|
Reformasi telah menghasilkan
perubahan seperti pergantian presiden, kebebasan pers, parpol dan serikat
buruh, pemilu yang lebih bebas, otonomi daerah, serta amandemen UUD 1945.
Namun, di era
reformasi terjadi gejala negatif yang meningkat, yakni korupsi. Saat ini
korupsi yang menonjol ada di tiga lembaga: DPR-parpol, pemerintah daerah, dan
Polri yang telah meningkat kekuasaan dan kewenangan mereka pasca-reformasi.
Analisis
sosiologi politik menunjukkan, reformasi telah meningkatkan
kekuasaan-kewenangan yang besar di tiga lembaga tersebut, tetapi tanpa kontrol
dan akuntabilitas publik yang memadai. Analisis gambar besar korupsi akan lebih
jelas jika dilihat dengan pendekatan realisme kritis, yang melihat gejala
berlapis tiga, di mana peristiwa berada di lapis atas, mekanisme di tengah,
serta struktur di bawah (Danermark, dkk,
2002).
Pada lapis atas
terlihat pelakunya para elite DPR-parpol, pemda, dan Polri. Namun, kasus yang
belum terungkap di ketiga lembaga tersebut masih banyak. Pelaku korupsi ini
merupakan luaran (output) yang dihasilkan oleh ”mekanisme negatif” yang berada
di lapis tengah. Lapis ini terdiri atas kelompok dan jaringan seperti mafia
yang canggih dan terorganisasi serta lintas lembaga: DPR, khususnya Banggar,
kementerian, Polri, pemda, pengusaha, parpol, dan makelar.
”Mekanisme
negatif” yang dominan adalah mark up APBN/D dan bagi-bagi proyek di
ketiga lembaga tersebut dan pemberian lisensi (HPH, tambang) di pemda. Keadaan
ini disebabkan kebutuhan dana pemilu dan pilkada (politik uang) serta kas
parpol, selain untuk konsumsi (gaya hidup) pelakunya. Berbagai faktor mendukung
hal ini, seperti peraturan yang multitafsir atau ”abu-abu” yang telah dirancang
dengan sengaja serta kerahasiaan yang tinggi dalam pelaksanaan kegiatan atau
proyek.
Namun, tidak
semua anggota DPR, Polri, dan pemda berada di ”mekanisme negatif”. Ada juga
”mekanisme positif” yang fungsional sebagai koreksi terhadap korupsi. Mereka
yang melakukan koreksi ini dapat disebabkan faktor moral, agama, dan idealisme.
Dalam beberapa kasus terdapat peran orang dalam atauwhistle-blower yang
membantu membongkar korupsi, merupakan mekanisme positif internal.
Mekanisme
negatif disebabkan perubahan struktur kekuasaan dan kewenangan, seperti UU
tentang DPR, otonomi daerah, Polri, yang terjadi setelah reformasi. Keadaan ini
”membebaskan” DPR yang hanya dianggap ”stempel” dari pemerintah sehingga
menjadi lembaga yang sangat kuat. Namun, transparansi dan kontrol pada DPR
tidak meningkat walaupun sudah ada UU Keterbukaan Informasi Publik.
Selain itu,
mayoritas warga sering kali pasif, kurang peduli untuk mengontrol anggota DPR.
Demikian pula desentralisasi dan otonomi daerah memperkuat pemda karena
”lepas”-nya mereka dari kontrol pusat (Kemendagri) tanpa penguatan masyarakat
daerah sehingga terjadi kekuasaan-kewenangan berlebih (power-authority surplus).
Di beberapa
negara, masyarakat lokal diperkuat sebelum atau saat desentralisasi. Misalnya
pemberdayaan warga desa di India atau komunitas akar rumput di Bolivia sehingga
kekuasaan pemda dapat diimbangi dari bawah oleh masyarakat. Dalam kasus Polri,
reformasi telah ”membebaskan” Polri dari kontrol ABRI-TNI. Sekarang mereka
berada di bawah presiden dan memperoleh anggaran 10 kali lebih besar: dari Rp
3,2 triliun di 1999 menjadi Rp 39,8 triliun di 2012. Namun kontrol pada mereka
oleh Kompolnas yang memang tidak diberi kewenangan yang cukup justru relatif
lemah.
Memberantas korupsi
Pemberantasan
korupsi diketiga lembaga tersebut dapat dilakukan dengan pengawasan dan
penindakan pada pelaku atau aktor di lapisan atas dan kelompok dan jaringan di
lapisan tengah. Pada lapisan bawah diperlukan revisi atau pembatalan peraturan
yang memberi peluang korupsi.
Pada lapisan
atas telah dilakukan koreksi eksternal oleh warga, organisasi masyarakat serta
lembaga BPK, BPKP, PPATK, KPK, dan pengadilan. Selain itu, koreksi ini dapat
dilakukan secara internal oleh Badan Kehormatan DPR serta inspektorat di pemda
dan Polri.
Pada lapisan
bawah atau struktur diperlukan revisi peraturan guna membatasi kekuasaan atau
kewenangan pihak yang berpotensi mendukung korupsi. Revisi peraturan diketiga
lembaga tersebut dapat dilakukan oleh mereka sendiri, seperti UU oleh DPR dan
pemerintah, revisi perda oleh pemda, dan sejumlah aturan Polri oleh pimpinan
Polri.
Selain itu,
peraturan di DPR, pemda, dan Polri dapat dibatalkan atau dikoreksi Mahkamah
Konstitusi untuk UU dan MA untuk peraturan di bawah UU jika ada yang memohon
pengujian peraturan tersebut. Dalam hal ini MK sebagai negative
legislator dapat melakukan koreksi UU politik, pemilu, dan lembaga negara
agar mencegah kesempatan korupsi oleh anggota DPR. Demikian juga peran MA yang
membatalkan berbagai aturan di bawah UU yang memberi kesempatan korupsi.
Memberantas
korupsi perlu dilakukan pula oleh MPR dalam amandemen ke-5 dengan mencantumkan
lembaga antikorupsi (KPK) dan korupsi di UUD seperti di Filipina. UUD bukan hanya
berisi cita-cita bangsa, melainkan harus juga mencantumkan hambatannya. Korupsi
dianggap oleh 87 persen responden sebagai salah satu masalah besar di Indonesia
(Roy Morgan Research, The Jakarta
Post, 25/6/2013).
Upaya penting
untuk memberantas korupsi ialah dengan diberlakukannya ”portal transparansi” di
DPR, pemda, dan Polri maupun lembaga negara lainnya. Hal ini berguna untuk
menghilangkan kerahasiaan informasi yang sebenarnya bukan rahasia dan dapat
diakses publik. Kerahasiaan yang salah dan palsu ini menghasilkan kekuasaan dan
kewenangan berlebih yang berpotensi besar untuk korupsi.
Dengan ”portal
transparansi” ini kontrol oleh publik dapat dilakukan pada lapis atas (pelaku),
tengah (jaringan), maupun bawah (peraturan yang ada). Peningkatan kontrol terhadap
kewenangan ini akan mencegah kesewenangan dan korupsi. Pola seperti ini
terdapat di Brasil dan Timor Leste, di mana semua data yang boleh diketahui
publik disediakan secara sangat rinci dan sangat mudah diakses warga melalui
internet.
Dengan sistem
ini, penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Federal Brasil atau proyek seperti
pembangunan jembatan di Timor Leste dapat diakses melalui internet.
Ketersediaan informasi ini dapat menginklusi dan memberdayakan masyarakat,
khususnya warga, universitas, LSM, intelektual, dan media untuk melakukan
kontrol dan koreksi secara massal yang berkelanjutan sehingga terjadi gerakan
sosial memerangi korupsi.
Upaya mengatasi
korupsi yang dilakukan negara dan masyarakat akan menghasilkan ”Perang Rakyat
Semesta” terhadap korupsi sehingga dapat mengurangi korupsi secara nyata dan
hasilnya akan terlihat dalam berbagai indikator korupsi. Keberhasilan mengatasi
korupsi akan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi lebih adil dan
makmur, tetapi jika gagal akan terjadi keadaan yang sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar