Sabtu, 24 Agustus 2013

Catatan Perdagangan Internasional dan Nilai Tukar

Catatan Perdagangan Internasional dan Nilai Tukar
Rostamaji Korniawan ;    Staf Departemen Keuangan RI,
Alumnus Doktor Pukyong National University, Korsel
MEDIA INDONESIA, 23 Agustus 2013

PERDAGANGAN Indonesia mengalami zaman keemasan ketika ekspor migas mencapai nilai yang sangat tinggi pada tiga dekade yang lalu. Pada saat itu migas merupakan komoditas perdagangan yang menjadi ujung tombak bagi perdagangan internasional Indonesia. Sebagai sektor yang sangat menguntungkan pada saat itu, migas berkembang dan memberikan stimulus yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Perkembangan perdagangan maupun industrialisasi di kawasan Asia, terutama dengan munculnya Newly Industrialized Economies (NIE), pada waktu itu menjadi sebuah paradigma yang dikenal sebagai flying geese.

Perdagangan juga menjadi lokomotif untuk kemajuan ekonomi bagi negara–negara industri tersebut. Mereka menggunakan outward looking untuk menyerap potensi pendapatan untuk membiayai kebutuhan pembangunan di dalam negeri. Ekspor menjadi senjata andalan, walaupun kualitas komoditas yang diperdagangkan belum begitu diperhatikan pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, perdagangan Indonesia yang mengandalkan sektor migas semakin berkurang dan hingga kini Indonesia justru menjadi negara importir minyak yang nilainya lebih besar dibandingkan dengan nilai eskpor minyak ke luar negeri.

Besarnya nilai impor migas membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defi sit pada dua tahun terakhir ini. Ketidakseimbangan salah satu indikator ekonomi Indonesia membuat contangious effect bagi indikator ekonomi lainnya. Beberapa kebijakan dan langkah-langkah telah diambil pemerintah untuk memulihkan keadaan saat ini, namun sepertinya sedikit masih belum memberikan tanda–tanda untuk kembali normal.

Dari beberapa kasus seperti nilai tukar rupiah yang terdepresiasi, telah membuat para pelaku ekonomi maupun masyarakat terdorong untuk menekan pembuat kebijakan untuk berbuat sesuatu dalam menanggulangi situasi yang sulit ini. Pemerintah dan pihak otoritas moneter pun sebenarnya telah mengambil langkah maupun pernyataan yang diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan sepertinya masyarakat menunggu dan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk membuat sebuah kebijakan yang harmonis.

Untuk menyusun sampai mengeluarkan sebuah kebijakan, pemerintah harus ber koordinasi dengan semua pihak termasuk di dalamnya masyarakat sebagai stakeholder yang akan merasakan dampak langsung atas kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, kebijakan tersebut ha ruslah cohesive dan applicable, seperti kebijakan untuk meningkatkan kembali kinerja perdagangan Indonesia ke luar negeri yang akhirnya juga akan mengembalikan posisi nilai tukar rupiah sesusai dengan asumsi makro yang telah ditetapkan dalam APBN-P 2013.

Terkait dengan lemahnya nilai tukar rupiah, pada dasarnya nilai tukar tersebut dipengaruhi kebutuhan valuta asing yang akan dipergunakan. Secara umum tingginya kebutuhan valuta asing, terutama dolar, dipenga ruhi transaksi keuangan seperti perdagangan luar negeri, investasi portofolio maupun asing, pembayaran utang luar negri, dan pembayaran lainnya yang memerlukan mekanisme penggunaan valuta asing. Transaksi­transaksi itulah yang memicu volatilias nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.

Ketersediaan cadangan devisa yang berkurang juga menimbulkan kekhawatiran beberapa pihak yang terutama memiliki transaksi yang terkait dengan pihak luar negeri. Pengalaman krisis keuangan di pertengahan 1990-an memberikan sebuah pelajaran bagi semua pihak untuk mengelola keuangan secara berimbang. Transaksi domestik dan internasional haruslah mempunyai porsi yang terukur untuk mengantisipasi gejolak yang tidak diinginkan, terutama gejolak sosial, politik, dan ekonomi di luar negeri.

Untuk meredam nilai tukar rupiah yang dikatakan sedang mencari titik ekuilibrium baru, pemerintah maupun pihak otoritas moneter perlu melakukan penelitian lebih lanjut, dan mengelu arkan kebijakan baru yang dapat mengembalikan nilai tukar rupiah untuk kembali kepada kondisi normal. Pada sisi per dagangan internasio nal, kebutuhan valuta asing diperlukan pada saat ekspor dan impor barang terjadi. 

Depresiasi rupiah tentunya akan memberikan beban yang cukup signifikan bagi para importir. Untuk menanggulangi hal itu, kebijakan foreign currency swap antara Indonesia dan partner dagang Indonesia diharapkan bisa meredam gejala volatilitas nilai tukar rupiah.

Kebijakan ini pun akan efektif jika diberikan kepada negara­negara yang memiliki transaksi perdagangan yang cukup besar bagi Indonesia, seperti China, Jepang, Singapura, Amerika Serikat, India, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Belanda, Taiwan, Australia, Filipina, dan Jerman. Sebagian besar partner dagang Indonesia berasal dari Asia sehingga memudahkan untuk berkoordinasi. Sebagian besar partner dagang tersebut sebenarnya telah menerapkan foreign currency swap dan untuk lebih meningkatkan cadangan devisa, kebijakan tersebut tampaknya mampu membantu untuk meredakan gejala volitilitas rupiah.

Kebijakan lainnya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah adalah dengan melalui mekanisme instrumen kebijakan fiskal, yaitu pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri juga bisa membantu untuk memberikan tambahan valuta asing pada neraca pembayaran Indonesia. Namun, perlu diperhatikan bahwa pinjaman tersebut haruslah memberikan manfaat dan produktif bagi pembangunan Indonesia serta tidak memberatkan anggaran pendapatan dan belanja negara. Pengajuan pinjaman tersebut juga harus tetap memperhatikan persyaratan yang diajukan mengingat Indonesia masih memerlukan ruang untuk meningkatkan kapasitasnya menambah nilai produk domestik brutonya. Pinjaman tersebut juga tidak menjadi beban yang harus dipikul masyarakat dan generasi yang akan datang.

Kedua kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan yang bisa menyelesaikan permasalahan dalam waktu singkat, tetapi setidaknya bisa memberikan celah yang berarti untuk mengarahkan nilai tukar rupiah kembali ke keadaan yang semula. Kebijakan tersebut sebenarnya mengalami beberapa hambatan, terlebih dengan kondisi ekonomi global yang cenderung masih belum memberikan sinyal perbaikan untuk meningkatkan ekspor.

Apabila kebijakan foreign currency swap dilakukan dalam perjanjian bilateral khusus untuk menangani transaksi perdagangan, maukah pelaku ekonomi menerapkannya? Selain itu, apabila kita menerapkan kembali fixed exchange rate system (yang pernah diberlakuan antara 1970-1978 silam) pada transaksi perdagangan tertentu, mungkinkah itu dilakukan?


Ataukah kita harus meminta bantuan finansial dari negara­negara Asia lainnya yang tergabung dalam ASEAN+3 mengingat komitmen yang telah dituangkan di dalam the Chiang Mai Initiative? Apa pun itu, kebijakan ekonomi dan moneter akan kita serahkan kepada pihakpihak yang mengaturnya, sehingga stabilitas ekonomi dapat tetap terjaga. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar