Aceh, Contoh Penyelesaian Kejahatan Masa
Lalu
Isabelle Arradon ; Deputi Direktur Asia
Pasifik Amnesty International
|
KOMPAS,
10 Februari 2014
SULIT menjawab kapan suatu konflik
bersenjata benar-benar ”berakhir”. Bahkan, ketika senjata-senjata api telah
berhenti menembak, dan korban berjatuhan tidak lagi menumpuk, luka masih
menganga.
Para anggota keluarga tidak tahu
apa yang terjadi terhadap mereka yang dicintainya. Para pelaku kejahatan yang
menyeramkan tidak terjangkau hukum. Dan, para korban yang bertahan mengalami
kesulitan karena kehilangan rumah dan mata pencaharian. Hal ini berlaku di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Kerusakan luar biasa konflik Aceh
mungkin secara resmi telah berakhir dengan perjanjian damai 2005 antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, tetapi para korban dan
komunitas lainnya masih menjalani dampak konsekuensinya hingga hari ini.
Pada 3 Februari 1999, salah satu
dari pembunuhan massal terburuk dari konflik Aceh terjadi. Sesaat setelah
tengah malam, sebuah unit militer mengeluarkan tembakan tanpa pandang bulu
terhadap ribuan orang yang baru kembali pulang dari aksi unjuk rasa di
Kampong Matang Ulim di Idi Cut, Aceh Timur. Dalih mereka, serangan balik atas
diculiknya dan terbunuhnya sepuluh anggota personel militer sebulan
sebelumnya.
Paling tidak tujuh orang tewas
pada malam tersebut dan puluhan luka-luka. Untuk menutupi jejaknya, para
anggota militer dilaporkan mengikat mayat- mayat itu dengan kawat, menaruhnya
di dalam karung, dan melemparkannya ke sungai terdekat.
Lima belas tahun kemudian, tidak
satu orang pun yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa
pembunuhan di Idi Cut tersebut. Sedihnya, ini merupakan kasus emblematik dari
konflik Aceh sebagai keseluruhan, dan banyak lagi dari konflik masa lalu
Indonesia.
Di Aceh konflik ini masih
menyediakan luka menganga: nasib dari banyak orang yang terbunuh masih tidak
diketahui, para pelaku pelanggaran HAM masih melenggang bebas, dan upaya
pemerintah menyediakan reparasi kepada mereka yang terkena dampak konflik
hanya sepotong-sepotong dan terbatas.
Situasi ini yang disorot Amnesty
International dalam laporannya tahun lalu, Time to Face the
Past (Saatnya Menghadapi Masa Lalu), yang meneliti kegagalan pemerintah
menyediakan keadilan, kebenaran, dan reparasi kepada para
korban pelanggaran HAM selama konflik Aceh yang menjadi hak-haknya
di bawah hukum internasional.
Tak ada kemauan politik
Sudah menjadi perjuangan yang berat
bagi banyak aktivis dan kelompok hak asasi manusia yang telah memperjuangkan
hak-hak dari ribuan korban dan keluarganya. Selama ini tidak ada kemauan
politik yang jelas mengatasi kejahatan-kejahatan masa lalu.
Di tingkat nasional, masih minim
kemajuan dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, khususnya selama
dua periode jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah pusat telah
gagal mengadopsi sebuah undang-undang baru tentang komisi kebenaran nasional
setelah yang lama dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.
Masih belum ada program reparasi
yang komprehensif yang spesifik ditujukan untuk memulihkan kerugian yang
diderita para korban dan anggota keluarganya dari kejahatan-kejahatan di
bawah hukum internasional selama dekade terakhir. Banyak korban di Aceh
merasa mereka telah ditinggalkan komunitas internasional, khususnya Uni Eropa
dan ASEAN, yang memainkan peran kunci dalam proses perdamaian.
Namun, pada Desember 2013, ada
sebuah terobosan bersejarah. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan Qanun
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 27 Desember yang menyediakan
pembentukan suatu komisi kebenaran. Meskipun produk legislasi ini masih jauh
dari sem- purna, ini menunjukkan bahwa melalui kemauan politik, dalam hal ini
parlemen Aceh, bisa ada langkah nyata menyelesaikan masalah masa lalu.
Komisi kebenaran Aceh ini bisa
bergerak maju menuju pemahaman kondisi yang menyebabkan pelanggaran HAM masa
lalu, belajar dari masa lalu untuk memastikan bahwa kejahatan serupa tidak
akan dilakukan kembali, dan menjamin bahwa pengalaman berbagi bersama diakui,
diketahui, dan dirawat.
Sekarang ini bergantung kepada
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan pusat untuk memastikan bahwa
qanun ini diimplementasikan pada kesempatan secepatnya dan bahwa komisi ini
bekerja sesuai dengan standar internasional.
Parlemen Aceh telah memberi contoh
bahwa pihak lain di Indonesia harus mengambil catatan. Sebuah
undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi harus mengatasi agenda
politik.
Ratusan ribu orang masih menunggu
kebenaran dan keadilan dari konflik-konflik masa lalu di Indonesia, seperti
peristiwa 1965-1966, kerusuhan Mei 1998, dan konflik di Papua dan Timor Leste
(dulu: Timor Timur).
Menyelesaikan kejahatan masa lalu
ini tidak hanya akan berkontribusi pada penyembuhan luka terbuka dari
penduduk sipil, tetapi juga akan bergerak maju menuju berakhirnya
ketidakpercayaan umum masyarakat di seluruh negeri ini
terhadap pemerintah dan pengadilan yang akan terus ada, selama impunitas penuh atas pelanggaran-pelanggaran HAM serius masih terjadi.
Pada April dan Juli mendatang
rakyat Indonesia akan memilih parlemen dan presiden yang baru (meski
sementara kampanye telah berlangsung), sementara upaya penyelesaian kejahatan
masa lalu secara mengecewakan tidak hadir. Isu ini bukan sesuatu yang bisa
ditutup-tutupi; justru yang harus diajukan ke depan dan diangkat ke panggung
utama dalam perdebatan.
Parlemen Aceh telah menunjukkan
bahwa hal ini mungkin. Ini saatnya bagi pihak-pihak lain di Indonesia
mengikuti jejak yang sama. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar