Ironi
Kekerasan Seksual pada Anak
Rita
Pranawati ; Komisioner
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
|
KORAN
SINDO, 20 Mei 2014
DUA
bulan terakhir ini tema pelecehan seksual terhadap anak terus mengemuka.
Topik ini menjadi perbincangan menarik di media massa, baik nasional maupun
lokal. Sebab, belum tuntas kasus pedofil yang melibatkan satu anak TK/PAUD Jakarta International School (JIS)
sebagai korbannya (dan ada indikasi korban lebih dari satu), kini publik
kembali terperangah akibat ulah bejat Andri Sobari, alias Emon, remaja asal
Sukabumi yang melakukan sodomi terhadap lebih dari 100 anak.
Kasus
pelecehan seksual terhadap anak sejatinya bukan berita yang benar-benar baru,
melainkan setiap tahun terjadi. Kasus Robot Gedek pada tahun 1995 yang telah
melakukan kejahatan seksual kepada 12 anak dan memutilasi korbannya
membuktikan bahwa kasus seperti ini sudah lama terjadi. Sayangnya, problem
tersebut selama ini masih minim publikasi, perhatian, serta upaya pencegahan
dari banyak pihak, tak terkecuali dari elemen pemerintah.
Hingga
kini pun tema-tema mengenai perlindungan anak masih menjadi opini yang
tersubordinasi dibanding kisruh politik dan pemberitaan korupsi yang tak
produktif. Nomenklatur perlindungan anak yang telah hadir melalui
undang-undang pada tahun 2002, baru muncul pada kabinet Indonesia Bersatu
Jilid 2 dengan nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Bisa kita bayangkan di daerah, isu perlindungan anak masih belum mendapat
tempat.
Padahal,
aksi penyelewengan seksual terhadap anak-anak trennya mengalami peningkatan
setiap tahun. Menurut data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), total kasus pelecahan seksual terhadap anak pada 2011 mencapai 329,
tahun 2012 naik menjadi 746 kasus, dan 525 kasus pada 2013. Sementara di
tahun ini (hingga triwulan pertama), dari pengaduan ke KPAI dan laporan
media, kasus kekerasan seksual mencapai 459 kasus).
Hasil
pantauan KPAI menemukan rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap
bulannya. Tentu saja, kondisi yang tidak berpihak pada anakanak ini sangat
menyayat hati, terutama bagi para orangtua.
Bukan
hanya kekerasan seksual yang mereka alami, melainkan masa depan mereka yang
terenggut karena sakit psikologis. Ironisnya, dalam kondisi yang demikian
parah penegakan hukum kita belum bekerja secara optimal. Bahkan para
penyelenggara baru bersikap agresif ketika korban pelanggaran seksual anak mendapat
pemberitaan yang massif dari media massa.
Padahal,
sejatinya anak-anak memiliki hak konstitusional mendapat perlindungan dari
kekerasan seksual. Hak perlindungan anak tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun
2002 pasal 4 Tentang Perlindungan Anak, yaitu setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Sementara
dalam pasal 82 disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana paling lama 15 tahun dan
paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit
Rp 60 juta.
Hukuman
ini pun perlu direvisi mengingat kejahatan seksual terhadap anak sangat
membahayakan masa depan anak-anak sekaligus masa depan bangsa ini.
Berdasarkan norma itu, pemerintah dipandang berkewajiban dan bertanggungjawab
terhadap perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Negara
dituntut berperan aktif untuk mewujudkan kondisi sosial yang ramah terhadap
tumbuh kembang mereka. Sebab, anakanak masih memiliki masa depan yang tidak mustahil
di antara mereka akan memegang estafet kepemimpinan bangsa di masa mendatang.
Di
tengah hiruk-pikuk dinamika politik menjelang pemilihan presiden (Pilpres)
yang tinggal sebentar lagi (Juli 2014), diharapkan ada di antara partai
politik maupun capres-cawapres yang menjadikan tema perlindungan anak sebagai
salah satu visi dan misi mereka.
Sayangnya,
harapan itu masih jauh panggang dari api karena elite politik tampaknya lebih
sibuk bicara koalisi dibanding mengedepankan berbagai problem yang akan
mengemuka lima tahun mendatang. Bahkan, nyaris tidak ditemukan para calon
anggota legislatif di pileg kemarin yang menempatkan problem perlindungan
anak sebagai visi perjuangan.
Padahal
aksi kekerasan seksual, tindakan asusila, dan penjualan anak terus memekatkan
langit bumi pertiwi. Setiap sudut ruang publik, mulai dari sekolah, bus kota,
angkutan umum, tempat pariwisata, hingga di lingkungan desa sekalipun dinilai
tidak aman dari aksi predator anak.
Tak
ayal, bila banyak pengamat pendidikan dan psikolog anak yang menyebut situasi
ini sebagai darurat kekerasan seksual pada anak. Bahkan informasi terbaru
menyebutkan, guru SD berinisial AM asal Samarinda diciduk polisi setempat
karena berbuat cabul terhadap 20 murid perempuannya.
Sungguh
situasi elegis ini sangat tidak masuk akal, mestinya guru bisa menjadi
pengayom bagi muridmuridnya, bukan justru mematikan masa depan mereka. Dalam
kondisi seperti ini ada beberapa hal yang mesti dilakukan.
Pertama
, untuk pemerintah tidak cukup bila darurat penyelewengan seksual yang
menempatkan anak-anak sebagai korbannya tersebut disikapi dengan rasa
prihatin saja. Dalam hal ini, pemerintah perlu bertindak tegas terhadap
pelaku pedofil anak, meski itu melibatkan sekolah internasional.
Pemerintah
melalui kepolisian diharapkan bisa bekerjasama dengan berbagai elemen sosial
lain untuk membuka kasus secara transparan di depan hukum. Apapun kasusnya
jika itu melibatkan anak-anak sebagai korbannya, maka tidak perlu
ditutup-tutupi.
Dengan
begitu setiap penyelewengan seksual anak bisa diselesaikan hingga ke
akar-akarnya. Kedua, bagi para guru. Dengan maraknya aksi predator anak di
berbagai sekolah, baik di Jakarta maupun daerah-daerah lain, para stakeholder
pendidikan perlu melakukan pengawasan secara lebih terhadap anak-anak, dengan
tanpa mengikat gerak mereka untuk bermain dan bersosialisasi dengan
teman-temannya.
Sementara
ketiga, bagi kalangan pendidik dan orangtua berkewajiban memberi bimbingan
kepada anak-anaknya agar tidak suka berdiam diri, bersikap mudah menerima
pemberian orang, atau mengikuti kehendak orang lain yang belum dikenal.
Mereka
mesti dirangsang untuk selalu aktif dan mudah berkomunikasi dengan
lingkungannya. Akhirnya, dengan beberapa langkah kecil itu diharapkan
kekerasan seksual yang terjadi di kalangan anak-anak dapat diminimalisasi.
Selain
memberi hukuman yang berat terhadap pelaku, para orang tua dan guru juga
dituntut untuk lebih aktif melihat perkembangan anak. Sebab, terungkapnya
beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa daerah akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa predator pedofil ada di sekeliling kita. Sungguh situasi
yang menyayat hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar