Pesan
Presiden Jokowi dalam Forum “Kompas”
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
10 November 2014
HARIAN Kompas beruntung
bisa mendatangkan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan visi dan program
ekonominya kepada para chief executive
officer dari 100 emiten terbesar di Bursa Efek Indonesia, Jumat (7/11).
Presiden Jokowi yang baru 18 hari dilantik bahkan bersedia untuk berdialog
langsung dengan para CEO tersebut. Sebuah awal tradisi yang bagus.
Ada banyak isu yang disampaikan dalam diskusi hangat tersebut,
yang mempertontonkan pemahaman Presiden terhadap beragam masalah riil bangsa
ini. Sebagai contoh, sering kita mendengar keluhan mengenai biaya logistik.
Biaya mengangkut sapi dari Darwin, Australia, ke Jakarta jauh lebih murah
daripada dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, ke Jakarta. Mengapa? Itu karena
kapal yang mengangkutnya jauh lebih besar sehingga lebih efisien, atau dapat
mencapai skala ekonomis. Kalau mau bersaing, kapal dari Kupang juga harus
tidak kalah besar.
Karena itulah timbul ide membangun ”tol laut”. Bukan membangun
jalan tol di atas laut seperti di Bali, melainkan memperbesar kapasitas
pelabuhan dan menambah titik pelabuhan di laut utara Jawa sehingga Indonesia
terkoneksi dari Medan (Indonesia barat) hingga Makassar (tengah) serta Sorong
dan Jayapura (timur).
Skala besar pada kapal dan pelabuhan ini dimaksudkan agar
tercapai efisiensi atau mengurangi biaya logistik. Namun, timbul masalah,
jika kapal dari barat ke timur dapat diisi penuh muatan, bagaimana rute
sebaliknya? Apakah cukup potensi bagian timur memproduksi dan menjual barang
ke barat? Itu berarti, bagian timur juga harus punya kegiatan ekonomi yang
besar sehingga produknya bisa dijual ke barat. Kata kunci dari persoalan ini
adalah investasi di Indonesia timur harus didorong kuat-kuat.
Soal lain adalah disparitas harga. Harga semen di Jawa Rp
60.000-Rp 70.000 per zak. Adapun di pedalaman Papua, misalnya Wamena,
harganya bisa Rp 1,5 juta per zak, karena semen harus menempuh perjalanan
udara dari Jayapura ke Wamena. Tidak ada jalan darat di sana. Biaya pun
mahal.
Oleh karena itu, solusinya sebenarnya tidak saja soal kapal
besar mengangkut semen dari Makassar ke Sorong dan Jayapura, tetapi juga
bagaimana merintis jalan darat di sejumlah kota di Papua. Tanpa ada
transportasi darat, semen-semen itu tetap saja harus diangkut dengan pesawat
perintis.
Solusi lain adalah membangun pabrik semen di Papua. Secara
teknis tak ada masalah. Bahan material semen ada di Papua. Namun, dari sisi
skala ekonomis, dengan penduduk Papua hanya dua juta orang, apakah cukup
layak membangun pabrik semen? Sementara jika semen dari Papua dijual ke
Sulawesi atau Kalimantan, apakah harganya bisa bersaing dengan semen-semen
produk setempat dan dari Jawa? Inilah kompleksitas industri semen di Papua.
Dalam forum tersebut, saya juga melempar isu tentang kondisi
jalan di pantai utara (pantura) Jawa yang setiap tahun selalu rusak dan
selalu kewalahan menghadapi arus mudik Lebaran. Kementerian Pekerjaan Umum
selama ini selalu berargumentasi bahwa jalan rusak disebabkan spesifikasi
jalan lebih rendah daripada kendaraan berat yang melintas. Solusinya mudah:
kenapa tidak membangun jalan dengan spesifikasi jauh melebihi kendaraan yang
melintas di situ? Ini memang mahal. Namun, kalau alasannya tak ada biaya, itu
bisa tertanggulangi jika pemerintah berhasil merealokasikan sebagian subsidi
bahan bakar minyak menjadi belanja infrastruktur.
Sudah saatnya jalur pantura dibuatkan jalan dengan kualitas yang
sangat tinggi sehingga tidak mudah rusak gara-gara kendaraan berat mengingat
vitalnya jalur ini. Jalur ini memberikan kontribusi besar atas biaya logistik
dan inflasi. Jika masalah ini bisa ditanggulangi, bisa jadi inflasi dapat
diredam, misalnya hingga 0,5 persen per tahun.
Ide membuat tol laut Jakarta-Surabaya sepanjang 700 kilometer
sebenarnya masuk akal. Dengan pengalaman membangun 12 kilometer tol laut di
Bali seharga ”hanya” Rp 2,7 triliun, bisa diproyeksikan harga tol laut
Jakarta-Surabaya di bawah Rp 200 triliun. Ini bahkan lebih murah daripada
biaya Jembatan Selat Sunda Rp 250 triliun, dengan manfaat ekonomi yang tidak
kalah besar.
Isu lain adalah soal subsidi BBM yang sangat besar. Jika tidak
dikendalikan, subsidi BBM mencapai Rp 263 triliun tahun 2015, yang berarti
lebih besar daripada anggaran infrastruktur Rp 206 triliun. Lebih buruk lagi,
subsidi BBM pasti lebih salah sasaran. Studi IMF (2010) menunjukkan, 80 persen
subsidi dinikmati orang berpendapatan menengah ke atas yang memiliki mobil.
Jumlah mereka diperkirakan 70 persen.
Memang akhir-akhir ini harga minyak mentah sedang turun karena
kombinasi antara melemahnya permintaan dan meningkatnya pasokan. Harga minyak
Brent sekarang di bawah 90 dollar AS per barrel (sebelumnya di atas 100
dollar AS). Namun, karena para produsen minyak anggota OPEC masih dominan
menguasai pasar, diduga mereka akan menekan produksi sehingga harga kembali
di atas 90 dollar AS per barrel.
Pertumbuhan perekonomian AS yang diperkirakan di atas 3 persen
dan Tiongkok yang menargetkan tumbuh 7,5 persen tahun 2015 diduga juga akan
mendorong permintaan. Atas dasar itu, harga BBM tetap perlu dinaikkan. Hanya
saja, kenaikan tidak perlu sampai Rp 3.000 per liter. Kenaikan Rp 2.500 per
liter barangkali cukup agar inflasi 2014 masih tetap terjaga di level 7-7,5 persen.
Suku bunga tak perlu dinaikkan lebih lanjut sehingga tidak memberikan
tambahan tekanan pada likuiditas di sektor finansial.
Presiden Jokowi kini berada di Tiongkok untuk pertemuan APEC di
Beijing. Dari negeri berpenduduk 1,36 miliar itu, kita bisa belajar bahwa
harga BBM mereka tidak disubsidi, yakni Rp 16.000 per liter. Akibatnya,
pemerintah cukup punya dana melindungi daya beli penduduk miskin (90 juta
hingga 200 juta orang) melalui transfer tunai. Menaikkan daya beli kelompok
miskin akan menggulirkan multiplier effect, yang bisa membantu pertumbuhan
ekonomi. Akhirnya, membangun infrastruktur secara masif dan melindungi
kelompok miskin adalah dua tujuan mulia yang hendak kita capai lewat
kebijakan realokasi subsidi BBM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar