. Salah satunya
adalah pro dan kontra pengurangan subsidi bahan bakar minyak.
Pemerintahan boleh
berganti presiden dan menteri. Namun subsidi untuk minyak tetap tinggi. Tak
sebanding dengan dana yang dikucurkan untuk menyejahterakan rakyat. Subsidi
untuk minyak selama lima tahun terakhir mencapai Rp 1.300 triliun, sementara
uang yang disalurkan untuk kesejahteraan rakyat tak sampai Rp 1.000 triliun.
Bagi pemerintah dan
yang pro pada pengurangan subsidi, analisisnya sederhana. Kalau uang sebanyak
itu terus-menerus untuk subsidi minyak, kapan pemerintah membangun jalan
lebih banyak, memperbaiki irigasi, membantu petani dengan pupuk murah,
memberikan pelayanan kesehatan, membangun sekolah, dan seterusnya. Rakyat di
desa paling menghabiskan Premium 2 liter sehari untuk ke pasar atau ke kebun
dengan sepeda motor. Sedangkan orang mampu di kota menghabiskan 20-an liter
sehari dengan mobilnya. Subsidi lebih dinikmati oleh mereka yang kaya, bukan
oleh rakyat desa.
Mereka yang menolak
pengurangan subsidi alasannya juga sederhana. Kalau harga minyak naik, ongkos
angkutan juga naik. Akibatnya, kebutuhan pokok pun naik. Rakyat semakin
menjerit karena menanggung beban lebih banyak, sementara penghasilannya tak
ikut naik. Wong cilik akan tambah sengsara, buruh-buruh tambah menderita.
Lihat demonstrasi sudah meledak di mana-mana. Semuanya demi rakyat.
Para pengamat yang
menolak pengurangan subsidi-sambil menyebut demi wong cilik-meminta
pemerintah mencari alternatif. Dari yang masuk akal tapi sulit sampai yang
abstrak. Misalnya, dibuat aturan dengan memanfaatkan teknologi agar minyak
untuk rakyat tetap murah tetapi minyak untuk yang kaya boleh tinggi. Yang
abstrak, ambil uang negara yang ditilep para koruptor, baik koruptor yang
sudah dihukum maupun yang masih dikejar. Lalu, cari energi alternatif. Apa
misalnya? Ya, pemerintah harus berpikir, dong.
Perdebatan ini terus
berulang setiap ada rencana pemerintah menaikkan harga minyak, siapa pun
presidennya. Wartawan tinggal copy-paste
berita-berita tahun lalu dengan hanya mengubah tanggal dan sedikit merevisi
nama tokoh. Karena pasti ada tokoh baru yang muncul, misalnya, mereka yang
ngebet jadi menteri tetapi nasib membuatnya di luar pemerintahan.
Lucunya, setiap
perdebatan itu pasti panjang dan membuat pemerintah bimbang untuk mengambil
keputusan yang cepat. Lagi pula wacana kenaikan harga minyak itu jauh-jauh
hari dikumandangkan, mungkin maksudnya sosialisasi, tapi yang terjadi malah
keriuhan pro-kontra. Yang diuntungkan adalah penimbun minyak, baik penimbun
kelas jeriken di pedesaan maupun kelas drum di kota dan kelas tanker di laut.
Yang dibuat sibuk adalah polisi, karena menjaga SPBU dari antrean panjang.
Minyak langka. Rakyat yang jauh dari SPBU menderita, membeli seliter Premium
Rp 20 ribu hanya untuk motor yang mengangkut hasil panen dari kebun. Dan
mereka mengomel: "Kalo memang
naik, ya, naikkan, dong, langka begini jatuhnya lebih mahal."
Tahun lalu, ketika
Presiden SBY mau menaikkan harga minyak, yang menolak keras adalah PDI
Perjuangan. Materi pro-kontra sama. Sekarang, di awal pemerintahan Presiden
Joko Widodo, pro-kontra pun sama. Bedanya, yang menolak adalah Partai
Gerindra dan sekutunya. Andai kenaikan harga sekarang batal dan dicoba lagi
tahun depan, semuanya akan berulang. Termasuk tulisan ini, tinggal ganti
beberapa kalimat saja. Duh, sebuah negeri yang tak pernah selesai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar