Minggu, 25 Agustus 2013

Pesta Sudah Berakhir

Pesta Sudah Berakhir
Joice Tauris Santi  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS, 25 Agustus 2013

Hingga Mei lalu, nilai aset pasar finansial di negara berkembang terus melambung. Indeks-indeks harga saham melaju, kurs menguat terhadap dollar AS, arus modal masuk membanjiri Thailand, Indonesia, hingga ke Brasil. Iming-iming tingkat suku bunga yang lebih tinggi ketimbang di negara maju seperti AS menjadi salah satu penarik dana asing.

Bagaikan mimpi di siang bolong, pada 22 Mei Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke memberikan sinyal akan mengurangi pembelian obligasi yang semula sebesar 85 miliar dollar AS per bulan jika perekonomian AS membaik pada akhir tahun ini. Program pembelian obligasi itu merupakan salah satu paket stimulus untuk membantu memulihkan ekonomi AS setelah terdera krisis finansial pada 2008. 
Dengan pembelian obligasi jangka panjang, bank sentral berusaha menekan tingkat suku bunga tetap rendah. Diharapkan, dengan tingkat suku bunga rendah ini, pengusaha dapat berekspansi.

Logikanya, lebih banyak pihak yang senang jika perekonomian AS membaik. Maknanya, daya beli membaik, konsumsi kembali tumbuh. Pemasoknya, berbagai negara, terutama China. Di sisi lain, China menyerap berbagai macam bahan baku semisal batubara dari Indonesia, juga barang tambang lain dari Australia. China yang pertumbuhan ekonominya melorot sangat berharap dari pemulihan ekonomi AS ini.

Ternyata, pernyataan Bernanke itu ditanggapi negatif. Rupanya stimulus telah menjadi candu. Era tingkat suku bunga rendah akan berakhir. Tidak ada lagi dana supermurah. Para investor mulai menarik dananya di pasar berkembang kembali lagi ke negara maju. Aset di pasar berkembang dilepaskan, bursa saham rontok. Kurs mata uang di negara berkembang tertekan. Imbal hasil obligasi melonjak, menandakan para investor berpendapat risiko di negara berkembang semakin tinggi.

India merupakan negara yang paling rentan di antara tetangganya. Pertumbuhan perekonomiannya hanya 4-5 persen, separuh dari pertumbuhan pada era kejayaan dalam kurun 2003-2008. Laju inflasi juga melonjak mencapai 10 persen. Defisit neraca transaksi berjalan sudah mencapai 7 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2012. Menurut bank sentral, rasio defisit yang dapat dikelola 3,5 persen dari PDB. Rupee pun melorot sekitar 15 persen dari awal tahun lalu. Kisah sama terjadi di pasar modal.

Neraca transaksi berjalan mengalami defisit karena impor lebih banyak ketimbang ekspor. Neraca ini terdiri dari neraca perdagangan, neraca modal, dan neraca investasi. Di negara berkembang, pelemahan ekspor karena penurunan permintaan dari negara maju yang sedang melambat pertumbuhannya.
Pemerintah India bukannya berpangku tangan dalam mengatasi masalah ini. Bank sentral memberlakukan kontrol kapital baru yang membatasi jumlah dana yang dapat ditransfer ke luar negeri. Hasilnya, investor malahan ketakutan India akan membekukan aset mereka seperti yang pernah dilakukan Malaysia pada 1998. Kurs rupee terus tergelincir. Bank sentral lalu mengintervensi pasar obligasi untuk membuat imbal hasil kembali stabil. BUMN diimbau menerbitkan obligasi di luar negeri.

Belanja publik telat

Thailand, negara yang menjadi cikal bakal krisis finansial Asia 1998, sudah terjatuh dalam resesi. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua terkontraksi 0,3 persen setelah terkontraksi 1,7 persen pada kuartal pertama. Salah satu penyebabnya adalah keterlambatan persetujuan anggaran publik oleh parlemen.

Pemerintah sudah mengajukan rencana belanja publik sebesar 64 miliar dollar AS dalam bentuk proyek peremajaan jalan kereta api, jalan, dan pelabuhan. Belanja publik ini akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 1 persen dan membuka 500.000 lapangan kerja. Bank sentral Thailand sudah menurunkan tingkat suku bunga kredit sebesar 25 basis poin untuk membantu pemulihan ekonominya. 
Selain itu, tingkat suku bunga juga tidak dinaikkan.

Sementara itu, tetangga terdekat Malaysia masih membukukan neraca transaksi berjalan yang surplus. Hanya saja, surplus ini semakin sedikit sebesar 2,6 miliar ringgit atau sekitar 780 juta dollar AS. Menurut catatan, dengan surplus sebesar itu, Malaysia sudah mendekati defisit. Pertumbuhan pun dipangkas dari 6 persen menjadi 4,5-5 persen untuk tahun ini.


Berbagai kebijakan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang yang hati-hati sangat diperlukan dalam menghadapi gonjang-ganjing seperti ini. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar