Minggu, 25 Agustus 2013

Pelemahan Rupiah Ganggu Industri

Pelemahan Rupiah Ganggu Industri
Arief Minardi ;    Anggota Komisi VI DPR
KORAN JAKARTA, 24 Agustus 2013



Dua hari lalu, Kamis, rupiah bertengger di level lebih 11.000 per dollar AS. Kemerosotan nilai tukar rupiah merefleksikan penurunan permintaan masyarakat karena peran perekonomian nasional juga turun. Hal itu berimplikasi meningkatnya permintaan mata uang asing sebagai alat pembayaran internasional. Biaya impor bahan baku industri jelas makin membebani pengusaha karena baru saja terdampak kenaikan harga BBM dan biaya tenaga kerja.

Situasi tersebut harus segera diatasi. Langkah intervensi dengan menggunakan cadangan devisa yang tinggal 112 miliar dollar AS bisa kurang efektif sebab pelemahan rupiah bukan semata-mata karena sentimen global, tapi juga inefisiensi dalam perekonomian nasional. Nilai tukar rupiah beberapa bulan ke depan akan terus dibayangi kondisi eksternal, yakni kekhawatiran pelaku pasar terhadap pengurangan stimulus moneter The Fed menjelang publikasi hasil pertemuan Federal Open Market Committee.

Pelemahan rupiah akan berkorelasi tajam dengan harga bahan baku berbagai sektor industri, termasuk yang cukup riskan untuk membuat bensin, termasuk biaya pengolahan. Selain itu, nilai tukar rupiah yang terus berfluktuasi sangat meresahkan pelaku industri baja nasional. Mereka mengurangi impor bahan baku sehingga berpengaruh pada volume produksi. Impor bahan baku di saat rupiah melemah sangat menggerus pendapatan industri baja nasional.

Sektor industri kertas juga terpukul. Asosiasi Pengusaha Pulp dan Kertas Indonesia menilai biaya impor kertas bekas meningkat hingga 60 persen sehingga harga kertas berbahan baku kertas bekas di dalam negeri meningkat hingga 30–40 persen. Saat ini, pasar dalam negeri baru dapat memenuhi 30 persen dari total kebutuhan kertas bekas untuk didaur ulang menjadi kertas kemasan, koran, dan kertas tulis.

Padahal kebutuhan kertas bekas dalam negeri diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 4,5 juta ton untuk industri kemasan dan sisanya 1,5 juta ton buat industri koran. Rakyat langsung merasakan harga makanan dan minuman olahan yang meningkat karena bahan bakunya masih banyak yang diimpor.

Riil 

Tekanan terhadap rupiah akan menyebar. Biaya modal akan meningkat dan menyebabkan berbagai persoalan di sektor riil. Negara-negara Asia akan menghadapi biaya modal dari pasar global yang lebih tinggi. Hal ini juga akan menimbulkan persoalan serius terhadap belanja modal lembaga pemerintah. Tampaknya sorotan Bank Dunia terkait rendahnya belanja modal oleh lembaga Pemerintah Indonesia bisa terjadi lebih parah.

Belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Termasuk pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja modal pemerintah seperti peralatan dan permesinan mestinya mengutamakan buatan lokal.

Pemerintah sering mendesak perusahaan dan pelaksana proyek untuk menggunakan peralatan dan komponen lokal. Desakan itu paradoksal mengingat kondisi industri dalam negeri sendiri justru kurang berdaya. Sudah begitu, stimulus fiskal yang dilakukan oleh pemerintah ibaratnya justru menggelar karpet merah bagi komponen impor karena stimulus itu menanggung pajak dan bea masuk berbagai perusahaan yang terlibat dalam proyek berskala besar seperti ketenagalistrikan. Strategi dan tahapan pembangunan megaproyek kelistrikan dilakukan tanpa optimalisasi sumber daya dari dalam negeri sehingga menimbulkan krisis lokalisasi atau penggunaan komponen lokal.

Krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat beberapa waktu lalu hingga kini efeknya masih memukul industri. Manufaktur masih mengalami penurunan pesanan, tapi dibayang-bayangi ketidakpastian volume ekspor tahun berikutnya. Jika berlanjut, akan menimbulkan krisis ketenagakerjaan.

Harus ada antisipasi berupa lokalisasi komponen dan perlindungan total terhadap pasar domestik dari kegiatan impor ilegal. Antisipasi krisis ketenagakerjaan harus dilakukan secara sistemik dan terpadu agar tidak ada pihak yang meremehkan potensi krisis ketenagakerjaan. Ada baiknya menyimak rekomendasi International Labour Organization yang menyatakan 50 juta buruh dunia terancam PHK. Langkah antisipasi sebaiknya juga menyangkut deregulasi aturan yang selama ini menjadi penghambat industri. Program stimulus industri nasional sebaiknya lebih digencarkan karena penyerapannya sangat lambat, terhambat birokrasi yang berbelit-belit.

Komitmen pemerintah untuk menggenjot lokalisasi komponen belum disertai detail. Mestinya pemerintah menerapkan secara konsisten strategi Industrialisasi Substitusi Impor (ISI) untuk perangkat keras dan lunak yang dibutuhkan. Secara sederhana, ISI dapat didefinisikan sebagai usaha substitusi barang-barang impor yang diproduksi dalam negeri.

ISI ada yang berorientasi pasar (market-based). Negara memusatkan diri pada produksi barang-barang konsumtif (pakaian, alat olah raga, alat elektronik ringan, mainan anak-anak, dll) dengan tetap mengimpor barang-barang kapital seperti mesin-mesin dan berbagai perlengkapan pabrik.

Kemudian yang berorientasi kapital (capital based) maupun bahan baku industri seperti mesin-mesin, peralatan industri, logam, semen, petrokimia. Pemerintah mesti menerapkan dua orientasi ISI secara bersamaan terhadap program pembangunan infrastruktur.

Sebagai suatu strategi pembangunan, ISI diperkenalkan pertama kali di Amerika Latin pada pertengahan dekade 1950-an. Strategi itu merupakan tindak lanjut rekomendasi Economic Commission on Latin America untuk mengatasi krisis neraca pembayaran kawasan itu.

Dalam rekomendasinya, lembaga yang diketuai Raul Prebisch, seorang mantan direktur bank sentral Argentina, menyebut pentingnya upaya bersama negara-negara Amerika Latin untuk mengurangi secara signifikan kebergantungan pada impor negara-negara maju. Mereka membuat sendiri barang-barang konsumtif dan barang modal di dalam negeri. ISI diberlakukan secara luas di kawasan Amerika Latin bersamaan dengan makin kuatnya pengaruh teori kebergantungan yang dipelopori para pemikir radikal di kawasan itu, seperti Andre Gunder Frank, Osvaldo Sunkel, dan Fernando Henrique Cardoso.

Sebaiknya negeri ini belajar dari kawasan Amerika Latin yang berhasil menempuh strategi ISI agar bisa mengeliminasi dampak negatifnya. Selain itu, strategi ISI hendaknya tidak menyebabkan campur tangan birokrasi secara berlebihan karena campur tangan birokrasi secara berlebihan dapat mengurangi efisiensi dan distorsi dalam proses produksi distribusi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar