Simbolisme
Islam dan Pilpres
Azyumardi
Azra ; Guru
Besar Sejarah;
Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
|
KOMPAS,
21 Mei 2014
MENONTON
dari layar kaca, deklarasi dua pasangan capres-cawapres Joko Widodo-M Jusuf
Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, 19 Mei, saya menyaksikan dua kontras
yang tampaknya bakal mewarnai tidak hanya rumor, layanan pesan singkat (SMS)
gelap, dan isu serta tema kampanye kedua pasangan dengan para pendukungnya,
tetapi mungkin juga motif dalam pencoblosan kertas suara pada 9 Juli 2014. Supaya
tidak terjadi kekagetan atau bahkan konflik di kalangan masyarakat, perlu
antisipasi seperlunya.
Dalam
pengamatan saya, suasana deklarasi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) kelihatan lebih rileks, mirip ”pesta rakyat” yang nyaris tanpa
protokoler dengan warna-warni pakaian. Sebaliknya, deklarasi pasangan
Prabowo-Hatta terlihat lebih rapi, dengan tempat duduk yang sudah tertata
dengan nama parpol pendukung dengan dominasi pakaian warna putih.
Ada
nuansa dan semangat berbeda yang secara tersirat menggambarkan tidak hanya
kecenderungan orientasi dan ideologi politik, tetapi juga semangat keagamaan.
Simbolisme agama
Dari
sudut agama, kedua pasang capres-cawapres tidak ada bedanya, keempatnya
adalah pemeluk Islam. Tetapi, jelas, meski sama-sama Muslim, visi keislaman,
latar belakang sosial-intelektual, kesetiaan pada doktrin dan ritual Islam,
dan kedekatan (attachment)
masing-masing dalam batas tertentu jelas mengandung sejumlah perbedaan.
Perbedaan-perbedaan itu sedikit banyak memengaruhi kecenderungan dan warna
politik yang mereka tampilkan baik sepanjang musim kampanye dan pencoblosan
suara maupun dalam masa pemerintahan pemenang pemilu presiden (pilpres)
nanti.
Lebih
jauh, perbedaan itu jelas juga sangat terkait kecenderungan ideologis parpol
pengusung atau koalisi parpol pendukung masing-masing pasangan. Pada satu
pihak, pasangan Jokowi-JK diusung koalisi pimpinan PDI-P yang mencakup Partai
Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hanura. Parpol-parpol ini
semua berasas Pancasila. Meski demikian, semua parpol ini menolak disebut
”parpol sekuler”, apalagi tidak bersahabat dengan Islam dan kaum Muslimin.
PDI-P, misalnya, selalu membantah anggapan itu dengan menyatakan parpol ini
memiliki Baitul Muslimin yang merupakan organisasi sayap keislamannya.
Sebaliknya,
pasangan Prabowo-Hatta disponsori koalisi pimpinan Partai Gerindra yang
kemudian mencakup Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan
terakhir Partai Golkar. Dua parpol ini, Gerindra dan Golkar, berasas
Pancasila; selebihnya, PPP, PKS, dan PBB, berdasarkan Islam. Agaknya
kenyataan terakhir menjadi faktor penting kenapa kemudian warna dan nuansa
Islam dalam koalisi ini terlihat menonjol. Boleh jadi juga, penonjolan warna
Islam itu merupakan bagian eksplisit atau implisit dari kesepakatan koalisi
mereka.
Dalam
konteks itu, orang dapat menyaksikan perbedaan di antara kedua pasangan
capres-cawapres dalam deklarasi resmi
masing-masing. Deklarasi pasangan Jokowi-JK terlihat tidak menampilkan
nuansa Islam secara spesifik kecuali dengan penggunaan salam khas ”assalamualaikum”
ketika Jokowi atau Puan Maharani memberikan sambutan singkat.
Sebaliknya,
deklarasi pasangan Prabowo-Hatta dimulai dengan bacaan ayat-ayat Al Quran
tentang umat Islam agar tidak bercerai-berai dan bersatu. Selain itu, hampir
sepanjang acara deklarasi pasangan ini diwarnai teriakan takbir
Allahu
Akbar. Dengan demikian, simbolisme Islam terlihat begitu menonjol dalam
deklarasi pasangan Probowo-Hatta.
”Too big to fail”
Deklarasi
model mana dari kedua pasangan capres-cawapres yang paling efektif
memengaruhi perilaku politik pemilih Muslim masih harus ditunggu.
Kecenderungan itu bisa terindikasi dalam survei-survei yang pasti segera
dilakukan lembaga atau kemudian nanti dalam ”hitung cepat” selesai
pencoblosan kertas suara nanti.
Namun,
bila disimak kembali kecenderungan politik Indonesia sejak masa reformasi,
khususnya, simbolisme Islam, atau mungkin juga agama lain dalam politik
Indonesia, tidak pernah efektif. Bahkan, terakhir sekali dalam Pemilu
Legislatif 9 April 2014, parpol-parpol berasas Islam gagal mengatasi
perolehan suara parpol berasas Pancasila. Hanya PKB—partai berasas Pancasila
yang sering dimasukkan sebagian pengamat sebagai ”parpol Islam”—yang mampu
menaikkan perolehan suaranya.
Penting
pula dicermati, sejak Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014, teori ahli ilmu
politik tentang ”jebakan demokrasi” (democracy
trap) tidak applicable dalam
pengalaman demokrasi Indonesia. Menurut teori ini, democracy opening yang berlaku dalam negara berpenduduk mayoritas
Muslim (termasuk Indonesia) hanya menghasilkan kekuasaan parpol Islamis.
Parpol dan kaum Islamis kemudian menggunakan demokrasi untuk melaksanakan
agenda-agenda sendiri; dalam konteks Tunisia dan Mesir, mengubah konstitusi
dan merencanakan penerapan syariah Islam.
Melihat
keempat pemilu setelah era Soeharto, jelas jebakan demokrasi tidak berlaku
dalam demokrasi Indonesia. Berlakunya jebakan demokrasi dalam pemilu Tunisia
dan Mesir 2012 mungkin mengilhami parpol Islam tertentu di Indonesia. Namun,
hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014 sekali lagi membuktikan kegagalan teori
jebakan demokrasi. Kenyataan ini terkait banyak dengan realitas
sosio-antropologis masyarakat Muslim Indonesia yang memiliki distingsinya
sendiri vis-a-vis kaum Muslimin di bagian dunia mana pun. Islam yang melekat
(embedded) dalam berbagai aspek
kehidupan budaya banyak suku dan bangsa Indonesia membuat realitas budaya
Muslim lebih adoptif dan adaptif, fleksibel, akomodatif, dan memberi banyak
kelonggaran ruang gerak dalam perilaku budaya dan politik.
Dalam
konteks ini, distingsi dan dikotomi budaya ”santri” dan ”abangan” yang
kemudian memunculkan ”politik aliran”, seperti dalam Pemilu 1955, tidak lagi
relevan. Perubahan sosio-ekonomis dan pendidikan dalam dua dasawarsa terakhir
membuat ”politik aliran” hampir tidak ada bekasnya dalam perilaku politik
para pemilih Muslim.
Selain
itu, Islam washatiyah yang merupakan paradigma dan praksis dominan Islam
Indonesia membuat Islam negeri ini jauh dari kecenderungan politik Islamis di
negara-negara Muslim Dunia Arab. Karena itu, ketika berbicara dalam berbagai
konferensi internasional ada penanggap yang secara gegabah menerapkan teori
jebakan demokrasi di Indonesia, jawaban saya: ”Indonesian Washatiyyah Islam is too big to fail”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar