Hari
(Penderitaan) Buruh
M Hadi Shubhan ; Pengajar Hukum
Perburuhan Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kota
Surabaya
|
JAWA
POS, 01 Meil 2014
PERINGATAN
hari ulang tahun mestinya dirayakan dengan perasaan sukacita dan bergembira.
Namun, postulasi ini tidak berlaku bagi buruh ketika merayakan ulang tahun
hari perburuhan dunia, termasuk buruh di Indonesia atau yang sering disebut
May Day yang jatuh setiap 1 Mei. Buruh di negeri ini selalu merayakan May Day
dengan perasaan getir, sedih, dan dukacita, bahkan kadang diungkapkan dengan
suatu kemuraman serta kemarahan.
Situasi
anomali tersebut terjadi hampir setiap diadakan perayaan May Day. Hal ini menunjukkan
adanya sesuatu yang salah dalam sistem hubungan industrial. Kesalahan sistem
dalam hubungan industrial, jika tidak mulai diperbaiki, pada saatnya akan
menjadi bom waktu yang setiap saat siap meledak dan memorakporandakan sistem
dan tatanan roda kehidupan di negeri ini.
Jika
dianalisis secara komprehensif, perilaku buruh yang sering dianggap
kontraproduktif tersebut sebenarnya hanya merupakan simptom (gejala atau
akibat) dan pasti ada penyebab di baliknya. Penyebab dasar (root causes) hal
ini adalah kebijakan struktural dari negara serta lemahnya lembaga pengawasan
ketenagakerjaan. Dua fenomena inilah yang menjadi penyebab buruh di negeri
ini hidup tidak sejahtera serta senantiasa dalam kubangan kemiskinan,
sehingga menyebabkan tindakan perlawanan dan advokasi oleh buruh tersebut,
termasuk ketika merayakan hari buruh ini.
Kebijakan
struktural dari negara yang tidak menguntungkan dan bahkan merugikan buruh
itu, misalnya, sistem pengupahan, hubungan kerja, dan sistem penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Kebijakan tersebut tercantum dalam berbagai
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, baik dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan daerah,
maupun peraturan gubernur.
Kebijakan
pengupahan yang membikin upah minimum selama ini sangat rendah adalah sistem
penentuan komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Penentuan KHL semula diatur
dalam Permenakertrans Nomor 17/MEN/VIII/2005, yang kemudian diganti dengan
Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2013. Permenkertrans 13 Tahun 2013 telah
menaikkan jumlah komponen KHL menjadi 60 komponen dari sebelumnya yang hanya
46 komponen. Meskipun sudah ada kenaikan, jumlah komponen KHL masih jauh dari
harapan. Sejatinya dari kajian teoretik, agar buruh dapat hidup layak, KHL
harus di atas 100 komponen.
Kebijakan
pengupahan 'a priori' yang digariskan Menakertrans tersebut tahun ini seakan
mendapatkan "perlawanan" dari para kepala daerah, baik gubernur
maupun bupati/wali kota. Bentuk "perlawanan" tersebut adalah dengan
mengusulkan dan menetapkan upah minimum jauh di atas KHL. Upah minimum Kota
Surabaya diusulkan wali kota Surabaya 10 persen di atas KHL dan kemudian
ditetapkan oleh gubernur Jatim 15 % di atas KHL. Upah minimum 2013 dan 2014
yang sangat progresif ini seakan menjadi kado manis bagi buruh dalam
merayakan hari buruh kali ini.
Dalam
kaitan dengan kebijakan hubungan kerja, khususnya hubungan kerja outsourcing,
Menakertrans telah melakukan kesalahan yang cukup serius dengan mengeluarkan
Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2013 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Permenakertrans telah
mensyaratkan bahwa hanya lima jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing-kan,
yakni pekerjaan cleaning service, catering, security, penunjang jasa
pertambangan perminyakan, dan angkutan buruh. Padahal, UU Ketenagakerjaan
mensyaratkan bahwa pekerjaan yang dapat di-outsourcing-kan adalah hanya pekerjaan penunjang. Demikian pula
Surat Edaran Menakertrans Nomor 4 Tahun 2013, yang membolehkan pemborongan
dilakukan di kantor atau lokasi usaha perusahaan, merupakan bentuk pembodohan
hukum perburuhan.
Kebijakan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) juga mengalami distorsi
yang luar biasa. Kesalahan kebijakan ini adalah menempatkan sistem PPHI dalam
lingkup hukum privat. Pengadilan hubungan industrial (PHI) yang merupakan
salah satu subsistem PPHI adalah varian dari peradilan umum yang mirip
peradilan perdata umum. Dengan menempatkan PHI sebagai bagian dari peradilan
umum, pemerintah melepasklan tanggung jawab dalam memproteksi buruh terhadap
keperkasaan pengusaha.
Kesalahan
pengambilan kebijakan yang menempatkan PHI sebagai salah satu dari bagian
peradilan umum, mengakibatkan para buruh sering tidak berdaya ketika beracara
di PHI. Ketidakberdayaan itu disebabkan buruh tidak memiliki sumber daya
maupun sumber dana untuk vis a vis dengan pengusaha di pengadilan. Banyak
gugatan buruh yang dinyatakan tidak dapat diterima (di-NO) karena tidak
memenuhi persyaratan prosedural. Demikian pula banyak gugatan buruh yang
ditolak karena tidak kuasa membuktikan dalil-dalilnya di pengadilan.
Beberapa
kebijakan yang tidak berpihak kepada buruh tersebut menyebabkan buruh selalu
dalam posisi yang kalah atau dikalahkan secara struktural. Di samping secara
struktural dalam bentuk kebijakan, keterpurukan buruh secara struktural
diperparah dengan tidak berdayanya para pegawai pengawas ketenagakerjaan
dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap hubungan industrial.
Ketidakberdayaan
para pegawai pengawas ini bukan karena pengawas tidak bekerja, melainkan pada
secara struktural mereka tidak dibekali dengan jumlah sumber daya dan sumber
dana yang memadahi. Bayangkan, di Jawa Timur, pegawai pengawas tidak lebih
dari 150 orang. Padahal, mereka harus mengawasi lebih dari 30 ribu perusahaan
yang tersebar di wilayah Jawa Timur.
Membenahi
sistem hukum perburuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara mendekonstruksi
dan menderegulasi peraturan pelaksanaan dari UU Ketengakerjaan, mengembalikan
PPHI ke bidang hukum publik, dan menambah kuantitas dan kualitas pegawai
pengawas ketenagakerjaan. Jika ini dilakukan pmerintah, perayaan hari buruh
ke depan senantiasa dihiasi senyuman para buruh. Selamat Hari Buruh, rayakan
dengan penuh kedamaian dan senyuman meskipun dalam keprihatinan yang
mendalam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar