Pelajaran
Mencontek
Doni
Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan
|
KOMPAS,
21 Mei 2014
PELAKSANAAN
ujian nasional semakin amburadul. Selain soal tentang Jokowi muncul lagi, UN
SMP juga ditandai plagiasi Kemdikbud atas soal-soal PISA yang dikeluarkan
pada 2012. Tuntas sudah kehancuran pendidikan di negeri ini. Soal yang dibuat
hasil mencontek, cara mengerjakannya pun dengan mencontek. Sempurna!
Sebelum
UN SMP dimulai, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh sudah gembar- gembor
tidak akan muncul lagi soal tentang Jokowi atau nama politisi. Namun, apa
yang bisa dilakukan jika soal sudah dicetak? Di sana-sini terdapat
”penghilangan paksa” beberapa nomor soal dalam UN. Akibatnya, soal tidak
lengkap, ada yang hilang, ada yang kurang soal. Ternyata, nama Jokowi tetap
muncul juga.
Pelaksanaan
UN SMP dari sisi teknis, mulai dari persiapan soal, kualitas kertas, sampai
penyediaan lembar jawaban, menyalahi prosedur evaluasi standar. Munculnya
kembali nama Jokowi dalam mata uji Bahasa Indonesia bisa saja dianggap
politisasi UN atau ada oknum tertentu yang memanfaatkan momen UN untuk
kepentingan politiknya.
Terlepas
dari motif politik, dari sisi psikometrik, ilmu pengukuran dan penilaian,
kualitas soal tentang Jokowi sangat melecehkan daya nalar anak-anak SMP di
Indonesia. Soal seperti itu mestinya untuk anak-anak kelas V SD. Dengan
kualitas soal dan pengecoh pilihan ganda yang sangat mudah, dengan sekali
baca seorang anak bisa langsung menjawab mana jawaban yang benar. Bagaimana
anak-anak Indonesia bisa meningkat kualitas pendidikannya jika hanya
mengerjakan soal Bahasa Indonesia dengan kualitas seperti itu?
Untuk
meningkatkan kualitas, M Nuh juga sudah gembar-gembor bahwa dalam soal UN
akan ada soal-soal berstandar internasional, seperti Programme for International Student Assessment (PISA), survei
internasional bidang matematika, sains, dan membaca. Benar, M Nuh memang
menepati janjinya. Dalam soal Matematika ada beberapa soal dari PISA. Namun,
sayangnya, lagi-lagi kualitas soal dipertanyakan.
Soal
Matematika yang katanya mengacu tes PISA itu ternyata sungguh-sungguh dibuat
hanya dengan menjiplak dan mencontek soal yang sudah pernah dikeluarkan oleh
PISA pada 2012. Soal itu adalah tentang teori Pitagoras yang diterapkan dalam
konteks usaha penambahan laju sebuah kapal. Soal lain adalah tentang
statistik, mengukur rerata, yang dalam versi PISA dibuat dengan model pilihan
benar-salah, tetapi dalam soal UN divariasi menjadi pilihan ganda.
Intinya,
jenis soal, pilihan jawaban, dan angka-angka memiliki urutan yang semuanya
sama. Lebih parah lagi, soal-soal dari PISA 2012 memiliki hak cipta, yaitu
skysails yang tidak boleh ditiru. Namun, soal UN justru memakai gambar dan
soal yang sama persis. Keteladanan moral dan profesional apa yang bisa kita
lihat dengan cara-cara mendidik seperti ini?
Persoalan moral
UN hanya
satu dari banyak kebijakan pendidikan Indonesia yang cacat secara moral.
Kebijakan yang dipelopori Jusuf Kalla satu dekade lalu sampai sekarang tak
menunjukkan bukti bahwa dengan UN kualitas pendidikan kita meningkat. Yang
kita lihat justru kehancuran dan kerusakan moral, mulai dari perilaku
mencontek sistematis hingga maraknya sindikat jual beli jawaban.
Guru,
siswa, dan kepala sekolah dipaksa melakukan tindakan tak bermoral dengan cara
tidak mendidik untuk meloloskan siswa apa pun caranya, karena UN telah
melukai keadilan mereka. Ada indikasi juga bahwa soal UN tahun ini banyak
yang melenceng dari kisi-kisi yang sudah ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa
siswa hanya dijadikan obyek kepentingan politis dengan cara mengorbankan dan
memperlakukan mereka secara tidak terbuka dan adil. Siswa dipaksa mengerjakan
soal yang tidak pernah mereka pelajari.
Persoalan
dalam dunia pendidikan menunjukkan bahwa sistem, struktur, dan kebijakan
pendidikan, mulai dari pusat sampai unit sekolah, tidak memberi tempat bagi
lahirnya individu-individu yang memiliki integritas moral. Di unit sekolah,
sistem katrol nilai adalah hal lumrah.
Jual-beli
nilai antara orangtua dan sekolah pun jadi hal biasa. Jual-beli ini sudah
dimulai sejak SD ketika para orangtua harus membayar ”uang kursi” agar
anaknya diterima di sekolah negeri yang selama ini digembargemborkan sebagai
sekolah gratis. Pungli seperti ini mencerminkan rusaknya moralitas para
pelaku pendidikan sudah terjadi di tingkat akar rumput.
Mentalitas menerabas
Plagiasi
atas soal PISA dalam UN menunjukkan logika dan cara berpikir yang serba
menerabas dan jalan pintas. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita
setingkat dengan dunia internasional, kita menggunakan soal kelas
internasional. Namun, sayang, mentalitas global ini tak disertai perilaku
global, yang sesungguhnya mempersyaratkan kreativitas dan inovasi.
Fenomena
mencomot soal PISA juga menunjukkan gejala kemalasan berpikir disertai
ketakprofesionalan pengelolaan pendidikan yang akhirnya melahirkan anomali.
Pendidikan yang secara per se adalah sebuah kinerja moral menjadi sarana
degradasi. Degradasi moral yang terjadi sudah seperti kanker kronis, mulai
dari pelaksana di lapangan sampai pucuk pimpinan. Cacat moral dan mentalitas
menerabas itu tecermin dari cara pemerintah mengelola dan menyelenggarakan UN
yang justru bertentangan dengan semangat pencerdasan dan pemanusiaan.
Bangsa
ini sesungguhnya punya banyak ahli pendidikan, psikometrik, kurikulum, dan
manajemen yang bisa membantu meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Sayangnya, di antara cerdik pandai dan profesional itu sedikit yang memiliki
komitmen moral tinggi. Ironisnya, jusru mereka yang masih punya komitmen
moral tinggi terpinggirkan jauh. Suara kritisnya hanya terdengar seperti
orang berteriakteriak di padang gurun.
Jelas,
pemerintahan sekarang ini tidak lagi dapat diharapkan untuk memperbaiki
kualitas pendidikan, baik secara profesional maupun moral. Kita butuh
pemimpin yang tidak cacat secara moral dan memiliki komitmen moral tinggi
untuk mendobrak segala kerusakan ini dari berbagai lini. Kita butuh pemimpin
yang dapat menghadirkan orang- orang yang berteriak di padang gurun itu untuk
membantu mengelola pendidikan nasional kita. Jangan sampai kita mewariskan
kepada generasi ini bahwa satu- satunya pelajaran yang mereka terima selama
bersekolah adalah mencontek, seolah perilaku tidak jujur dan mencontek adalah
satu-satunya cara untuk bertahan menjadi manusia di zaman ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar