Caleg
Miskin Dilarang ke MK
M Mufti Mubarok ;
Doktor
Ekonomi Politik Unair,
Direktur
Lembaga Survey Regional (LSR)
|
JAWA
POS, 03 Mei 2014
KARUT-marut
penyelenggaraan Pemilihan Legislatif 2014 telah menyisakan banyak persoalan.
Mulai money politics serta
jual-beli dan manipulasi suara yang terstruktur, masif, dan sistemik, baik
yang dilakukan peserta pemilu -parpol dan caleg- maupun penyelenggara pemilu
-KPU dan perangkat di bawahnya serta pengawas pemilu (panwaslu). Selain itu,
yang memperpuruk dan memperkeruh keadaan adalah penguasa, termasuk
bupati-wali kota dan perangkatnya yang ingin memenangkan partainya serta
kawan koalisinya dengan menghalalkan segala cara, baik intimidasi birokrasi,
struktur, maupun fungsional.
Kondisi
itu diperparah kenyataan masyarakat yang hampir semua transaksional dengan
istilah baru: NPWP, nomer piro wani
piro? Karena itu, istilah "serangan lail", "serangan
fajar", "serangan subuh", "serangan duha", dan
"serangan TPS" marak di mana-mana, bahkan terkesan terang-terangan.
Jutaan amplop bertebaran pada pileg lalu. Tapi, siapa yang peduli, hanya
orang kaya yang bisa memenangkan dan memborong suara sebanyak-banyaknya. Dengan
kata lain, siapa yang menebar amplop, dialah yang punya harapan untuk
mendapat suara.
Bayangkan,
untuk menjadi anggota DPR dengan mendapat suara penuh 1 kursi, caleg harus
mengumpulkan 200.000 suara. Bila diperinci, kalau dikalikan Rp 20.000 tiap
satu amplop, 600 ribu amplop harus ditebar. Sebab, perbandingan amplop yang
mendapat suara adalah 1:4, bahkan ada yang 1:5. Kalau satu amplop berisi Rp
20.000, diperlukan Rp 12 miliar. Itu pun belum ada jaminan jadi. Sebab, dalam
praktiknya, sangat banyak tim sukses yang merangkap menjadi tim sukses calon
lain. Belum lagi pola tandem atau kerja sama caleg-caleg kabupaten dan kota
yang memanfaatkan situasi dengan cara mengambil keuntungan dengan bergantung
pada caleg DPR atau provinsi untuk kepentingan caleg tingkat kabupaten-kota.
Itulah
yang kemudian memunculkan istilah "pelesetan" ICMI: ikatan caleg
miskin Indonesia. Dengan demikian, untuk DPR, seorang caleg butuh dana
minimal Rp 4 miliar. Sekali lagi, itu belum tentu jadi karena
"premanisme" dan calo-calo politik bertebaran di mana-mana.
Mulai 26
April hingga 9 Mei 2014, KPU akan mengadakan rekapitulasi nasional hasil
Pemilu Legislatif 2014. Meski antisipasi sistem IT KPU sudah lumayan cangih
(web: pemilu2014.kpu.go.id), ternyata masih sarat manipulasi. Formulir C1
(rekap perhitungan akhir di TPS) sudah di-scan dan di-up-load ke sistem IT
KPU. Formulir C1 (rekap TPS) masih 65,48 persen; formulir DA1 (rekap
kecamatan) hanya 22,99 persen; dan DB1 (rekap kabupaten/kota) sudah 51,69
persen. Pergerakan rekap itu sangat lamban. Tapi, itulah yang menjadi biang
keladi masalah utama pelanggaran KPU. Pergerakan formulir C1 sangat lamban
dan sulit diakses. Dari data scan KPU, sangat banyak coret-coret atau stipo
sehingga rawan dimanipulasi.
Kasus
pengulangan beberapa daerah menjadi bukti bahwa transaksi pengalihan atau
penggelembungan suara dari caleg A ke caleg B -sesama partai atau beda
partai- sangat gampang dilakukan. Fakta itu terjadi karena petugas KPU di
tingkat bawah adalah petugas-petugas yang tidak pernah diganti dari pemilu ke
pemilu sehingga modus operandinya semakin canggih. Sementara itu, komisioner
KPU silih berganti bergantung kepentingan penguasa.
Tidak
heran, jika terjadi perselisihan pemilu, ujung-ujungnya ke MK. Sementara itu,
dalam prosedur gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), ada aturan
yang sangat ketat. Yakni, harus didaftarkan KPU oleh ketua umum dan Sekjen
DPP partai, tidak boleh dilakukan caleg atau perseorangan, dan harus sudah
didaftarkan tiga hari setelah pengumuman KPU.
Kemudian,
seluruh proses sidang harus sudah selesai dalam sebulan, alat bukti sidang
harus mengandung unsur TSM (terstruktur, sistemik, dan masif), serta
menyangkut dampak kepentingan politik yang luas.
Persoalannya,
kalau ada caleg yang termasuk ICMI atau caleg miskin untuk mengumpulkan
formulir C1 dalam satu dapil tingkat DPR (minimal 2 kabupaten), diperlukan
biaya ratusan juta hanya untuk mengumpulkan data formulir. Selanjutnya,
menganalisis korelasi signifikan dan nonsignifikan perlu sekitar dua minggu
dengan anggaran Rp 300 juta. Belum lagi menyiapkan saksi yang tersebar di
tiap TPS, diperlukan waktu dua minggu lagi dan memobilisasi saksi ke Jakarta
karena MK berkantor di Jakarta. Dari gambaran itu, kita bisa melihat bahwa
perlu biaya yang sangat tinggi. Mulai tiket pulang-pergi ke Jakarta,
penginapan, dan belum lagi biaya pengacara serta lobi untuk menjinakkan
intimidasi politikus lawan.
Selain
itu, meski data dan saksi lengkap, rasanya untuk maju ke MK harus siap dana
minimal Rp 1 miliar. Itu pun belum tentu berhasil di MK. Sebab, selama ini MK
sarat kepentingan politik. Kita tahu, sampai sekarang masih ada hakim MK dari
partai politik. Itulah faktanya.
Lalu,
bagaimana nasib para caleg yang "bermotif" atau bermodal tipis?
Rasanya tidak mungkin, mengingat biaya ke MK sangat besar. Belum lagi
menimbang efek secara psikologis karena harus bersidang tiap hari di MK
dengan hasil kalah. Ada istilah menarik dari para politikus pemilu di
Indonesia. Yaitu, pemilunya dua kali: pemilu 9 April 2014 di masyarakat dan pemilu
di Jakarta, yaitu di MK.
Bedanya, kalau pemilu di masyarakat, untuk jadi anggota dewan, minimal
butuh dana Rp 4 miliar, sedangkan "pemilu" di MK butuh dana minimal
Rp 1 miliar. Nah, betapa mahalnya pemilu di Indonesia. Lalu, bagaimana nasib wakil-wakil
rakyat yang prosesnya harus menyogok rakyat? Apa pula jadinya jika DPR
ternyata hasil sogok-menyogok? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar