Pilpres
dan Tekanan Ekonomi
Umar
Juoro ; Ekonom Senior
di Center for Information and Development Studies dan
Habibie Center
|
REPUBLIKA,
28 April 2014
Pilpres dan Tekanan Ekonomi
Sebelumnya prospek pileg (pemilihan legislatif) dan pilpres (pemilihan presiden)
memberikan harapan yang besar pada perkembangan ekonomi sebelum pelaksanaan
pileg pada 9 April. Perkiraan bahwa PDIP akan memenangkan pileg dan membawa
Jokowi sebagai presiden baru kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan
pelaku ekonomi. PDIP hanya mendapatkan 19 persen suara dan koalisi mendukung
Jokowi sebagai capres juga belum jelas benar. Apalagi, koalisi partai lainnya
yang mendukung capres lain juga masih belum jelas.
Hal tersebut menyebabkan
ketidakpastian dan menurunnya harapan terhadap perkembangan ekonomi. Tambahan
lagi permasalahan yang semakin menekan adalah besarnya defisit transaksi
berjalan dan subsidi energi dalam APBN. Konsekuensinya, nilai rupiah melemah
kembali dan pelaku ekonomi menjadi bersifat menunggu hasil pilpres serta
kebijakan dan program pemerintahan baru nantinya.
Namun, tekanan ekonomi akan
terus berlanjut. Pemerintah berencana akan menaikkan tarif listrik karena
jika tidak maka besarnya subsidi energi akan menyebabkan defisit melampaui batas
yang ditetapkan, yaitu tiga persen dari PDB. Melemahnya kembali nilai rupiah
menyebabkan subsidi energi menjadi lebih besar karena impor minyak yang besar
jumlahnya.
Sementara itu, target penerimaan
pajak diperkirakan tidak akan tercapai.
Dengan masih dipertahankannya
kebijakan moneter ketat, BI Rate pada tingkatan 7,5 persen, pertumbuhan kredit
kecenderungannya juga menurun.
Konsekuensinya, ke giatan ekonomi juga melemah.
BI menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,6 -5,9 persen dan begitu
pula lembaga multilateral, Bank Dunia memperkirakan 5,3 persen. Beberapa analis
bank investasi bahkan memperkirakan hanya lima persen.
Tentu saja momentum politik dari
pilpres sangat bergantung pada bagaimana koalisi politik dibentuk dan bagaimana
dukungan pemilih. Sejauh ini baru bisa dikatakan Jokowi sebagai capres dengan
dukungan PDIP dan Nasdem. Namun, ketidakpastian siapa cawapres dan partai
lain mana yang akan bergabung dengan koalisi masih belum jelas, sekalipun beberapa
nama disebutkan.
Capres lainnya, Prabowo
Subianto, dari Gerindra masih harus berusaha keras untuk membangun koalisi.
Sedangkan, cawapres Golkar, Abu rizal Bakrie, masih harus menghadapi
tantangan dari dalam partai sendiri karena hasil pileg yang kurang memuaskan.
Harapan pileg dan pilpres dapat
memberikan dukungan pada perbaikan ekonomi mengalami penurunan sementara
permasalahan riil ekonomi semakin menekan. Sementara itu, pemerintahan yang
masih ada sekarang tidak dapat berbuat banyak untuk mengurangi tekanan ini.
Kemungkinan tarif listrik akan
dinaikkan untuk memindahkan tekanan dari APBN kepada pelaku ekonomi. Beban
APBN akan berkurang, tetapi beban pelaku ekonomi bertambah karena
meningkatnya biaya produksi pada saat suku bunga pinjaman juga mengalami
kenaikan. Sedangkan, tekanan subsidi BBM masih mengadang. Permasalahan subsidi
BBM ini akan diwariskan kepada pemerintahan baru untuk mengatasinya.
Tampaknya tidak ada ja lan yang realistis selain cepat atau lambat pemerintah
harus menaikkan harga BBM bersubsidi.
Defisit neraca berjalan tidak
akan dapat dipecahkan dalam waktu dekat karena banyak berkaitan dengan struktur
perekonomian yang bergantung pada impor dan lemah dalam ekspor. Apalagi,
kondisi ekonomi dunia juga belum akan mengalami perbaikan secara signifikan.
Pelemahan kegiatan ekonomi
menjadi cara yang ditempuh untuk mengurangi tekanan defisit neraca berjalan ini.
Dengan defisit neraca berjalan yang masih besar dan nilai rupiah yang kembali
melemah, BI tidak akan menurunkan BI Rate untuk menstimulasi ekonomi.
Dengan demikian, kita harus
menghadapi perkembangan ekonomi dengan realistis. Permasalahan harus di atasi
dengan realistis juga, tidak dapat banyak mengharapkan pengaruh positif dari
pilpres. Pemerintahan baru nanti juga harus mengatasi permasalahan dengan
realistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar