Selasa, 24 Juni 2014

Arsitektur Bung Karno, Beton, dan Modernitas

Arsitektur Bung Karno, Beton, dan Modernitas

Indira Permanasari  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 22 Juni 2014
                                               
                                                                                         
                                                      
Beton dan baja dirayakan di Tanah Air. Bahkan, pada era Presiden Soekarno, keduanya ”dipuja” sebagai simbol kemodernan. Wajah Jakarta pun perlahan mewujud seperti hutan balok beton abu-abu beratap datar, mirip banyak kota lain di dunia.

Separuh abad lalu, Presiden Soekarno yang rajin melawat ke sejumlah negara, terinspirasi dengan negeri-negeri asing yang dikunjunginya. Ia lalu ingin menciptakan Indonesia yang baru seumur jagung merdeka itu menjadi bangsa ”modern” dan ”besar”. Maka, ketika Soekarno gencar menggagas nation building lewat bangunan dan tata kota, beton pun menjadi pilihan.

Dengan keyakinan seteguh beton dan baja, Soekarno mencetuskan proyek besar mulai dari Masjid Istiqlal, Monumen Nasional, gedung Bank Indonesia, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, hingga pusat perbelanjaan Sarinah.

Bagi Soekarno, beton menyimbolkan modernitas dan kesetaraan. Semua itu tecermin dalam pidato pemancangan kolom pertama Masjid Istiqlal, 24 Agustus 1961.

”…Marilah kita membuat Masjid Jami yang bisa tahan seribu tahun dan marilah kita, agar supaya kita mendirikan Masjid Jami yang tahan seribu tahun itu, janganlah berpikir dalam istilah kayu dan istilah genteng, …Marilah kita membuat Masjid Jami yang benar-benar tahan cakaran masa, seribu tahun, dua ribu tahun, dan untuk itu kita harus membuatnya dari besi, dari beton, pintunya dari perunggu, dari batu pualam….”

Gambar rekaman dan kisah Masjid Istiqlal, Hotel Indonesia, serta Monumen Nasional tersebut terpantul di tujuh panel kaca berderet yang membentuk dinding sepanjang lebih dari 10 meter, membelah diagonal ruangan tua di kompleks Arsenale, Venesia, Italia, tempat diselenggarakannya International Architecture Exhibition la Biennale ke-14 yang berlangsung selama enam bulan, dari 7 Juni hingga 23 November 2014.

Kesadaran material

Cerita lebih lengkap tentang isi pameran itu, termasuk cuplikan pidato Soekarno tadi, tertuang dalam buku bertajuk Ketukangan: Kesadaran Material, sama dengan tema yang diangkat paviliun Indonesia.

Gambar yang ditembakkan proyektor ke dinding kaca serasa melayang di ruangan gelap di bekas galangan kapal tua itu. Sesekali terdengar hantaman palu dan gerak gergaji kayu, seperti tukang bekerja. Indonesia pertama kali diundang untuk bergabung dalam ekshibisi itu. Tahun ini, ekshibisi internasional tersebut mengangkat tema besar ”Fundamental” yang dibagi dalam tiga komponen pameran, yakni Elements of Architecture, Absorbing Modernity: 1914-2014, dan Monditalia. Lewat Absorbing Modernity, kurator sekaligus arsitek ternama asal Belanda, Rem Koolhaas, mengajak merenungkan kembali modernitas.

Sebanyak 66 negara yang mengisi paviliun di kawasan ekshibisi utama Arsenale dan Giardini diminta menunjukkan proses ”terhapusnya” karakteristik nasional demi adopsi universal bahasa modern dalam rentang waktu 1914-2014. Tahun 1914, saat meletusnya Perang Dunia I, menjadi penanda permulaan globalisasi modern dan pemerataan memori budaya. Saat seremoni pembukaan ekshibisi itu, Rem menegaskan, ekshibisi kali ini bukan tentang karya arsitek kontemporer, melainkan tentang masa lalu yang ada pada masa kini.

Hasilnya, dokumentasi 100 tahun perkembangan arsitektur ditampilkan dalam ragam instalasi unik, maket, buku, dan film. Bahkan, tim Israel menggunakan mesin dengan ”pena” berujung jarum yang bergerak, menggambar pembangunan kota di atas pasir lembut.

Paviliun Indonesia dipertontonkan kepada pengunjung setelah dibuka dengan ”tos” bergelas-gelas anggur putih dan kudapan ala Italia. Ketua tim kurator paviliun Indonesia, Avianti Armand, sesudah pesta kecil itu mengatakan, tema ”Ketukangan: Kesadaran Material” merekam lintasan sejarah dan wacana arsitektur Indonesia, termasuk modernitas. Kisahnya dirangkum dalam perjalanan enam material, yakni kayu, batu, batu bata, beton, baja, dan bambu. Bagi Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Media, Desain, dan Iptek Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Harry Waluyo, di paviliun merupakan kesempatan menunjukkan keterampilan dan kreativitas manusia Indonesia kepada dunia.

Sesaat, layar kaca menampilkan Jembatan Ampera (dulu Jembatan Soekarno) yang terbuat dari baja dan membentang di atas Sungai Musi, Palembang. Jembatan itu dibangun dengan hasil pampasan perang Jepang oleh konsultan Jepang dan diresmikan pada 1965. ”Jembatan itu dianggap sebagai monumen pasca revolusi sekaligus modernitas,” ujar kurator paviliun Indonesia sekaligus arsitek, Setiadi Sopandi, dalam preview sebelumnya.

Ditarik lebih jauh ke belakang, modernitas mula-mula tak lepas dari kedatangan besi tuang seiring pembangunan jalur rel kereta api pertama yang menghubungkan Semarang dan Tanggung di Grobogan pada 1864. Akhir abad ke-19, sistem kereta api tumbuh cepat seiring bergeraknya ekonomi kolonial. Belanda ingin mengangkut hasil bumi dari pedalaman Indonesia ke kota. Selain itu, datang pula arsitek-arsitek muda Belanda yang membawa semangat Eropa.

Menyerap modernitas

Presiden juri yang mengevaluasi paviliun-paviliun, Francesco Bandarin, mengatakan, industrialisasi dan pertumbuhan kota beserta populasinya mempercepat modernisasi. Kota-kota yang memadat membutuhkan infrastruktur, termasuk rumah tinggal. Material yang dapat diproduksi massal oleh industri, seperti kaca, baja, dan beton, jadi pilihan sekaligus simbol revolusi industri.

Beton, baja, dan kaca pun tampil di paviliun negara Cile dalam bentuk utuhnya. Sebuah panel beton dengan jendela menguasai ruangan bercahaya lampu merah membara. Sebagai latar, tampil video sebuah flat yang dibangun dari panel beton itu. Panel beton donasi Rusia kepada Cile tersebut diproduksi di kota Quilpue terkait program perumahan sosial pada 1972. Pada kurun waktu 1945-1985, ada 170 juta panel beton diproduksi di seluruh dunia.

Tim Perancis menceritakan kisah serupa lewat rangkaian instalasi, film, maket, foto, dan teks. Pasca perang dunia, perumahan di Paris menggunakan panel beton. Pengerjaan bangunan terstandardisasi dan murah. Sistem itu kemudian ”diekspor” ke Jerman, Kuba, dan Cile.

Arsitek dan kurator Achmad D Tardiyana berkata, arsitektur modern dengan ungkapannya yang selalu massal dan mudah dibangun di tempat lain itu pada akhirnya memunculkan rasa hilangnya identitas dan alienasi, keterasingan.

Di gedung tua Palazzo Mora, karya instalasi arsitek Budi Pradono seakan mengamini keresahan itu. Budi diundang mengisi kegiatan paralel ekshibisi di Venesia tersebut. Di langit-langit, segitiga-segitiga raksasa dari ragam anyaman dan tulang rotan seakan menggeliat-geliat. Budi mengerahkan 20 perajin di Desa Gintangan, Banyuwangi, dan perajin rotan Cirebon untuk menciptakan karya itu.

Menurut Budi, karena cemburu dengan atap modern yang datar, atap-atap rumah Nusantara, mulai dari gonjong Minangkabau hingga atap limas Jawa, menari-nari, bermetamorfosis. Wujud baru itu lalu digantung terbalik, seperti akan menampung modernitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar