Obor
Politik dari Moncong Istana
Umbu
TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Juni 2014
MONCONG Istana ‘menebar’ ancaman.
Kali ini ancaman tersebut berupa tabloid Obor Rakyat yang melakukan kampanye
hitam terhadap capres Joko Widodo (Jokowi). Tabloid ‘sampah’ ini ternyata
digawangi seorang asisten staf khusus presiden bidang pembangunan daerah dan
otonomi daerah, Setyardi Budiyono selaku pemimpin redaksi tabloid. Meskipun
Velix Wanggai (atasan Setiyardi) menegaskan bahwa penerbitan Obor Rakyat
tidak berkaitan dengan dirinya dan pihak Istana, namun Juru Bicara
Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sangat terganggu dengan pemberitaan tabloid tersebut. Tapi, merasa terganggu
tanpa mau memberikan penjelasan resmi di hadapan publik, tentu tak lebih
sekadar basa-basi.
Tabloid yang sudah beredar di
sejumlah pesantren di Jawa Barat dan Jawa Timur ini tidak hanya mendiskreditkan
dan melakukan fitnah terhadap pribadi Jokowi, tetapi juga berupaya menghasut
jalinan kerukunan keberagamaan masyarakat lewat isu-isu SARA. Kita
mengapresiasi langkah tim kuasa hukum Jokowi-JK (Taufik Basari, Teguh Samudra,
dan Alexander Lay) melaporkan Setyardi maupun Darmawan Sepriyossa ke
Bareskrim Polri, Jakarta, (16/6) demi membongkar siapa otak pelaku
sesungguhnya dan jaringan haram di balik peredaran tabloid yang menyesatkan
publik ini.
Sayangnya sejauh ini, tindakan
Setiyardi sepertinya disambut dingin sebagian pihak Istana seperti ungkapan
Sekretaris Kabinet Dipo Alam, yang bahkan memuji tindakan Setiyardi. “Saya
salut dia tidak banci dalam berpolitik. Dia berani dan siap bertanggung jawab
atas perbuatannya menerbitkan tabloid,” ujar Dipo (Tribun News,16/6). Sebuah daya tanggap yang menurut penulis
terlalu berlebihan dan sulit diterima akal sehat karena mengasosiasikan
perilaku cemar Setiyardi tersebut seakan-akan sebagai suatu sikap adi luhung
hanya karena sejumlah pengakuan yang disampaikannya ke publik. Ini bisa
menjadi preseden yang buruk bagi atmosfer pembelajaran dan kompetisi
demokrasi kita karena kepentingan dari pihak yang menjadi korban pemberitaan
negatif menjadi terabaikan, mengingat penafsirannya mengikuti referensi
pelaku.
Dipo atau siapa pun pihak yang
ada di sekelilingnya tidak menyadari akan efek lanjutan di kemudian hari
bahwa peredaran tabloid ini oleh publik akan dinarasikan memiliki deret
keterkaitan dengan Istana. Keberanian mengungkap dirinya sebagai yang
membidani kelahiran Obor Rakyat justru berpotensi menjerumuskan ‘iktikad baik’-nya tersebut ke dalam
praduga-praduga konspiratif bahwa kegiatan yang dilakoninya sejatinya
tidaklah bergerak sendiri alias kemungkinan melibatkan pelaku-pelaku lain
yang memiliki konektivitas dengan kekuatan kekuasaan untuk sebuah target
tertentu.
Apalagi jika merujuk perspektif
Edwar A Ross dalam Principles of
Sociology (1938), bahwa media yang terkelola secara ‘penetratif ’ ke
dalam ruang-ruang komunikasi aktual kerap diimbuhi kepentingan kekuasaan
daripada berfungsi sebagai kekuatan edukatif sosial yang netral dan mencerahkan.
Tentu target yang dimaksud dalam
konteks peredaran tabloid tersebut ialah ingin menciptakan sikap antipati
publik kepada kubu Jokowi lewat pemelintiran fakta-fakta yang palsu,
penghancuran privasi, mencederai rasionalitas dan memecah belah afinitas
sosial secara sistematik. Strategi media ini dianggap manjur karena
kemungkinan diberlakukan dalam ruang publik yang masih memiliki sentimen
deliberasi rendah sehingga pertukaran informasi/opini untuk menunjang
keakuratan pemahaman masyarakat pembaca terhadap sebuah berita/wacana, tidak
terjadi. Ketidakkritisan publik digunakan untuk memfalsifikasi apa yang benar
dan sebaliknya, menjustifikasi apa yang salah.
Bahaya fasis
Menjamurnya kampanye hitam di
berbagai media, termasuk di media sosial menjelang pilpres akan menginfi
ltrasi bangunan demokrasi yang sedang bergeliat menemukan bentuk
substansialnya. Ia berusaha memolusikan kultur berdemokrasi yang ada dengan
cara-cara plastis, nirmoral dan antiperadaban sehingga alihalih menghasilkan
demokrasi yang sehat dan genuine,
malah yang terjadi justru demokrasi patologis yang dikuasai para democrazy.
Padahal menurut Budiman
Sudjatmiko dalam bukunya Fasisme Baru
(2001), meskipun produk rezim otoriter Orde Baru yang penuh propaganda telah
tumbang dengan segala simbol-simbol kekuasaannya, fasisme baru dalam wujud
kuasa modal yang memolitisasi isu-isu nasionalisme sempit termasuk SARA, demi
melestarikan kepentingan kekuasaan yang berwajah seolah-olah demokrasi, bisa
muncul kembali. Fasisme seperti ini bahkan lebih berbahaya karena mencoba
menularkan virus hegemoni kesadaran palsu dengan cara merusak sistem
kekebalan tubuh demokrasi kita lewat serangkaian manipulasi prinsip,
ideologi, penyusupan politik kapitalisme dengan bahasa kebebasan dan
humanisme, tetapi sejatinya mengekalkan politik gurita sekelompok
orang/elite.
Memang kebebasan pers yang
dinikmati sebagai berkah reformasi hari-hari ini telah membangunkan ubun-ubun
keberanian rakyat untuk bersuara secara bebas dan fasih tanpa dikecam rasa
takut. Kebebasan dan kreativitas mendirikan media bersahut-sahutan dari pusat
sampai daerah atas nama demokrasi dan tegaknya hak asasi. Namun sayangnya,
perayaan kebebasan tersebut cenderung keluar dari jalur etika dan fungsi
jurnalis yang humanis.
Bahkan misi sakral media sebagai
peletak nilai kebenaran dan pembersih prasangkaprasangka acap kali terjebak
dalam agenda partikularitas kekuasaan yang sarat dengan rekayasa. Pada
awal-awal reformasi bergulir, tidak sedikit media di berbagai daerah yang
muncul tiba-tiba sekadar untuk mengusung agenda tunggal memenangkan kepala
daerah, lalu setelah misi tersebut tercapai, media itu pun hilang tanpa
jejak. Ini hanya contoh sederhana untuk menunjukkan bahwa kekuatan media
mampu mereduksi segala iktikad perjuangan untuk mengarahkan kehendak kolektif
massa secara positif dalam konteks publisitas kebenaran. Karena itu, tak
berlebihan jika Napoleon Bonaparte (1769-1821) berkata, “Saya lebih takut pers (media) daripada 1.000 bayonet yang terhunus.“
Selamatkan pilpres
Kita sepakat tabloid Obor Rakyat
dan sejenisnya adalah perusak anyaman demokrasi. Alih-alih sebagai obor
pembunuh kegelapan, sebaliknya tabloid ini menggelapkan segala cita-cita dan
budaya perilaku politik luhur yang tengah dirajut bangsa ini dengan susah
payahnya. Karena itu, pemerintah dan aparat perlu segera menyelamatkan
persepsi rakyat tentang masa depan demokrasi dan pilpres yang beradab dengan
mengusut dan menguak secara serius dan tuntas serta menghukum aktor-aktor
yang bersembunyi di balik peredaran tabloid ini.
Janji aparat Kepolisian untuk
menindaklanjuti laporan tim kuasa hukum Jokowi-JK di atas perlu dibuktikan
kepada seluruh masyarakat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya agar
kepastian hukum dan keadilan dapat segera terwujud. Hal ini perlu
digarisbawahi mengingat sering kali kasus-kasus yang memiliki sentimen
politis-kekuasaan, betapa pun hal tersebut telah mencederai rasa kemanusiaan
rakyat/kelompok tertentu, tidak memperoleh respons penanganan yang cepat dari
aparat sehingga akhirnya dibiarkan menggantung begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar