|
Bulan madu Ikhwanul Muslimin dan
militer pasca-revolusi, 25 Januari 2011, telah berakhir. Kudeta militer pada 3
Juli lalu menjadi mimpi buruk bagi IM. Muhammad Mursi dilengserkan, ribuan
aktivis IM dipenjara atas tuduhan provokasi kekerasan dan ratusan demonstran
pro-Mursi tewas.
Dinamika
politik pasca-revolusi berubah begitu cepat dan kompleks. Mulanya, revolusi
yang menumbangkan rezim Hosni Mubarak melahirkan fakta baru di panggung politik
Mesir, yaitu hubungan mesra antara IM dan militer. Kubu nasionalis yang sejak
awal mendesak militer agar mengamandemen konstitusi terlebih dahulu daripada
menggelar pemilu tidak digubris. Militer lebih memilih berkolaborasi dengan IM
daripada mendengarkan aspirasi kubu nasionalis. IM mendulang keuntungan politik
dari hubungan mesra tersebut.
Bagaimanapun,
keberhasilan IM menjadi penguasa pasca-revolusi tidak bisa dilepas dari
dukungan militer. Hubungan mesra dengan militer telah memuluskan IM meraih
mimpi mereka jadi kekuatan utama politik di Mesir. Menurut Zoltan Barany dalam The
Role of the Military, militer adalah institusi yang paling kuat di dalam negara
dan tak ada revolusi yang sukses tanpa mendapat dukungan atau setidaknya
pasifnya militer. Jatuhnya Mubarak karena militer mendukung revolusi (Journal of Democracy, 4 Oktober 2011).
Penjelasan
tersebut kian mengukuhkan militer punya peran sentral dalam jatuh bangun rezim
politik. Tanpa dukungan militer, IM tidak mungkin menjadi kekuatan penting
dalam politik Mesir pasca-revolusi. Di sinilah posisi strategis militer di
dalam panggung politik Mesir.
Hal sebaliknya,
kejatuhan Mursi dari kursi kekuasaan tak lain dapat dipahami karena IM tidak
mampu menjaga hubungan mesra dengan militer. Ketidakmampuan Mursi mengendalikan
dan mengelola hubungan baik dengan militer berdampak buruk bagi kekuasaannya,
yang hanya bertahan seumur jagung itu.
Rezim militer
Sejak 1952,
rezim politik di Mesir adalah rezim militer. Gamal Abd Nasser meraih kekuasaan
melalui kudeta militer. Hubungan antara Nasser dan IM sudah retak sejak awal.
Hal tersebut disebabkan dua arus ideologi yang berseberangan di antara keduanya.
Nasser adalah simbol nasionalisme Arab yang beraliran sosialis, sedangkan IM
merupakan benteng islamisme yang meyakini pembentukan negara Islam. Untuk
memapankan kekuasaannya, Nasser melarang eksistensi IM pada tahun 1954.
Pada masa
pemerintahan Nasser, islamisme ala IM tidak punya ruang gerak akibat
tertutupnya kanal politik praktis. Ide-ide nasionalisme dan sosialisme lebih
diidolakan rakyat Mesir, bahkan dunia Arab lainnya. Namun, petaka politik
terjadi saat Nasser kalah dalam perang melawan Israel pada 1967, yang disertai
krisis ekonomi dan melemahnya kekuatan militer akibat terbatasnya belanja di
bidang militer. Akhirnya, IM berkesempatan menggoyang posisi militer, yang
berakhir dengan terbunuhnya Nasser, konon di tangan aktivis IM.
Anwar Sadat yang
memerintah sejak 1970 mulai menggandeng IM. Ia menyadari betapa penting peran
IM dan kelompok islamis lainnya. Salah satu hubungan mesra Sadat, yang juga
dari kalangan militer itu, adalah perubahan klausul di dalam konstitusi yang
berbunyi, ”Syariat Islam sebagai sumber utama dalam hukum”. Langkah ini diambil
Sadat sebagai jalan kompromi dengan IM dan kekuatan islamis lainnya. Klausul
inilah yang kemudian jadi sumber perdebatan di dalam lanskap politik, antara
Syariat Islam sebagai salah satu sumber atau satu-satunya sumber hukum. Di
samping itu, ada yang mengusulkan agar tujuan-tujuan pokok Syariat Islam
sebagai sumber hukum.
Namun, setelah
deklarasi perdamaian antara Mesir dan Israel di Camp David pada 1979, Sadat
berhadapan kembali dengan IM dan kelompok islamis lainnya. Perdamaian dengan
Israel akhirnya berujung dengan tewasnya Sadat di tangan kaum islamis.
Hosni Mubarak
yang juga berasal dari militer menggantikan Sadat sejak 1981. Mubarak semakin
mengukuhkan nasionalisme dan melakukan modernisasi dalam segala bidang. Ia juga
terus melanjutkan perjanjian damai dengan Israel yang telah dirintis Sadat.
Secara ideologis, Mubarak bertentangan dengan IM.
Kata kunci
dalam rezim Mubarak adalah stabilitas politik. Karena itu, ia mengeluarkan
kebijakan ”darurat militer”. Hubungannya dengan IM bersifat pragmatis: sejauh
tak mengganggu stabilitas politik, ia mempersilakan IM melakukan aktivitas,
bahkan ikut pemilu. Namun, karena kekuatan politik IM mulai membesar, ia
membatasi peran IM dalam politik.
Meskipun demikian,
IM relatif punya kebebasan dalam melakukan kegiatan kemanusiaan. Bahkan,
merekaleading di beberapa asosiasi profesional, seperti pengacara, dokter,
dan teknik sipil. Mubarak berpandangan, sejauh IM tidak mengganggu posisinya
dalam politik praktis, hal tersebut tak menjadi soal serius baginya. Pada masa
Mubarak inilah, IM relatif lebih leluasa memainkan peran politik dan ekonomi
meskipun beberapa aktivisnya dipenjara sebagai tahanan politik.
Demokrasi
Latar historis
relasi IM dan militer dapat menggambarkan betapa keduanya kerap terlibat dalam
konflik, gesekan, bahkan pertarungan. Secara ideologis, IM dan militer hampir
tak punya titik temu. Militer mengukuhkan ideologi nasionalisme, sementara IM
berpijak di atas islamisme.
Di samping itu,
IM dan kaum islamis lain punya pengalaman buruk yang susah dihapus dalam
sejarah politik Mesir, yaitu pembunuhan terhadap elite politik dan tokoh
militer, seperti Nuqrasyi Phasa, Khazandar, Nasser, dan Sadat. Juga sebaliknya,
sikap represif yang kerap dilakukan militer terhadap aktivis IM.
Jatuhnya Mursi
merupakan repetisi sejarah pada masa lalu. Ketakmampuan IM dalam mempertahankan
hubungan mesra dengan militer yang didukung mayoritas kekuatan politik kian
melemahkan posisi IM. Belajar dari pengalaman, jika IM ingin terlibat dalam
politik praktis, tak ada pilihan, kecuali merajut kembali hubungan baik dengan
militer. Jika tidak, IM menghadapi tantangan yang cukup serius, sebagaimana
dialami saat ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar