Jumat, 23 Agustus 2013

Saat Warga Mengawasi Demokrasi

Saat Warga Mengawasi Demokrasi
Airlangga Pribadi Kusman ;   Pengajar Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
KOMPAS, 23 Agustus 2013


John Keane, profesor politik dari Universitas Westminster, Inggris, dalam karyanya berjudul The Life and Death of Democracy (2009), menjelaskan sejarah panjang demokrasi sejak zaman Athena sampai era internet.
Hal yang menarik dari evolusi mutakhir sejarah demokrasi pada abad ke-21 adalah proses demokrasi ditandai dengan menguatnya tren baru yang disebut sebagai era monitory democracy. Sebuah era demokrasi dengan aktor utama adalah masyarakat sipil yang tidak hanya menjadi penonton, tetapi bekerja sebagai kekuatan vital yang mengontrol, mengawasi, dan mengepung seluruh lokus kekuasaan dan tatanan politik yang eksis.
Hal yang penting dari menguatnya tren monitory democracy adalah ia mentransformasikan secara progresif cara kita melihat kembali demokrasi elektoral dengan segenap perangkat institusionalnya, seperti pemilu, parlemen, dan partai politik. Timbulnya tren monitory democracy menepis anggapan skeptis yang melihat bahwa era baru yang berbasis material kemajuan teknologi informasi sebagai era penolakan atas model demokrasi representatif untuk kembali pada demokrasi langsung era Athena.
Melampaui anggapan skeptis di atas, zaman ini melahirkan bentuk-bentuk  power-monitoring (pengawasan atas kuasa) berbasis warga, baik yang terwujud dalam lembaga antikorupsi, lembaga pengawasan pemilu, lembaga pemantau parlemen, masyarakat transparansi, maupun bentuk gerakan sosial lain, yang tidak membiarkan elite politik membajak proses demokrasi menjadi berkarakter elitis dan korup.
Persoalan yang penting untuk dijawab terkait dengan tren monitory democracy yang bersifat lintas teritorial-geografis ini adalah makna penting perkembangan evolusi demokrasi ini bagi pemajuan demokrasi di Indonesia. Seperti diuraikan Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy, Indonesia adalah contoh kasus bertakhtanya kaum elite oligarki. Mereka menguasai sumber daya ekonomi dan politik yang kuat dan sanggup menggunakannya untuk menghadang, membajak, dan menguasai institusi kelembagaan demokrasi dan ekonomi bagi kepentingan mereka.
Bahkan, seperti pernah diutarakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, arena politik elektoral tengah dikuasai oleh para konglomerat dan orang-orang super kaya. Selanjutnya, apa relevansi bagi transformasi demokrasi berbasis kebangkitan pemberdayaan warga bagi keadaan demokrasi di Indonesia yang tengah terbajak oleh belenggu kuasa oligarki dari tingkat nasional sampai lokal?
Tidak dibangun semalam
Sebuah perjuangan politik tentu bukanlah sebuah perjalanan yang akan menuai hasil dalam satu malam. Roma tidak dibangun dalam satu hari! Demikian pula dengan yang tengah terjadi di Indonesia.
Selain memberikan ruang bagi proses adaptasi kekuatan-kekuatan elite oligarki dan predatoris untuk menguasai arena politik, proses reformasi juga membangun ruang kesempatan politik bagi lahirnya inisiatif-inisiatif baru warga negara untuk mengawasi proses demokrasi yang masih berusia muda. Hidup dan matinya masa depan demokrasi Indonesia tengah dipertaruhkan dalam pertarungan di antara kekuatan-kekuatan lama yang ingin memanipulasi proses demokrasi dan tumbuhnya kekuatan baru yang menghidupi demokrasi dalam pemantauan pada seluruh tatanan politik.
Dalam konteks perkembangan proses demokrasi di Indonesia, agaknya optimisme kritis harus terus kita hidupkan. Di tengah masih tersanderanya kasus korupsi oleh belenggu elite predatoris, pemberantasan korupsi di Indonesia telah melahirkan lembaga swadaya masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch yang berani membuka kasus-kasus korupsi dan bekerja sama dengan KPK. Lembaga-lembaga pengawasan transparansi juga memberikan sumbangan politik berarti tentang cara warga mengawasi anggaran-anggaran publik di setiap daerah. Juga lahirnya lembaga-lembaga sejenis yang menghidupkan kanal demokrasi Indonesia dari tingkat nasional hingga lokal.
Hal penting yang patut diapresiasi dalam pertarungan menegakkan demokrasi adalah di tingkat lokal. Setelah kemenangan Joko Widodo dan keberhasilan kekuatan warga untuk menjadikan pemimpin organiknya di Jakarta, fenomena terbukanya katup demokrasi di tingkat lokal juga tengah menyeruak di banyak tempat. Hal yang terbaru adalah fenomena yang tengah berlangsung di Jawa Timur. Hal ini terkait dengan fenomena penghadangan atas kandidat Pemilihan Umum Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawiredja, yang diduga sarat transaksi politik, memunculkan protes keras. Itu menyebar, baik dari kalangan intelektual, pemberitaan di media massa, gerakan sosial, maupun para pegiat media sosial, sebelum akhirnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu mengembalikan hak pasangan itu menjadi kandidat. Semua fenomena ini membuka kembali optimisme kita akan proses demokrasi.
Beberapa capaian penting seiring mekarnya inisiatif-inisiatif, monitory democracy mesti ditopang prasyarat-prasyarat politik penting. Setidaknya ada dua penopang agar pengawasan warga berimbas ke rehabilitasi politik.
Pertama, tumbuh kembangnya monitory democracy di Indonesia harus berjalan seiring dengan kehadiran kepemimpinan yang kokoh dalam membela sendi-sendi demokrasi dan pengawasannya oleh kekuatan masyarakat sipil. Tanpa lahirnya kepemimpinan yang berpihak kepada demokrasi, sulit mengaktualisasikan perjuangan pengawasan demokrasi menjadi kebijakan yang berkarakter daulat rakyat.

Kedua, kekuatan masyarakat sipil yang mengawasi proses demokrasi juga harus memiliki mental baja. Mengingat begitu kuatnya belenggu oligarki yang membalut proses demokrasi kita, kekuatan-kekuatan berbasis publik ini juga harus memiliki karakter spartan yang tidak mudah terkooptasi oleh transaksi politik dan imbalan materiil, agar mendung politik yang menaungi bumi demokrasi kita berganti dan seperti diuraikan Ibu Kita Kartini, Door Duisternis Toot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang)! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar