Kenaikan
Tarif Listrik untuk Industri
Tulus Abadi ; Anggota Pengurus
Harian YLKI
|
TEMPO.CO,
30 April 2014
Jantung
para pengusaha kini boleh jadi berdegup kencang. Pasalnya, per 1 Mei 2014,
pemerintah akan menaikkan tarif tenaga listrik untuk sektor industri sebesar
38,9 persen. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 9 Tahun
2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN. Inti dari
beleid ini adalah mencabut subsidi listrik untuk industri besar secara
berkala, hingga mencapai tarif keekonomian. Kendati hanya berlaku pada
golongan industri besar, dan diberlakukan bertahap, toh kebijakan ini tetap
menuai protes, khususnya dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Golongan
I-3 go public naik 8,6 persen per
dua bulan, dan golongan I-4 naik 13,3 persen per dua bulan.
Secara
normatif, langkah pemerintah menghapus subsidi listrik sektor industri
tidaklah keliru. Sebab, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007
tentang Energi dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; yang
berhak menerima subsidi listrik adalah masyarakat (tidak mampu), bukan sektor
industri/bisnis. Namun kebijakan menaikkan tarif listrik untuk sektor
industri bukan tanpa titik lemah. Pasalnya, struktur tarif untuk
industri/bisnis idealnya lebih murah dibanding struktur tarif untuk rumah
tangga. Listrik industri/bisnis untuk kegiatan produktif (seharusnya diberi
insentif), sedangkan listrik untuk rumah tangga untuk kegiatan konsumtif
(seharusnya diberi disinsentif). Apalagi dampak ikutan dari kenaikan itu pada
konsumen rumah tangga juga. Sektor industri akan menaikkan harga-harga
produknya di pasaran. Dampaknya, sosial ekonominya pun bisa lebih besar
daripada nilai subsidi yang dihemat pemerintah, yakni Rp 8,9 triliun.
Sejatinya
subsidi pada sektor energi bukanlah kebijakan yang berkesinambungan, apalagi
jika energi yang digunakan masih dominan energi fosil (khususnya bahan bakar
minyak). Memang, saat ini kontribusi bahan bakar minyak pada pembangkit PT
PLN kini kurang dari 10 persen. Tapi yang 10 persen ini, jika dirupiahkan,
nilainya bisa mencapai 40 persen dari total biaya operasional PT PLN. Harus
diakui, besaran subsidi yang digelontorkan pada kalangan industri besar
memang sangat signifikan, yakni bisa mencapai Rp 5 miliar per industri besar,
per bulannya. Bandingkan dengan subsidi untuk golongan rumah tangga 450-900
VA yang hanya Rp 75 ribu per bulan.
Sungguh
pun demikian, pendulum penyakit subsidi listrik adalah di kalangan rumah
tangga kategori 450-900 VA tersebut. Jika diakumulasi, golongan inilah yang
dominan menyedot subsidi listrik lebih dari 50 persen, dari total subsidi
listrik sebesar Rp 79,9 triliun (2014). Akan lebih elegan jika pemerintah dan
DPR punya nyali untuk mengurangi subsidi rumah tangga golongan 450/900 VA.
Toh kenaikan 5 persen pada 450-900 VA hanya akan menambah kocek sebesar Rp
1.500 per bulan, dari Rp 42 ribu per bulan (tagihan rata-rata 450-900 VA).
Sedangkan subsidi yang dihemat bisa mencapai Rp 50 triliun. Sangat signifikan!
Kalaupun
tetap tidak ingin membebani mereka, pemakaian kWh-nya bisa dipagu (sistem
kuota). Artinya, konsumen tidak akan mengalami kenaikan tarif jika tidak
melewati kuota yang ditetapkan (pemakaian listrik 450-900 VA rata-rata 42,5
kWh per bulan). Pola semacam ini juga berfungsi untuk melatih agar konsumen
berhemat listrik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar