Selasa, 24 Juni 2014

Menyelesaikan Prostitusi secara Manusiawi

Menyelesaikan Prostitusi secara Manusiawi

Gempur Santoso  ;   Sekretaris Dewan Pendidikan Jatim,
Guru Besar Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
JAWA POS, 23 Juni 2014

                                                                                         
                                                      
MEMANG banyak yang meyakini bahwa dunia dan seisinya dalam harmoni keseimbangan. Termasuk kebaikan dan keburukan dalam keseimbangan pula. Seorang pemimpin seharusnya sadar bahwa yang dipimpin itu adalah manusia seperti dirinya. Ada manusia yang baik, ada yang buruk. Semua harus dipimpin, dilindungi, diayomi dalam keseimbangan.

Banyak orang yang menyimpulkan pula bahwa memimpin itu bagian dari seni kehidupan. Tidak mungkin seorang pemimpin hanya mau mengurusi manusia yang baik, yang dianggap buruk dibiarkan, atau sebaliknya. Bagaimana seorang pemimpin dapat mengalunkan harmoni seni kehidupan dalam keseimbangan. Bila yang buruk itu digambarkan ”hitam” dan yang baik digambarkan ”putih”, biarlah yang hitam menjadi hitam jangan harapkan jadi putih dan biarlah yang putih dijaga menjadi putih, juga tidak tercoreng-coreng jadi lorek.

Para tokoh spiritual pun pernah berdakwah bahwa dalam manusia baik pasti ada buruknya dan dalam manusia buruk ada baiknya. Jadi, manusia hanyalah melakukan peran kehidupan atas ”garis tangan” masing-masing yang diberikan Tuhan. Ragam kehidupan telah diberikan Yang Mahakuasa, terbentang luas di dunia ini, manusia tinggal memilih. Tentu semua manusia menginginkan kehidupan yang baik dan benar. Tetapi, tidak semua manusia memperoleh pilihan baik dan benar secara maksimal, bergantung pada pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan mengabstraksikan dalam pikirannya. Kemudian, abstraksi pikiran itu dijadikan kesimpulan dirinya untuk bertindak/berbuat sebagai pilihan perilaku kehidupannya.

Prostitusi anggaplah salah satu sisi ”gelap” atau ”hitam” bentangan kehidupan. Ternyata, banyak pula manusia terlibat dalam prostitusi yang merupakan pilihan perilaku kehidupannya. Aktor utama prostitusi adalah para wanita cantik yang orang biasa menyebut pekerja seks komersial (PSK) dan ada yang memberi sebutan wanita harapan bangsa (WHB). Manajer para aktor prostitusi biasa disebut mucikari.

Dolly adalah tempat lokalisasi prostitusi di Surabaya terbesar se-Asia Tenggara. Tanggal 18 Juni 2014 secara resmi ditutup wali kota Surabaya bersama gubernur Jawa Timur dan menteri sosial. Sebelumnya terjadi pro-kontra. Kenyataannya, penutupan Dolly berjalan lancar tanpa ada korban jiwa manusia. Pada masa ”kejayaannya” antara 1990-an sampai 2005, total jumlah PSK lebih dari 9.000 orang. Ketika ditutup hari ini, jumlah PSK tinggal 1.200-an orang (Jawa Pos, 18 Juni 2014). Apakah Dolly ditutup dengan serta-merta PSK di Surabaya sudah tidak ada? Tentu saja tidak, bahkan ada yang menduga kuat dengan teori keseimbangan, jika PSK di seluruh dunia dibunuh, bersamaan itu akan lahir PSK baru.

Dolly memang secara kesan (image) dianggap mencoreng nama baik. Sebutan Surabaya yang selama ini memiliki kesan nama Kota Pahlawan, dengan adanya lokalisasi Dolly, bertambah sebagai ”Kota Prostitusi” karena Dolly terkenal dan terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan, ada yang menyebut ke Surabaya jika tidak ke Dolly kurang lengkap walau itu sekadar jalan-jalan. Para ulama sudah lama risau dengan semakin besarnya lokalisasi Dolly dan baru ada seorang pemberani, Tri Rismaharini, yang menutupnya tanpa ada korban bentrokan.

Para PSK di dunia prostitusi memiliki risiko terbesar. Mereka berisiko terkena penyakit infeksi menular seksual (IMS) berupa HIV/AIDS dan bakteri lainnya. Selain itu, PSK telah masuk dalam aktivitas amoral yang merupakan tudingan masyarakat sebagai penyakit sosial (masyarakat). Kemudian, dari segi ekonomi yang merupakan sumber ekonomi PSK, mereka akan kelimpungan jika tidak memiliki pemasukan keuangan. Tampaknya, itu sudah menjadi pemikiran pemerintah. Tetapi, apakah risiko yang dialami para PSK telah diselesaikan secara tuntas?

Jika suatu lokalisasi prostitusi ditutup, seharusnya para PSK diisolasi dan diberi biaya hidup. Mereka diisolasi (karantina) untuk pemulihan dengan pengobatan sampai terbebas dari penyakit IMS. Para mantan PSK diberi pendidikan siraman rohani sesuai agama masing-masing agar tumbuh dan meningkat keimanan dan ketakwaannya serta secara psikologis mengalami ketenangan jiwa, siap menjadi manusia bermoral. Mental dan moral yang kuat diperlukan saat terjun di masyarakat agar tidak lagi terombang-ambing, tetap teguh tidak kembali ke ’’dunia hitam”. Mantan PSK juga perlu diberi pelatihan keterampilan untuk hidup sehingga mereka mempunyai mata pencaharian yang halal. Tentu saja terakhir diberikan modal uang yang cukup untuk usaha. Kemudian, bila tahap di atas telah selesai dan tuntas, baru mereka bisa dilepas kepada masyarakat sehingga menjadi bagian masyarakat yang mandiri.

Mengembalikan PSK menjadi masyarakat sipil pada lazimnya tidak sekadar sukses menutup atau membubarkan lokalisasi prostitusi dengan memberikan uang pesangon kepada mereka. Penyelesaian dengan sekadar menutup atau membubarkan lokalisasi prostitusi tidak menyelesaikan masalah, tetapi memindahkan masalah. Tentu semua tidak berharap akan terjadi penyakit seksual menular yang meluas ke seluruh kota dan daerah sekitarnya. Juga semua berharap jangan sampai prostitusi yang tidak terlokalisasi justru membuat seluruh kota menjadi tempat prostitusi. Peran pemerintah kota (daerah) sangat penting untuk mengontrol masyarakat agar tidak tumbuh prostitusi terselubung.

Prostitusi dapat dikatakan tergolong pekerjaan hitam (black work atau black activity) di bidang jasa hiburan. Pekerjaan hitam selain itu, ada pengedar narkoba, sindikat pencurian, pengemis terorganisasi, dan lain-lain. Semua penduduk kota pasti menginginkan situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya yang sejahtera, sehat, nyaman, indah, dan menyenangkan. Pemimpin kota (daerah) beserta jajarannya mempunyai tanggung jawab untuk menumbuhkan tempat kerja yang halallan toyiban, terciptanya sosial budaya yang mengangkat nilai-nilai manusiawi, terciptanya ekosistem lingkungan yang sehat. Memang berat tugas pemimpin. Pemimpin adalah amanah yang diharapkan dapat menciptakan harmoni keseimbangan di berbagai kehidupan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar