Menikmati
Kelahiran Generasi Joget
Tjuk
Subhan Sulchan ; Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta
Indonesia (ABPPTSI) Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 05 Mei 2014
HIRUK-PIKUK perpolitikan di
negeri ini setelah coblosan anggota legislatif dan hangatnya suasana menyongsong Pilpres 9 Juli
mendatang, sepertinya tidak
berpengaruh terhadap fenomena baru di tengah masyarakat kita. Fenomena itu
adalah ’’Indonesia berjoget’’. Coba saja saksikan tayangan televisi kita
mulai sore hingga menjelang malam.
Nuansa politik seolah-olah
hilang, berganti dengan nuansa joget dan hura-hura. Dimulai pukul 17.00,
stasiun televisi mulai membuka ”pesta” masing-masing. Hanya news channel seperti Metro TV dan TV One yang mengecualikan
diri. MNCTV membuka pestanya dengan
acara ’’Tunjuk Satu Bintang’’ pada pukul 16.00-20.00, disusul ’’Pesbukers’’
di Anteve pada pukul 17.00-19.00.
Pada saat Pesbuker belum
selesai, pukul 18.00 Indosiar dan Transtv memulai pestanya masing-masing:
’’D’Academy’’ dan ’’Yuk Keep Smile (YKS)’’ masing-masing tayang selama 5 jam
dan 4 jam. Durasi yang sangat panjang untuk sebuah acara yang isinya hanya
menyanyi, joget dan hura-hura. Pesta makin ramai dengan tayangan-tayangan
sejenis seperti ’’Campur-campur’’,
’’D’terong Show’’, ’’@Show Imah’’ dan sebagainya.
Dalam acara ini, penonton diajak
berjoget. Bahkan joget ini dikompetisikan. Pesertanya ya penonton yang ada di
studio. ’’Mirisnya’’, banyak ibu-ibu ikut joget, berani menahan malu, atau
bahkan mungkin sudah tidak punya lagi rasa malu. Hanya demi uang ratusan ribu
rupiah, mereka ’’mengeksploitasi’’ diri, berjoget sebegitu heboh dengan
kostumnya yang ’’aneh bin ajaib’’. Tidakkah mereka menyadari itu disaksikan
oleh jutaan pasang mata di seluruh pelosok Indonesia?
Banyak diantara pejoget baik
yang ada di tribun penonton ataupun yang ikut maju ke panggung pentas adalah
”muslimah”. Dengan kostum muslimahnya yang ’’nyentrik’’, mereka tidak sungkan
dan tanpa malu berjoget menggerakkan seluruh anggota tubuh. Ironisnya lagi,
organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas yang selama ini
kritis terhadap hal-hal yang berbau ”kebatilan” kok ”tiarap” semua. Bahkan
MUI seperti membiarkan tontonan yang seperti ini berlangsung terus tanpa
reaksi sesuai kaidah-kaidah agama dan budaya bangsa kita yang adiluhung.
Jadi ’’Korban’’
Contoh, di ’’D’Academy’’
tayangan tanggal 20 April lalu, tampil seorang bocah perempuan berusia 4
tahun, datang jauh dari Lampung. Di panggung ia menyumbangkan ”Masa Lalu”,
lagu tentang percintaan orang dewasa, dan syairnya tentu bukan untuk anak
seusianya. Bocah cantik yang berani ini
telah jadi ”korban” dari tayangan itu dan orang tuanya.
Kemungkinan besar karena tiap
malam orang tuanya selalu menyuguhkan acara ini, yang baru akan selesai
tayang pada pukul 23.00. Apa yang ditonton orang tua di layar kaca televisi
mereka, maka akan menjadi tontotan pula bagi anaknya.
Anak adalah individu yang sangat
rentan dengan perilaku peniruan yang nantinya terinternalisasi dan membentuk
kepribadian. Tayangan televisi yang dilihatnya tiap saat akan masuk ke
otaknya. Bagi anak yang berasal dari keluarga yang memiliki mutu kehidupan
baik dan ter-literacy dengan baik
maka apa yang dilihat di layar televisi dapat disaring melalui keluarga,
dengan orang tua menjadianutan.
Komunikasi dan contoh orang tua
dalam perilaku sehari-hari menjadi benteng paling kokoh dalam membendung
semua pengaruh buruk televisi. Lalu apa jadinya untuk anak yang memiliki
orang tua yang malah memberikan contoh dalam tontonan dan perilaku dalam
tayangan-tayangan seperti ini? Lantas apa fungsi KPI/KPID selaku pengawas
acara-acara televisi kalau tidak peka terhadap tayangan yang tidak ada unsur
edukasinya dibiarkan berlanjut terus?
Mungkin inilah masa-masa
Indonesia telah melahirkan generasi baru, yaitu generasi joget. Padahal
dengan segala potensi yang dimiliki, media harusnya dapat memberikan pengaruh
positif kepada anak-anak dan remaja. Tentunya dengan menampilkan
tayangan-tayangan yang menginspirasi dan memicu kreativitas anak dalam
membuat terobosan-terobosan baru yang akan bermanfaat untuk banyak orang.
Memang, pada akhirnya peran
orang tua yang sangat menentukan. Namun
seharusnya pemerintah pun memiliki peran yang tak kalah penting.
Seorang bijak pernah berkata, ”untuk
melihat seberapa cerdas dan pintar seseorang maka lihat apa bacaannya (buku)”.
Kalimat yang mirip bisa juga kita rangkai, ”Untuk melihat seberapa kuat karakter anak bangsa maka lihatlah apa
saja tontonannya (tayangan televisi di rumah)”.
Tak ada cara lain, pemerintah (dalam hal ini Kemdikbud, Kemenag, Kominfo)
bersama organisasi massa yang peduli dengan budaya adiluhung dan nilai-nilai moralitas bangsa, insan pers/media
harus duduk bersama menyelamatkan bangsa ini dengan merancang model tayangan
televisi yang well educated, penuh
muatan budaya yang luhur dan berkesenian tinggi, tidak asal goyang dan megal-megol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar