Senin, 23 Juni 2014

Selilit Demokrasi Elektoral

Selilit Demokrasi Elektoral

W Riawan Tjandra  ;   Doktor Hukum Administrasi Negara UGM;
Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
MANDAT konstitusi reformasi melalui Pasal 6A UUD Negara RI 1945 yang menisbahkan sistem demokrasi elektoral untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, bisa ternoda oleh beberapa praktik permainan rivalitas politik curang maupun kampanye hitam. Pilihan untuk menempatkan sistem demokrasi elektoral sebagai instrumen demokrasi dalam pengisian pucuk pimpinan eksekutif seharusnya tak boleh dilepaskan dari roh konstitusi dalam pembukaan UUD Negara RI 1945 yang di antaranya dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tidak adanya ketegasan dari pengawas pemilu maupun aparat penegak hukum dalam merespons temuan praktik politik curang dan kampanye hitam, selain secara perlahan menjadikan roh demokrasi elektoral dalam bentuk upaya mencerdaskan kehidupan bangsa akan sekarat, juga akan mereduksi kualitas negara hukum demokratis yang menjadi karakter utama konstitusi pascareformasi. 

Terungkapnya peran Setyardi Budiyono yang telah mengaku sebagai pemimpin tabloid Obor Rakyat, tabloid yang oleh Dewan Pers dinyatakan sebagai tabloid abal-abal alias tak memenuhi kaidah jurnalistik, telah mencoreng proses demokrasi yang berlangsung.

Setyardi merupakan mantan wartawan tabloid Paron dan majalah Tempo (1998-2007) dan diangkat menjadi asisten staf khusus presiden sejak 25 Februari 2010. Sebagai asisten staf khusus presiden, konon Setyardi tidak diangkat presiden, tetapi diangkat seskab atas usulan dari staf khusus presiden. Felix Wanggai merupakan atasan Setyardi dalam posisinya sebagai staf khusus presiden. Meski memiliki hubungan dengan pihak istana, pihak istana melalui Seskab Dipo Alam menyatakan bahwa apa yang dilakukan Setyardi merupakan inisiatif pribadi yang tidak terkait dengan penugasannya selaku asisten staf khusus presiden.

Belajar dari kasus tersebut ke depan, idealnya Presiden terpilih nanti membatasi jumlah staf khusus maupun asisten staf khusus yang posisinya rumit dijelaskan dalam struktur organisasi pemerintah di lingkungan Sekretaris Kabinet, dan masuknya ke lingkungan istana pun juga mengundang misteri. Lebih baik, presiden terpilih ke depan lebih banyak mengefektifkan fungsi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang memiliki kedudukan lebih jelas dalam sistem organisasi pemerintah daripada membentuk ‘struktur gemuk’ staf-staf khusus maupun asistennya di lingkungan Sekretaris Kabinet.

Kasus keterlibatan Setyardi Budiyono yang notabene juga menduduki posisi sebagai asisten staf khusus presiden harus mendorong diambilnya tindakan tegas oleh jajaran penegak hukum, khususnya Polri dan Kejaksaan Agung RI, untuk segera diproses secara hukum. Tindakannya dalam menerbitkan tabloid tersebut tak sekadar melanggar kaidah jurnalistik karena kampanye hitam yang terkandung di dalamnya, namun secara hukum sudah memasuki ranah pencemaran/penistaan nama baik karena menyerang kehormatan pribadi pihak-pihak yang didiskreditkan di dalamnya.

Harus diungkap

Dalam koridor hukum pidana umum yang diatur dalam KUHP tindakan pencemaran nama baik, dirumuskan pada Pasal 310 KUHP yang mengancam pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 311 KUHP lebih jauh menegaskan bahwa jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis tidak mampu membuktikan apa yang difitnahkan itu, dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Dengan adanya pengaduan dari pihak yang menjadi sasaran fitnah tersebut, menurut Pasal 313 KUHP, penyidik diharuskan segera mengambil tindakan tegas sesuai dengan prosedur hukum yang diatur dalam KUHAP. Ancaman hukuman bisa diperberat jika dikumulasikan dengan ancaman hukuman terhadap black campaign dalam UU Pemilu dan jika menggunakan media ekektronik bisa dikumulasikan de ngan UU ITE. Penegak hukum harus bisa mengungkap aktor intelektual dan penyandang dana di balik fitnah dengan menyalahgunakan tabloid abal-abal itu.

Tindakan tegas terhadap pelaku kampanye hitam dalam pemilu kali ini sangat penting, bukan saja sebagai upaya pembela jaran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan ruh Pembukaan UUD Negara RI 1945, namun juga untuk dapat dihasilkan sebuah preseden hukum (yurisprudensi) agar dapat dijadikan sebagai standar hukum ke depan dalam mendorong lahirnya sistem demokrasi elektoral yang bersih dan bebas dari permainan politik curang melalui kampanye hitam dan sejenisnya.

Di sisi lain, tindakan asisten staf khusus presiden tersebut sebenarnya telah menderogasi dan menentang pidato SBY sebagai presiden dan kepala negara untuk bersikap netral dalam pemilu. Menteri saja tak berani menentang ucapan seorang presiden, apalagi seseorang yang `hanya' berposisi sebagai asisten staf khusus presiden.

Masa kampanye pilpres kali ini juga sempat diwarnai ketidak netralan sebagian oknum di ling kungan TNI-Polri yang juga dalam skala yang lebih luas bisa menyebabkan ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap institusi yang seharusnya bisa bersikap netral. Jika tidak ada langkah tegas setiap pimpinan institusi tersebut, bisa menimbulkan efek domino disfungsionalitas kedua institusi itut dalam menjaga pertahanan dan keamanan karena adanya ketidakpercayaan publik yang meluas.

Jaga amanah

Banyaknya menteri maupun para kepala daerah yang `larut' dalam sikap politik untuk mendukung pasangan capres sesuai dengan afiliasi politik personal setiap pejabat itu juga perlu diantisipasi adanya penyalahgunaan anggaran negara/ daerah yang bersumber dari APBN/D. Penyalahgunaan anggaran tersebut rawan terjadi karena sulitnya memisahkan afiliasi politik dan kedudukan jabatan para pejabat tersebut. Baik UU Kementerian Negara maupun UU Pemda tidak secara eksplisit melarang penggunaan hak politik dalam dukung-mendukung cawapres semasa Pilpres asal tidak dilakukan dalam kedudukannya sebagai pejabat.

Dengan mengefektifkan paket UU Keuangan Negara (UU No 17/2003, UU No 1/2004 dan UU No 15/2004) seharusnya sangat mudah untuk mengaitkan kedudukan jabatan dari para pejabat tersebut dalam skema pengelolaan keuangan negara/daerah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara/daerah dengan pertanggungjawaban anggaran negara/daerah. Ketatnya analisis kinerja (performance analysis) dalam pertanggungjawaban anggaran negara/daerah, seharusnya dapat digunakan untuk menegah deviasi penggunaan anggaran negara/daerah dalam kegiatan yang tak berkaitan langsung dengan tugas pokok dan fungsi jabatan setiap pejabat negara/daerah tersebut dalam menggunakan hak politik personal mereka.

Dengan adanya pengawasan yang intensif oleh institusi pengawas pemilu dan tindakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran dalam pemilu diharapkan dapat diwujudkan indikator-indikator dalam kualitas Pemilu yang baik (good electoral governance), baik dalam standar internasional maupun dalam regulasi nasional, yaitu derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, keterwakilan yang tinggi, dan akuntabilitas yang jelas, terlaksananya tahapan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan serta asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Jangan sampai demokrasi elektoral yang menjadi amanah konstitusi reformasi dijagal para pencoleng demokrasi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar