Membangun
Infrastruktur untuk Indonesia Lebih Baik
Gatot
M Suwondo ; CEO &
Direktur Utama BNI
|
KORAN
SINDO, 20 Mei 2014
KENDATI
ekonomi dunia tengah mengalami konsolidasi menuju keseimbangan baru yang
ditandai dengan proyeksi pertumbuhan global yang mulai menguat, perekonomian
Indonesia dinilai masihmemiliki prospek baik bagi investasi.
Kebangkitan
perekonomian dunia diharapkan berimbas positif terhadap perekonomian
Indonesia. Apalagi menurut McKinsey
Global Institute, perekonomian Indonesia akan menjadi terbesar ketujuh
pada tahun 2030. Bahkan menurut JimO’Neill, mantan chief economist Goldman Sach yang menggagas konsep BRICs dan
MINT, dalam Indonesia Investment Summit
2013, Indonesia berpotensi menjadi ekonomi terbesar dunia keenam pada
2025. Dua proyeksi tersebut bukan sesuatu yang absurd, tapi niscaya bisa dicapai dengan beberapa persyaratan dan
kondisi tertentu.
Untuk
mencapai hal tersebut sekaligus guna memitigasi potensi risiko dan
ketidakpastian ekonomi dunia yang masih terasa hingga kini, diharapkan
pemerintah yang akan datang harus tetap melakukan lima langkah utama.
Pertama, terus mendorong penguatan daya beli masyarakat (keep buying policy) melalui sejumlah program baik dari sisi pasok
(ketersediaan dan pasokan barang/jasa) maupun permintaan (insentif langsung/tidak
langsung kepada masyarakat).
Kedua,
percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendorong konektivitas dan daya
saing logistik nasional. Realisasi investasi pembangunan infrastruktur
melalui alokasi APBN 2013 mencapai Rp203 triliun atau naik16,4% dari tahun
2012 sebesar Rp174,9 triliun. Dalam APBN 2014, alokasi belanja infrastruktur
ditargetkan sebesar Rp208 triliun. Realisasi investasi pembangunan
infrastruktur pada proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) perakhir2013 mencapai Rp828,7 triliun (sektor riil
dan infrastruktur). Di akhir 2014, realisasi investasi program MP3EI
diperkirakan dapat mencapai Rp1.000 triliun.
Ketiga,
terus mendorong investasi sebagai salah satu motor pertumbuhan.
Realisasi
investasi Januari-Desember 2013 mencapai Rp398,6 triliun atau melebih target
sebesar Rp390 triliun. Untuk 2014, pemerintah menargetkan investasi yang
masuk baik PMA maupun PMDN dapat mencapai kisaran Rp450 triliun. Untuk
kuartal I-2014, realisasi investasi sudah mencapai Rp106 triliun atau masih
sesuai Prognosis 2014.
Keempat,
penguatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Penguatan UMKM
sebagai basis penopang perekonomian nasional perlu terus didorong dalam
meningkatkan daya saing, kapasitas, cakupan, danaksespermodalan. Kelima,
dengan pembangunan infrastruktur, investasi sektor riil dan penguatan UMKM diharapkan
dapat memperlebar pasar tenaga kerja nasional sehingga ekonomi dapat terus
tumbuh positif dan berkualitas.
Urgensi pembangunan infrastruktur
Dalam
aspek peringkat daya saing, Indonesia masih tertinggal dibandingkan Singapura,
Malaysia, Brunei, dan Thailand. Peringkat daya saing Indonesia lebih baik
dibandingkan Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar. Kekuatan Indonesia
ada pada ukuran pasar. Sayangnya, Indonesia masih lemah dalam aspek labor market efficiency, technological
readiness dan infrastructures.
Di bidang infrastruktur, peringkat Indonesia ke-61 terhadap lebih dari 100
negara dalam The Global Competitiveness
Index 2013-2014, World Economic Forum.
Lemahnya
infrastruktur menyebabkan biaya logistik Indonesia mencapai 17% dari total
produksi. Ini berarti biaya logistik di Indonesia lebih dari tiga kali lipat
biaya logistik di Jepang, sekitar tiga kali lipat dibandingkan Singapura, dan
lebih dari dua kali lipat biaya logistik di Malaysia. Hal ini menyebabkan
aktivitas ekonomi di sini menjadi berbiaya tinggi dan tidak kompetitif.
Sebenarnya
pemerintah sudah memiliki solusi pembangunan infrastruktur, yaitu melalui
program MP3EI) yang diluncurkan sejak Mei 2011 lalu. Sebagian besar fokus
program MP3EI adalah infrastruktur yang mencakup lebih dari 44% proyek-proyek
MP3EI. Sekitar Rp1.774 triliun atau 44% dari total estimasi investasi MP3EI
yang sebesar lebih dari Rp4.000 triliun adalah untuk proyek-proyek
infrastruktur.
Proyek
jalan raya dan energi meliputi sekitar 57% dari proyek-proyek infrastruktur
MP3EI. Sejauh ini porsi anggaran belanja infrastruktur Indonesia masih jauh
dari ideal. Bahkan anggaran infrastruktur dalam APBN masih lebih rendah
daripada subsidi energi dan belanja pegawai. Maklum, peliknya masalah
infrastruktur tidak lepas dari rendahnya alokasi anggaran pemerintah untuk
pembangunan infrastruktur.
Rasio
anggaran infrastruktur Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) di
bawah 3%, bahkan trennya menurun dalam beberapa tahun ini. Kondisi ini masih
jauh di bawah rasio ideal yang mensyaratkan minimal 5% PDB. Hanya, lantaran
keterbatasan anggaran pemerintah dalam APBN, mutlak diperlukan dukungan
investor swasta, termasuk pembiayaan perbankan.
Sumber pembiayaan infrastruktur
Sekitar
88% pembiayaan proyek-proyek MP3EI diharapkan datang dari swasta, badan usaha
milik negara (BUMN) dan campuran (termasuk pembiayaan perbankan). Dari total
nilai indikasi investasi sebesar Rp4.000 triliun, pemerintah hanya sanggup
untuk membiayai sekitar 12 persennya karena keterbatasan dana.
Di
sinilah peran investor, termasuk pembiayaan perbankan memegang peranan
penting. Dalam lima tahun terakhir (2009-2013), penyaluran kredit perbankan
tumbuh rata-rata 20,3% per tahun. Sepanjang periode tersebut, kredit ke
sektor terkait infrastruktur juga tumbuh, namun dengan tingkat pertumbuhan
lebih rendah, yaitu hanya 16,8% per tahun.
Kendati
demikian, pada beberapa sektor infrastruktur seperti listrik, gas, dan air
bersih, justru terjadi pertumbuhan sangat tinggi pada periode yang sama
(terutama listrik akibat program percepatan 10.000 MW). Dalam lima tahun
terakhir juga non performing loan
(NPL) perbankan terus menunjukkan penurunan signifikan. Saat ini total NPL
kredit perbankan sudah lebih rendah dibandingkan NPL kredit pada sektor
terkait infrastruktur. Bahkan ada kecenderungan NPL pada berbagai sektor
terkait infrastruktur sudah cukup rendah, kecuali pada sektor konstruksi yang
cukup tinggi, yaitu 3,6% di 2013.
BNI,
sebagaisalahsatuBUMN dan bank terkemuka di Indonesia, memiliki peran
strategis dalam pembiayaan infrastruktur. Sebagai fasilitator pertumbuhan
ekonomi, BNI berkontribusi dengan fokus pada segmen business banking (BB) dan consumer
and retail (CR).
Pada
segmen consumer banking, BNI
berkeinginan untuk menjadi lifetime
banking partner bagi para nasabahnya, tidak hanya hari ini saja namun
untuk masa mendatang, melalui penyediaan pembiayaan dan jasa perbankan kepada
konsumen. Pada segmen business banking,
BNI menjadi fasilitator bagi pengembangan industri-industri di dalam negeri,
salah satunya melalui penyediaan fasilitas kredit produktif dalam bentuk
kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI) serta jasa perbankan lain
untuk kepentingan dunia usaha, termasuk pembiayaan infrastruktur.
Saya
memandang mutlak dibutuhkan dukungan infrastruktur dasar sebagai backbone
pertumbuhan ekonomi. Di sini BNI telah mengidentifikasi delapan sektor
unggulan berskala nasional, yaitu pertanian; makanan dan minuman;
perdagangan; kelistrikan; rekayasa dan konstruksi; minyak, gas dan
pertambangan; komunikasi; serta kimia (termasuk kimia dasar). Kedelapan
sektor ini diperkirakan menjadi penggerak perekonomian Indonesia, yang
kesemuanya juga telah sejalan dengan MP3EI.
Selama
ini pembangunan infrastruktur selalu mengandalkan dana APBN, sehingga sering
ditemui kendala pendanaan untuk merealisasikannya. Salah satu contohnya
pembangunan jalan tol yang sarat modal, padahal jalan tol merupakan salah
satu solusi mengatasi problem konektivitas dan logistik di Tanah Air. Namun,
adanya Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara yang menghubungkan Nusa Dua-Ngurah
Rai-Benoa membuktikan pembangunan infrastruktur dapat dilaksanakan tanpa
membebani APBN, yaitu melalui sinergi antar-BUMN.
BNI pun
berperan serta dalam proyek besar tersebut. Maka, saya boleh berbangga telah
menjadi bagian dari sinergi antar-BUMN tersebut. Ke depan, saya pun berharap
keberhasilan sinergi antar-BUMN ini dapat dijadikan percontohan untuk dapat
diterapkan pada proyek-proyek infrastruktur lain, khususnya yang masuk dalam
MP3EI. Saya melihat BUMN memiliki semua bidang usaha strategis, seperti di
sektor rekayasa dan konstruksi, keuangan perbankan, sekuritas, semen,
kelistrikan, telekomunikasi, jalan tol, dan masih banyak sektor lainnya.
Saya
berkeyakinan jika sinergi dan kolaborasi dilakukan antar-BUMN dengan baik dan
adanya peran-serta dan dukungan pemerintah dalam aspek regulasi, permasalahan
infrastruktur akan terurai dengan sendirinya karena pembiayaan infrastruktur
tidak menjadi masalah lagi.
Dari
ilustrasi di atas, dapat saya simpulkan beberapa hal. Pertama, sinergi
antar-BUMN merupakan keniscayaan karena memberikan keuntungan bersama (common benefits) bagi BUMN yang
terlibat. Kedua, ruang kerja sama antar-BUMN terbuka lebar lantaran bidang
usaha BUMN yang luas dan saling melengkapi secara sinergis.
Ketiga,
sinergi antar-BUMN akan menciptakan pasar yang atraktif bagi sesama BUMN
dengan tingkat operasional yang efisien dan efektif. Ini juga akan mendorong
pengelola BUMN lebih kreatif dan inovatif membuka kerja sama saling
menguntungkan.
Keempat,
kontribusi BUMN akan menjadi lebih besar dan bernilai melalui beberapa
kebijakan misalnya dividend pay out
ratio BUMN yang jelas sehingga BUMN dapat merencanakan bisnisnya secara
lebih baik. Terakhir, harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan dan
sinkronisasi kebijakan baik pusat maupun daerah serta antara
lembaga/kementerian, misalnya terkait rencana tata ruang wilayah (RT/RW),
sistem bagi hasil yang jelas antara pusat dan daerah yang dituangkan dalam
bentuk undang-undang, bukan peraturan yang lebih rendah.
Akhirnya,
setelah semua masalah mendasar dibereskan, barulah perbankan bisa melakukan
fasilitasi secara lebih optimal. Pada dasarnya BNI akan senantiasa terus
berkomitmen dalam mendukung pembangunan infrastruktur demi kemajuan
perekonomian bangsa agar dapat tumbuh tinggi, berkualitas, dan berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar