Jumat, 23 Agustus 2013

Reformasi Kekuasaan dan Korupsi

Reformasi Kekuasaan dan Korupsi
Iwan Gardono Sujatmiko ;   Sosiolog di FISIP UI
KOMPAS, 23 Agustus 2013


Reformasi telah menghasilkan perubahan seperti pergantian presiden, kebebasan pers, parpol dan serikat buruh, pemilu yang lebih bebas, otonomi daerah, serta amandemen UUD 1945.
Namun, di era reformasi terjadi gejala negatif yang meningkat, yakni korupsi. Saat ini korupsi yang menonjol ada di tiga lembaga: DPR-parpol, pemerintah daerah, dan Polri yang telah meningkat kekuasaan dan kewenangan mereka pasca-reformasi.
Analisis sosiologi politik menunjukkan, reformasi telah meningkatkan kekuasaan-kewenangan yang besar di tiga lembaga tersebut, tetapi tanpa kontrol dan akuntabilitas publik yang memadai. Analisis gambar besar korupsi akan lebih jelas jika dilihat dengan pendekatan realisme kritis, yang melihat gejala berlapis tiga, di mana peristiwa berada di lapis atas, mekanisme di tengah, serta struktur di bawah (Danermark, dkk, 2002).
Pada lapis atas terlihat pelakunya para elite DPR-parpol, pemda, dan Polri. Namun, kasus yang belum terungkap di ketiga lembaga tersebut masih banyak. Pelaku korupsi ini merupakan luaran (output) yang dihasilkan oleh ”mekanisme negatif” yang berada di lapis tengah. Lapis ini terdiri atas kelompok dan jaringan seperti mafia yang canggih dan terorganisasi serta lintas lembaga: DPR, khususnya Banggar, kementerian, Polri, pemda, pengusaha, parpol, dan makelar.
”Mekanisme negatif” yang dominan adalah mark up APBN/D dan bagi-bagi proyek di ketiga lembaga tersebut dan pemberian lisensi (HPH, tambang) di pemda. Keadaan ini disebabkan kebutuhan dana pemilu dan pilkada (politik uang) serta kas parpol, selain untuk konsumsi (gaya hidup) pelakunya. Berbagai faktor mendukung hal ini, seperti peraturan yang multitafsir atau ”abu-abu” yang telah dirancang dengan sengaja serta kerahasiaan yang tinggi dalam pelaksanaan kegiatan atau proyek.
Namun, tidak semua anggota DPR, Polri, dan pemda berada di ”mekanisme negatif”. Ada juga ”mekanisme positif” yang fungsional sebagai koreksi terhadap korupsi. Mereka yang melakukan koreksi ini dapat disebabkan faktor moral, agama, dan idealisme. Dalam beberapa kasus terdapat peran orang dalam atauwhistle-blower yang membantu membongkar korupsi, merupakan mekanisme positif internal.
Mekanisme negatif disebabkan perubahan struktur kekuasaan dan kewenangan, seperti UU tentang DPR, otonomi daerah, Polri, yang terjadi setelah reformasi. Keadaan ini ”membebaskan” DPR yang hanya dianggap ”stempel” dari pemerintah sehingga menjadi lembaga yang sangat kuat. Namun, transparansi dan kontrol pada DPR tidak meningkat walaupun sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik.
Selain itu, mayoritas warga sering kali pasif, kurang peduli untuk mengontrol anggota DPR. Demikian pula desentralisasi dan otonomi daerah memperkuat pemda karena ”lepas”-nya mereka dari kontrol pusat (Kemendagri) tanpa penguatan masyarakat daerah sehingga terjadi kekuasaan-kewenangan berlebih (power-authority surplus).
Di beberapa negara, masyarakat lokal diperkuat sebelum atau saat desentralisasi. Misalnya pemberdayaan warga desa di India atau komunitas akar rumput di Bolivia sehingga kekuasaan pemda dapat diimbangi dari bawah oleh masyarakat. Dalam kasus Polri, reformasi telah ”membebaskan” Polri dari kontrol ABRI-TNI. Sekarang mereka berada di bawah presiden dan memperoleh anggaran 10 kali lebih besar: dari Rp 3,2 triliun di 1999 menjadi Rp 39,8 triliun di 2012. Namun kontrol pada mereka oleh Kompolnas yang memang tidak diberi kewenangan yang cukup justru relatif lemah.
Memberantas korupsi
Pemberantasan korupsi diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan dengan pengawasan dan penindakan pada pelaku atau aktor di lapisan atas dan kelompok dan jaringan di lapisan tengah. Pada lapisan bawah diperlukan revisi atau pembatalan peraturan yang memberi peluang korupsi.
Pada lapisan atas telah dilakukan koreksi eksternal oleh warga, organisasi masyarakat serta lembaga BPK, BPKP, PPATK, KPK, dan pengadilan. Selain itu, koreksi ini dapat dilakukan secara internal oleh Badan Kehormatan DPR serta inspektorat di pemda dan Polri.
Pada lapisan bawah atau struktur diperlukan revisi peraturan guna membatasi kekuasaan atau kewenangan pihak yang berpotensi mendukung korupsi. Revisi peraturan diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan oleh mereka sendiri, seperti UU oleh DPR dan pemerintah, revisi perda oleh pemda, dan sejumlah aturan Polri oleh pimpinan Polri.
Selain itu, peraturan di DPR, pemda, dan Polri dapat dibatalkan atau dikoreksi Mahkamah Konstitusi untuk UU dan MA untuk peraturan di bawah UU jika ada yang memohon pengujian peraturan tersebut. Dalam hal ini MK sebagai negative legislator dapat melakukan koreksi UU politik, pemilu, dan lembaga negara agar mencegah kesempatan korupsi oleh anggota DPR. Demikian juga peran MA yang membatalkan berbagai aturan di bawah UU yang memberi kesempatan korupsi.
Memberantas korupsi perlu dilakukan pula oleh MPR dalam amandemen ke-5 dengan mencantumkan lembaga antikorupsi (KPK) dan korupsi di UUD seperti di Filipina. UUD bukan hanya berisi cita-cita bangsa, melainkan harus juga mencantumkan hambatannya. Korupsi dianggap oleh 87 persen responden sebagai salah satu masalah besar di Indonesia (Roy Morgan Research, The Jakarta Post, 25/6/2013).
Upaya penting untuk memberantas korupsi ialah dengan diberlakukannya ”portal transparansi” di DPR, pemda, dan Polri maupun lembaga negara lainnya. Hal ini berguna untuk menghilangkan kerahasiaan informasi yang sebenarnya bukan rahasia dan dapat diakses publik. Kerahasiaan yang salah dan palsu ini menghasilkan kekuasaan dan kewenangan berlebih yang berpotensi besar untuk korupsi.
Dengan ”portal transparansi” ini kontrol oleh publik dapat dilakukan pada lapis atas (pelaku), tengah (jaringan), maupun bawah (peraturan yang ada). Peningkatan kontrol terhadap kewenangan ini akan mencegah kesewenangan dan korupsi. Pola seperti ini terdapat di Brasil dan Timor Leste, di mana semua data yang boleh diketahui publik disediakan secara sangat rinci dan sangat mudah diakses warga melalui internet.
Dengan sistem ini, penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Federal Brasil atau proyek seperti pembangunan jembatan di Timor Leste dapat diakses melalui internet. Ketersediaan informasi ini dapat menginklusi dan memberdayakan masyarakat, khususnya warga, universitas, LSM, intelektual, dan media untuk melakukan kontrol dan koreksi secara massal yang berkelanjutan sehingga terjadi gerakan sosial memerangi korupsi.

Upaya mengatasi korupsi yang dilakukan negara dan masyarakat akan menghasilkan ”Perang Rakyat Semesta” terhadap korupsi sehingga dapat mengurangi korupsi secara nyata dan hasilnya akan terlihat dalam berbagai indikator korupsi. Keberhasilan mengatasi korupsi akan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi lebih adil dan makmur, tetapi jika gagal akan terjadi keadaan yang sebaliknya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar