Energi
Baru bagi Saksi dan Korban
Maharani Siti Shopia ; Tenaga Ahli pada Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
|
KOMPAS,
10 November 2014
SELAIN mengesahkan UU Pilkada yang memicu kontroversi publik,
DPR pada 24 September 2014 juga telah mengesahkan RUU Perubahan UU No 13/2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini tentu membawa angin segar bagi
upaya perlindungan saksi dan korban di negeri ini. Pengesahan UU perubahan
terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) ini menjadi jawaban atas
kendala yang selama ini membatasi ruang dan gerak Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK).
Kendala tersebut di antaranya terkait dengan penguatan
kelembagaan, penguatan kewenangan, perluasan subyek perlindungan terutama
perlindungan terhadap ahli dan anak di bawah umur, perluasan pelayanan
perlindungan terhadap korban, peningkatan kerja sama dan koordinasi
antarlembaga, pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan terhadap
pelapor pengungkap kasus (whistle
blower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), serta penambahan ketentuan pidana,
termasuk tindak pidana yang dilakukan korporasi.
Enam perubahan besar
Selama ini kendala terbesar yang dihadapi LPSK adalah lemahnya
UUPSK, yang mengakibatkan akses saksi dan korban dalam memperoleh
perlindungan terhambat. Sebut saja soal ketentuan hak saksi yang belum
mengakomodasi bentuk perlindungan yang dibutuhkan saksi dan korban serta
belum memadainya perlindungan terhadap hak saksi dalam kategori pengungkap
kasus dan saksi pelaku.
Akibatnya, banyak saksi dalam kategori ini yang masih ragu atas
jaminan perlindungan yang akan ia terima. Sebutlah soal jaminan kepastian
hukum, prosedur perlindungan dan penghargaan atas peran mereka dalam
membongkar kejahatan, termasuk juga perlindungan terhadap saksi ahli.
Hal yang lebih penting lagi adalah terkait belum maksimalnya
dukungan pemulihan terhadap korban kejahatan. Itu karena selama ini dukungan
itu hanya terfokus kepada korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Padahal, banyak korban kejahatan lain yang butuh upaya pemulihan, seperti
korban tindak pidana terorisme dan korban kejahatan seksual.
Dengan pengesahan UU Perubahan atas UUPSK, ada energi baru bagi
upaya perlindungan saksi dan korban. Setidaknya penulis mencatat enam
perubahan besar yang tercantum dalam UU itu. Pertama, perluasan subyek
perlindungan, yang semula hanya mengatur perlindungan terhadap saksi dan
korban, kini mencakup pelapor pengungkap kasus, saksi, saksi pelaku, ahli,
dan saksi yang merupakan anak di bawah umur.
Kedua, penguatan kelembagaan LPSK. Kewenangan LPSK yang semula
tak secara eksplisit diatur dalam ketentuan UU lama kini secara detail
kewenangan itu diperkuat. Di antaranya meminta keterangan secara lisan
dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan,
meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum, mengubah identitas
terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengelola rumah
aman, memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman, dan
melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan kompensasi.
Selain itu, diatur pula ketentuan pemberian sanksi bagi pejabat ataupun pihak
lain yang mengabaikan permintaan LPSK dalam melaksanakan kewenangan tersebut.
Ketiga, perluasan perlindungan terhadap korban. Semula,
ketentuan pemberian bantuan medis dan psikososial hanya difokuskan pada
korban pelanggaran HAM berat. Namun, dalam UUPSK hasil perubahan juga memberikan
ruang bagi korban tindak pidana terorisme, perdagangan orang, penyiksaan,
kekerasan seksual, dan penganiayaan berat. Bantuan medis dan rehabilitasi
psikososial dimaksud mencakup pemulihan kesehatan fisik korban, termasuk
pengurusan dalam hal korban meninggal, seperti pengurusan jenazah hingga
pemakaman.
Singkat kata, negara melalui LPSK berupaya melakukan peningkatan
kualitas hidup korban, termasuk bekerja sama dengan instansi terkait untuk
bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, akses pekerjaan, atau bantuan
kelangsungan pendidikan, serta bentuk bantuan lain untuk pemulihan kejiwaan
korban.
Keempat, pemberian syarat spesifik dan reward khusus bagi pengungkap kasus dan saksi pelaku. Upaya ini
penting agar mereka merasa aman dan nyaman dalam menjalankan misinya demi
penegakan hukum.
Apalagi pengungkap kasus itu berpotensi mendapat pembalasan
ketika dukungan dan perlindungan yang diharapkannya minim atau tiada reward
memadai yang sebanding dengan informasi yang mereka ungkap bagi penegakan
hukum. Adapun saksi pelaku juga mendapat perluasan makna. Dalam UU Perubahan
atas UUPSK, pengertian saksi pelaku tak hanya dalam kapasitasnya sebagai
saksi, bisa juga mencakup tersangka, terdakwa, atau narapidana.
Kelima, kehadiran organ baru, yakni dewan penasihat yang diatur
dalam ketentuan Pasal 16 D UU Perubahan atas UU No 13/2006. Diakui atau
tidak, LPSK sebagai lembaga yang memiliki peran strategis dalam sistem
peradilan pidana tentu tidak lepas dari intervensi penguasa dan institusi
penegak hukum lain. Adanya sorotan negatif belakangan ini dari sebagian pihak
mengenai integritas kelembagaan LPSK serta kualitas keputusan LPSK dalam
menerima permohonan perlindungan dan bantuan dari saksi dan/atau korban yang
mengajukan permohonan kepada LPSK tentu bak gayung bersambut dengan kehadiran
dewan penasihat dalam UU Perubahan atas UUPSK. DPR menilai, salah satu tujuan
dari kehadiran dewan penasihat dimaksudkan untuk mencegah atau mendeteksi
terjadi suatu perilaku menyimpang dari pelaksanaan tugas dan kewenangan LPSK.
Keenam, penambahan ketentuan pidana dalam perubahan UUPSK
menjadi fenomena tersendiri. Kini, ketentuan penjatuhan pidana bukan hanya
terhadap setiap orang yang menghalang-halangi pemberian perlindungan terhadap
saksi dan korban, melainkan juga terhadap korporasi. Korporasi dapat dijatuhi
hukuman denda lebih berat tiga kali lipat dan juga pencabutan izin usaha,
pencabutan status badan hukum, dan/atau pemecatan pengurus.
Sebagaimana diketahui, kejahatan korporasi adalah salah satu
fenomena yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekonomian dan
teknologi. Dalam konteks perlindungan saksi dan korban, tindakan korporasi
dapat mengakibatkan saksi tak memperoleh perlindungan dan sarat intimidasi.
Intimidasi ini dapat berupa pemecatan dan upaya kriminalisasi terhadap saksi.
Perlu komitmen LPSK
Namun, keenam energi baru bagi upaya perlindungan saksi dan
korban ini hanya tinggal aturan tertulis jika tidak segera ditindaklanjuti
dengan komitmen dan keberanian LPSK sebagai institusi yang ditunjuk negara
menjalankan amanah dari UU perubahan UUPSK ini. Perubahan UUPSK ini sekaligus
menjawab tuntutan kontekstualisasi dari pesatnya kejahatan jenis baru yang
semakin canggih dan modern.
Tentu saja hal ini harus berbanding lurus dengan dukungan dan
komitmen pemerintahan baru dalam upaya peningkatan kapasitas aparat penegak
hukum dan kualitas perangkat hukum normatif yang ada. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar