Selasa, 24 Juni 2014

Kakus dan Balkon Peradaban

Kakus dan Balkon Peradaban

Indira Permanasari  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 22 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Jendela, balkon, dinding, pintu, langit-langit, sampai kakus mengiringi peradaban manusia. Di kota tua Venesia, balkon sampai kakus itu ”bercerita” tentang tugas mereka dalam melayani dan memanjakan hidup manusia.
Ragam kakus dari segala masa tertata di ruang pamer di Giardini, Venesia, di Italia. Salah satunya, sebuah kakus tua, dari abad ke-3 yang berasal dari sebuah kamar mandi di Caracalla, Roma. Kakus komunal dari batu itu wujudnya mirip kereta zaman Romawi kuno, dengan lubang di tengah dan pahatan berbentuk roda di sisi-sisinya. Dapat dibayangkan, para penggunanya di masa lalu seperti duduk mengendarai kereta ketika menyelesaikan urusan buat hajat.

Ada pula jamban canggih dan cerdas. Kemampuan kakus intelek dari abad milenium itu sungguh menggoda. Si kakus secara otomatis membuka tutupnya, mengeluarkan wewangian, dan dilengkapi plasma kluster untuk menyegarkan udara. Masih ada yang lebih canggih, sang kakus sanggup mengambil sampel urine untuk mengecek kadar gula darah.

”Sajian” toilet itu, satu dari 15 elemen arsitektur yang dipamerkan dalam International Architecture Exhibition la Biennale di Venesia yang ke-14. Kali itu, elemen arsitektur digali sejarahnya.

Selain toilet, masih ada langit-langit, jendela, koridor, lantai, balkon, perapian, fasad (bagian muka bangunan), atap, pintu, dinding, tangga, ram, eskalator, dan elevator. Elemen-elemen itu banyak ditemukan pada bangunan di berbagai penjuru dunia.

Elements of Architecture merupakan satu dari tiga komponen ekshibisi yang mengambil tema besar Fundamental itu. Dua komponen lainnya ialah Absorbing Modernity; 1914-2014 yang berkisah tentang perjalanan 66 negara menyerap modernitas dan Monditalia, pameran yang khusus mengenai perkembangan arsitektur di Italia.

Maka, ekshibisi arsitektur itu pun tidak hanya berbicara garis, ruang, bentuk, dan bidang, tetapi juga melihat lebih dalam 15 elemen dasar yang dikaitkan dengan perannya dalam ”melayani” kebutuhan manusia serta peradaban. Toilet, misalnya, sebetulnya merupakan zona fundamental yang mencerminkan interaksi antara manusia dan arsitektur pada level paling intim.

Kurator internasional pameran itu, arsitek ternama asal Belanda yang pernah menghabiskan beberapa tahun hidupnya di Indonesia, Rem Koolhaas, seakan ingin membawa pengunjung mengenal elemen-elemen yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam lembar awal katalog pameran setebal 600 halaman, Rem Koolhaas menyatakan, ”Fundamentals” merupakan biennale yang berfokus kepada sejarah. Termasuk, bagaimana akhirnya elemen-elemen arsitektur juga mengalami modernitas. Layaknya cuplikan kalimat di dinding depan paviliun utama di Giardini: ”Seperti sains menunjukkan bahwa manusia membawa gen Neanderthal dalam dirinya. Setiap elemen arsitektur membawa potongan DNA dari masa purbanya….”

Elemen dan peradaban
Evolusi elemen-elemen itu mulai tergambar begitu memasuki gedung berpilar paviliun utama di Giardini. Pengunjung pameran akan langsung disuguhi sebuah instalasi raksasa berupa potongan langit-langit, mirip plafon perkantoran modern, lengkap dengan tiruan sistem saluran udara terbuat dari metal. Langit-langit buatan itu menggantung, menutupi separuh langit-langit bangunan asli yang berbentuk kubah. Sebuah kubah besar yang didekorasi dengan lukisan karya Galileo Chini pada 1909. Perbedaan keduanya terasa mencolok.

Di dalam ruang pamer, perjalanan elemen-elemen itu semakin dalam disajikan. Toilet dan elemen lainnya mendapatkan ruangan masing-masing. Selama dua tahun, Rem Koolhaas bekerja sama dengan sejumlah peneliti dan universitas, seperti Harvard Graduate School of Design, untuk meriset sejarah elemen-elemen itu. Hasilnya, 15 buku tentang elemen-elemen dasar arsitektur dan pameran dibangun di seputar narasi buku-buku tersebut.

Elemen-elemen itu dilihat secara mikroskopik, termasuk proses industrialisasinya. Di salah satu sisi dinding ruangan, misalnya, terpajang puluhan jendela dengan beragam bentuk, mulai dari jendela dari kulit hewan yang dilembutkan dengan susu milik hunian kaum Yakutian tahun 1900-an, jendela kayu dekoratif abad ke-18, hingga bingkai jendela aluminium dengan kaca pabrikan.

Industrialisasi memungkinkan pembuatan jendela dari kaca. Bahkan, dalam perkembangannya, industri memasifkan kaca dan menggunakan ”tirai” kaca sebagai dinding sejak abad ke-20. Termasuk, di negara tropis seperti Indonesia.

Arsitek, ketua tim kurator paviliun Indonesia, Avianti Armand, berpandangan kaca sebetulnya material yang sedikit ”konyol” untuk Indonesia yang tropis. ”Di negara beriklim empat seperti Eropa, hampir sebagian besar kegiatan dilakukan dalam ruangan. Untuk mendapatkan pemandangan luar tanpa siksaan rasa dingin, masyarakat Eropa butuh kaca,” ujarnya.

Sebaliknya dengan Indonesia yang beriklim tropis. Aktivitas kebanyakan di luar ruangan. Ketika berada di dalam ruangan dan ingin menikmati pemandangan atau udara luar, cukup membuka jendela. Perubahan suhu tidaklah drastis. Namun, semakin banyak bangunan menggunakan material kaca di Indonesia dan untuk mendapatkan hawa sejuk, dipakailah pendingin ruangan yang memicu masalah energi dan lingkungan.

Tak hanya proses industrialisasi yang mewarnai perjalanan elemen-elemen itu. Dalam perjalanannya, elemen arsitektur pun ikut ”melayani kepentingan simbolis politik. Itu, misalnya, tecermin dalam kisah elemen balkon. Di ruang pamer balkon, berjajar miniatur gambar tokoh dan kepala negara seperti Hitler, Paus, dan Nelson Mandela. Ada yang sedang melambai-lambaikan tangan atau berpidato di balkon dengan kerumunan orang di bawahnya. Di dalam keterangan pameran, balkon disebut-sebut sebagai panggung kegiatan politik. Salah satu aksi puncak di balkon yang banyak dikenang ialah pidato Eva Peron di Buenos Aires tahun 1951 dan kemunculan pertama Nelson Mandela di Cape Town City Hall setelah bebas dari penjara tahun 1990.

Balkon meregulasi ketidakformalan antara interior dan eksterior serta antara domain privat dan publik. Balkon seakan-akan mengumumkan identitas diri kepada publik yang kini mulai digantikan dengan laman-laman media sosial dalam jaringan.

Tak hanya lewat kisah balkon identitas akan terungkap, tetapi juga dari ragam kumpulan elemen lainnya. Bahkan, identitas Indonesia pun sempat muncul di ruang pamer elemen atap. Ragam miniatur rumah adat Minang, Batak, Jawa, dan Sulawesi koleksi Tropen museum, Belanda, ditampilkan dalam kotak kaca raksasa di tengah ruangan. Tak jauh, dipasang instalasi raksasa model atap bangunan tradisional China.

Atap-atap itu seperti mengamini kata-kata Rem Koolhaas dalam salah satu dialog yang menjadi bagian ekshibisi besar itu, betapa lewat elemen-elemen dasar itu tecermin identitas, dan itu fundamental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar