|
John Keane, profesor politik dari
Universitas Westminster, Inggris, dalam karyanya berjudul The Life and Death of Democracy (2009), menjelaskan sejarah panjang
demokrasi sejak zaman Athena sampai era internet.
Hal yang
menarik dari evolusi mutakhir sejarah demokrasi pada abad ke-21 adalah proses
demokrasi ditandai dengan menguatnya tren baru yang disebut sebagai era monitory democracy. Sebuah era demokrasi
dengan aktor utama adalah masyarakat sipil yang tidak hanya menjadi penonton,
tetapi bekerja sebagai kekuatan vital yang mengontrol, mengawasi, dan mengepung
seluruh lokus kekuasaan dan tatanan politik yang eksis.
Hal yang
penting dari menguatnya tren monitory
democracy adalah ia mentransformasikan secara progresif cara kita
melihat kembali demokrasi elektoral dengan segenap perangkat institusionalnya,
seperti pemilu, parlemen, dan partai politik. Timbulnya tren monitory democracy menepis anggapan
skeptis yang melihat bahwa era baru yang berbasis material kemajuan teknologi
informasi sebagai era penolakan atas model demokrasi representatif untuk
kembali pada demokrasi langsung era Athena.
Melampaui
anggapan skeptis di atas, zaman ini melahirkan bentuk-bentuk power-monitoring (pengawasan atas
kuasa) berbasis warga, baik yang terwujud dalam lembaga antikorupsi, lembaga
pengawasan pemilu, lembaga pemantau parlemen, masyarakat transparansi, maupun
bentuk gerakan sosial lain, yang tidak membiarkan elite politik membajak proses
demokrasi menjadi berkarakter elitis dan korup.
Persoalan yang
penting untuk dijawab terkait dengan tren monitory democracy yang bersifat lintas teritorial-geografis
ini adalah makna penting perkembangan evolusi demokrasi ini bagi pemajuan
demokrasi di Indonesia. Seperti diuraikan Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy, Indonesia adalah contoh kasus
bertakhtanya kaum elite oligarki. Mereka menguasai sumber daya ekonomi dan
politik yang kuat dan sanggup menggunakannya untuk menghadang, membajak, dan
menguasai institusi kelembagaan demokrasi dan ekonomi bagi kepentingan mereka.
Bahkan, seperti
pernah diutarakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, arena politik
elektoral tengah dikuasai oleh para konglomerat dan orang-orang super kaya.
Selanjutnya, apa relevansi bagi transformasi demokrasi berbasis kebangkitan
pemberdayaan warga bagi keadaan demokrasi di Indonesia yang tengah terbajak
oleh belenggu kuasa oligarki dari tingkat nasional sampai lokal?
Tidak
dibangun semalam
Sebuah
perjuangan politik tentu bukanlah sebuah perjalanan yang akan menuai hasil
dalam satu malam. Roma tidak dibangun dalam satu hari! Demikian pula dengan
yang tengah terjadi di Indonesia.
Selain
memberikan ruang bagi proses adaptasi kekuatan-kekuatan elite oligarki dan
predatoris untuk menguasai arena politik, proses reformasi juga membangun ruang
kesempatan politik bagi lahirnya inisiatif-inisiatif baru warga negara untuk
mengawasi proses demokrasi yang masih berusia muda. Hidup dan matinya masa
depan demokrasi Indonesia tengah dipertaruhkan dalam pertarungan di antara
kekuatan-kekuatan lama yang ingin memanipulasi proses demokrasi dan tumbuhnya
kekuatan baru yang menghidupi demokrasi dalam pemantauan pada seluruh tatanan
politik.
Dalam konteks
perkembangan proses demokrasi di Indonesia, agaknya optimisme kritis harus
terus kita hidupkan. Di tengah masih tersanderanya kasus korupsi oleh belenggu
elite predatoris, pemberantasan korupsi di Indonesia telah melahirkan lembaga
swadaya masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch yang berani membuka
kasus-kasus korupsi dan bekerja sama dengan KPK. Lembaga-lembaga pengawasan transparansi
juga memberikan sumbangan politik berarti tentang cara warga mengawasi
anggaran-anggaran publik di setiap daerah. Juga lahirnya lembaga-lembaga
sejenis yang menghidupkan kanal demokrasi Indonesia dari tingkat nasional
hingga lokal.
Hal penting yang
patut diapresiasi dalam pertarungan menegakkan demokrasi adalah di tingkat
lokal. Setelah kemenangan Joko Widodo dan keberhasilan kekuatan warga untuk
menjadikan pemimpin organiknya di Jakarta, fenomena terbukanya katup demokrasi
di tingkat lokal juga tengah menyeruak di banyak tempat. Hal yang terbaru
adalah fenomena yang tengah berlangsung di Jawa Timur. Hal ini terkait dengan
fenomena penghadangan atas kandidat Pemilihan Umum Gubernur Jawa Timur Khofifah
Indar Parawansa-Herman S Sumawiredja, yang diduga sarat transaksi politik,
memunculkan protes keras. Itu menyebar, baik dari kalangan intelektual,
pemberitaan di media massa, gerakan sosial, maupun para pegiat media sosial,
sebelum akhirnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu mengembalikan hak pasangan
itu menjadi kandidat. Semua fenomena ini membuka kembali optimisme kita akan
proses demokrasi.
Beberapa
capaian penting seiring mekarnya inisiatif-inisiatif, monitory democracy mesti ditopang prasyarat-prasyarat politik
penting. Setidaknya ada dua penopang agar pengawasan warga berimbas ke
rehabilitasi politik.
Pertama, tumbuh
kembangnya monitory democracy di
Indonesia harus berjalan seiring dengan kehadiran kepemimpinan yang kokoh dalam
membela sendi-sendi demokrasi dan pengawasannya oleh kekuatan masyarakat sipil.
Tanpa lahirnya kepemimpinan yang berpihak kepada demokrasi, sulit
mengaktualisasikan perjuangan pengawasan demokrasi menjadi kebijakan yang
berkarakter daulat rakyat.
Kedua, kekuatan
masyarakat sipil yang mengawasi proses demokrasi juga harus memiliki mental
baja. Mengingat begitu kuatnya belenggu oligarki yang membalut proses demokrasi
kita, kekuatan-kekuatan berbasis publik ini juga harus memiliki
karakter spartan yang tidak mudah terkooptasi oleh transaksi politik
dan imbalan materiil, agar mendung politik yang menaungi bumi demokrasi kita
berganti dan seperti diuraikan Ibu Kita Kartini, Door Duisternis Toot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang)! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar