Koalisi
Pilpres
Janedjri
M Gaffar ; Doktor Ilmu Hukum,
Alumnus
PDIH, Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 05 Mei 2014
SEJAK
pemungutan suara dalam pemilihan umum (pemilu) legislatif 9 April 2014
selesai dilaksanakan dan beberapa jam kemudian hasil hitung cepat diumumkan
oleh berbagai lembaga survei, berita nasional menyuguhkan berbagai langkah
yang dilakukan oleh elite partai politik untuk membangun koalisi menuju Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang.
Berbagai
prediksi pun disampaikan oleh para pengamat tentang poros koalisi yang akan
berkompetisi disertai analisis potensi kemenangan masing-masing kandidat.
Riuh rendahnya koalisi dalam perpolitikan nasional saat ini setidaknya
didorong oleh dua hal. Pertama, adanya ketentuan presidential threshold yaitu ambang batas yang harus dipenuhi
oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan
pasangan calon presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau
25 persen suara sah nasional.
Kedua,
hasil hitung cepat pemilu legislatif, yang telah dipercaya tidak akan berbeda
jauh dengan hasil penghitungan pemilu legislatif yang akan ditetapkan KPU,
menunjukkan tidak ada satu pun partai politik yang memperoleh 25 persen suara
sah nasional. Walaupun perolehan suara belum dikonversi menjadi kursi DPR,
dengan tidak adanya partai politik yang memperoleh setidaknya 25 persen suara
sah nasional dapat dipastikan tidak ada pula partai politik yang akan
memperoleh 20 persen kursi DPR.
Hasil
itu membawa konsekuensi tidak ada satu pun partai politik yang dapat
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa tambahan suara
dari partai politik lain. Tambahan suara hanya dapat diperoleh dengan
membangun koalisi dengan partai politik lain. Koalisi sesungguhnya bukan hal
baru di Indonesia. Pada masa Orde Lama, sebelum masa demokrasi terpimpin,
pemerintahan yang terbentuk selalu merupakan pemerintahan koalisi.
Hal ini
sangat wajar karena pada masa itu sistem pemerintahan yang digunakan adalah
sistem parlementer. Namun, sepanjang masa reformasi yang menggunakan sistem
presidensial, koalisi juga selalu terbangun, baik pada pemerintahan
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, maupun Susilo Bambang Yudhoyono.
Sayangnya, koalisi di era reformasi dinilai banyak pihak tidak didasarkan
pada pertimbangan platform apalagi ideologi.
Dari
perspektif konstitusi, UUD 1945 menentukan bahwa pasangan calon presiden dan
wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta Pemilu. Ketentuan itu sama sekali tidak mengamanatkan adanya presidential threshold dan keharusan
adanya koalisi partai politik sebagai konsekuensinya. Presidential threshold adalah kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang,
dan koalisi adalah kenyataan politik yang pasti dan telah terjadi.
Apalagi
dengan model pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden, yang membuat
partai politik mempertimbangkan hasil pemilu legislatif untuk mengukur kekuatan
sendiri maupun kekuatan partai politik lain saat hendak berkompetisi dalam
pemilu presiden. Sebagai suatu realitas politik, koalisi dapat digunakan
untuk mencapai dua hal. Pertama, memperkuat pemerintahan.
Kedua,
menyederhanakan partai politik. Konstitusi kita memang menganut sistem
pemerintahan presidensial yang telah diperkuat melalui proses perubahan UUD
1945. Memang benar bahwa salah satu ciri utama sistem presidensial adalah fixed term, masa jabatan presiden
telah ditentukan dan tidak dapat dijatuhkan kecuali dengan alasan dan
mekanisme yang telah ditentukan.
Namun
hal itu tidak berarti bahwa presiden tidak membutuhkan dukungan parlemen
untuk dapat menjalankan pemerintahan. Sistem presidensial adalah sistem yang
menganut pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balances antarcabang kekuasaan. Dengan kata lain,
kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden diimbangi dan dibatasi oleh kekuasaan
parlemen.
Banyak
kebijakan presiden yang harus mendapat persetujuan parlemen, baik bersifat
sektoral maupun yang dituangkan dalam APBN. Karena itu, presiden harus
memiliki dukungan yang cukup di parlemen agar dapat memengaruhi pengambilan
keputusan secara berimbang. Jika tidak demikian, walaupun tidak dapat
dijatuhkan, presiden akan tersandera oleh parlemen atau bahkan akan tercipta
politically legislative heavy yang lebih banyak mengarah pada sistem
parlementer.
Di sisi
lain, dukungan kekuatan presiden di parlemen juga tidak boleh terlalu besar
agar tidak menciptakan otoritarianisme seperti pada masa orde baru. Hanya
dengan kekuatan yang relatif berimbang, mekanisme checks and balances dapat dijaga keberlangsungannya. Koalisi juga
dapat menjadi jalan untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana, setidaknya
dari sisi jumlah partai politik yang eksis dalam politik.
Sistem
multipartai sederhana menjadi pilihan sistem kepartaian didasarkan pada dua
hal. Pertama, sistem pemerintahan apa pun, apalagi sistem presidensial, akan
terganggu jika terlalu banyak kekuatan politik yang bermain, lebih-lebih jika
tidak ada dua kekuatan politik utama. Akibatnya, pengambilan keputusan akan
sulit dan lambat yang sering kali untuk mempercepat dan memperlancar lalu
digunakan kepentingan politik praktis.
Kedua,
di sisi lain kita menyadari keragaman masyarakat Indonesia, termasuk dari
sisi aliran politik sehingga tidak memungkinkan hanya terdapat dua partai
politik saja. Realitas politik yang beragam dan perlunya dukungan bagi
presiden di parlemen menjadikan koalisi memang senantiasa dibutuhkan dan akan
terjadi. Bahkan kalaupun ketentuan presidential
threshold dihapuskan, koalisi masih tetap ada dan dibutuhkan dalam
membentuk pemerintahan.
Untuk
mencapai tujuan koalisi, yaitu menciptakan pemerintahan yang kuat dan menjadi
jalan penyederhanaan sistem kepartaian, tentu yang dibutuhkan adalah koalisi
jangka panjang. Koalisi model ini adalah koalisi yang tidak sekadar
didasarkan pada kepentingan pragmatis, namun harus memiliki dasar pijakan
ideologi dan platform yang sama. Tentu saja untuk mengetahui dan memahami
persinggungan ideologi dan platform tidak akan selesai di level diskusi atau
“pertemuan” antar elite partai politik.
Kerja
sama ideologis dan kesamaan platform harus dilihat secara nyata dalam
merumuskan dan menjalankan program pemerintahan bersama. Hal ini sekaligus
untuk melihat apakah dalam tataran praktis masing-masing ideologi dan
platform partai politik juga mengalami perjumpaan. Karena itu, koalisi dalam
Pemilu Presiden 2014 hendaknya didasarkan pada pertimbangan jangka panjang
yang dikaitkan dengan koalisi di tahun 2019 mendatang.
Diharapkan
saat itu partai politik sudah dapat melihat dan mengevaluasi kesesuaian
ideologi dan platform hingga
tataran implementasi. Apalagi pada 2019 mendatang, pemilu legislatif dan
pemilu presiden akan dijalankan secara serentak sehingga pertimbangan koalisi
tidak lagi hasil pemilu legislatif, tetapi pengalaman perjalanan lima tahun
sebelumnya. Koalisi akan terjadi secara alamiah, bahkan kalaupun ketentuan presidential threshold ditiadakan
untuk Pemilu 2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar