Senin, 23 Juni 2014

Obor Politik dari Moncong Istana

Obor Politik dari Moncong Istana

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MONCONG Istana ‘menebar’ ancaman. Kali ini ancaman tersebut berupa tabloid Obor Rakyat yang melakukan kampanye hitam terhadap capres Joko Widodo (Jokowi). Tabloid ‘sampah’ ini ternyata digawangi seorang asisten staf khusus presiden bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah, Setyardi Budiyono selaku pemimpin redaksi tabloid. Meskipun Velix Wanggai (atasan Setiyardi) menegaskan bahwa penerbitan Obor Rakyat tidak berkaitan dengan dirinya dan pihak Istana, namun Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat terganggu dengan pemberitaan tabloid tersebut. Tapi, merasa terganggu tanpa mau memberikan penjelasan resmi di hadapan publik, tentu tak lebih sekadar basa-basi.

Tabloid yang sudah beredar di sejumlah pesantren di Jawa Barat dan Jawa Timur ini tidak hanya mendiskreditkan dan melakukan fitnah terhadap pribadi Jokowi, tetapi juga berupaya menghasut jalinan kerukunan keberagamaan masyarakat lewat isu-isu SARA. Kita mengapresiasi langkah tim kuasa hukum Jokowi-JK (Taufik Basari, Teguh Samudra, dan Alexander Lay) melaporkan Setyardi maupun Darmawan Sepriyossa ke Bareskrim Polri, Jakarta, (16/6) demi membongkar siapa otak pelaku sesungguhnya dan jaringan haram di balik peredaran tabloid yang menyesatkan publik ini.

Sayangnya sejauh ini, tindakan Setiyardi sepertinya disambut dingin sebagian pihak Istana seperti ungkapan Sekretaris Kabinet Dipo Alam, yang bahkan memuji tindakan Setiyardi. “Saya salut dia tidak banci dalam berpolitik. Dia berani dan siap bertanggung jawab atas perbuatannya menerbitkan tabloid,” ujar Dipo (Tribun News,16/6). Sebuah daya tanggap yang menurut penulis terlalu berlebihan dan sulit diterima akal sehat karena mengasosiasikan perilaku cemar Setiyardi tersebut seakan-akan sebagai suatu sikap adi luhung hanya karena sejumlah pengakuan yang disampaikannya ke publik. Ini bisa menjadi preseden yang buruk bagi atmosfer pembelajaran dan kompetisi demokrasi kita karena kepentingan dari pihak yang menjadi korban pemberitaan negatif menjadi terabaikan, mengingat penafsirannya mengikuti referensi pelaku.

Dipo atau siapa pun pihak yang ada di sekelilingnya tidak menyadari akan efek lanjutan di kemudian hari bahwa peredaran tabloid ini oleh publik akan dinarasikan memiliki deret keterkaitan dengan Istana. Keberanian mengungkap dirinya sebagai yang membidani kelahiran Obor Rakyat justru berpotensi menjerumuskan ‘iktikad baik’-nya tersebut ke dalam praduga-praduga konspiratif bahwa kegiatan yang dilakoninya sejatinya tidaklah bergerak sendiri alias kemungkinan melibatkan pelaku-pelaku lain yang memiliki konektivitas dengan kekuatan kekuasaan untuk sebuah target tertentu.

Apalagi jika merujuk perspektif Edwar A Ross dalam Principles of Sociology (1938), bahwa media yang terkelola secara ‘penetratif ’ ke dalam ruang-ruang komunikasi aktual kerap diimbuhi kepentingan kekuasaan daripada berfungsi sebagai kekuatan edukatif sosial yang netral dan mencerahkan.

Tentu target yang dimaksud dalam konteks peredaran tabloid tersebut ialah ingin menciptakan sikap antipati publik kepada kubu Jokowi lewat pemelintiran fakta-fakta yang palsu, penghancuran privasi, mencederai rasionalitas dan memecah belah afinitas sosial secara sistematik. Strategi media ini dianggap manjur karena kemungkinan diberlakukan dalam ruang publik yang masih memiliki sentimen deliberasi rendah sehingga pertukaran informasi/opini untuk menunjang keakuratan pemahaman masyarakat pembaca terhadap sebuah berita/wacana, tidak terjadi. Ketidakkritisan publik digunakan untuk memfalsifikasi apa yang benar dan sebaliknya, menjustifikasi apa yang salah.

Bahaya fasis

Menjamurnya kampanye hitam di berbagai media, termasuk di media sosial menjelang pilpres akan menginfi ltrasi bangunan demokrasi yang sedang bergeliat menemukan bentuk substansialnya. Ia berusaha memolusikan kultur berdemokrasi yang ada dengan cara-cara plastis, nirmoral dan antiperadaban sehingga alihalih menghasilkan demokrasi yang sehat dan genuine, malah yang terjadi justru demokrasi patologis yang dikuasai para democrazy.

Padahal menurut Budiman Sudjatmiko dalam bukunya Fasisme Baru (2001), meskipun produk rezim otoriter Orde Baru yang penuh propaganda telah tumbang dengan segala simbol-simbol kekuasaannya, fasisme baru dalam wujud kuasa modal yang memolitisasi isu-isu nasionalisme sempit termasuk SARA, demi melestarikan kepentingan kekuasaan yang berwajah seolah-olah demokrasi, bisa muncul kembali. Fasisme seperti ini bahkan lebih berbahaya karena mencoba menularkan virus hegemoni kesadaran palsu dengan cara merusak sistem kekebalan tubuh demokrasi kita lewat serangkaian manipulasi prinsip, ideologi, penyusupan politik kapitalisme dengan bahasa kebebasan dan humanisme, tetapi sejatinya mengekalkan politik gurita sekelompok orang/elite.

Memang kebebasan pers yang dinikmati sebagai berkah reformasi hari-hari ini telah membangunkan ubun-ubun keberanian rakyat untuk bersuara secara bebas dan fasih tanpa dikecam rasa takut. Kebebasan dan kreativitas mendirikan media bersahut-sahutan dari pusat sampai daerah atas nama demokrasi dan tegaknya hak asasi. Namun sayangnya, perayaan kebebasan tersebut cenderung keluar dari jalur etika dan fungsi jurnalis yang humanis.

Bahkan misi sakral media sebagai peletak nilai kebenaran dan pembersih prasangkaprasangka acap kali terjebak dalam agenda partikularitas kekuasaan yang sarat dengan rekayasa. Pada awal-awal reformasi bergulir, tidak sedikit media di berbagai daerah yang muncul tiba-tiba sekadar untuk mengusung agenda tunggal memenangkan kepala daerah, lalu setelah misi tersebut tercapai, media itu pun hilang tanpa jejak. Ini hanya contoh sederhana untuk menunjukkan bahwa kekuatan media mampu mereduksi segala iktikad perjuangan untuk mengarahkan kehendak kolektif massa secara positif dalam konteks publisitas kebenaran. Karena itu, tak berlebihan jika Napoleon Bonaparte (1769-1821) berkata, “Saya lebih takut pers (media) daripada 1.000 bayonet yang terhunus.“

Selamatkan pilpres

Kita sepakat tabloid Obor Rakyat dan sejenisnya adalah perusak anyaman demokrasi. Alih-alih sebagai obor pembunuh kegelapan, sebaliknya tabloid ini menggelapkan segala cita-cita dan budaya perilaku politik luhur yang tengah dirajut bangsa ini dengan susah payahnya. Karena itu, pemerintah dan aparat perlu segera menyelamatkan persepsi rakyat tentang masa depan demokrasi dan pilpres yang beradab dengan mengusut dan menguak secara serius dan tuntas serta menghukum aktor-aktor yang bersembunyi di balik peredaran tabloid ini.

Janji aparat Kepolisian untuk menindaklanjuti laporan tim kuasa hukum Jokowi-JK di atas perlu dibuktikan kepada seluruh masyarakat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya agar kepastian hukum dan keadilan dapat segera terwujud. Hal ini perlu digarisbawahi mengingat sering kali kasus-kasus yang memiliki sentimen politis-kekuasaan, betapa pun hal tersebut telah mencederai rasa kemanusiaan rakyat/kelompok tertentu, tidak memperoleh respons penanganan yang cepat dari aparat sehingga akhirnya dibiarkan menggantung begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar