Selasa, 20 Agustus 2013

Merdeka dari Korupsi

Merdeka dari Korupsi
Hajriyanto Y Thohari ;   Wakil Ketua MPR
SUARA KARYA, 19 Agustus 2013


Makna kemerdekaan adalah tersedianya kesempatan yang luas tiada batas untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Kesejahteraan lahir dapat terwujud manakala negara bisa menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan negara, mulai bertanggung jawab akan adanya fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak, terutama bagi rakyat miskin sesuai harkat martabat kemanusiaannya.

Kesejahteraan batin terwujud jika rakyat mendapatkan perlindungan atas hak asasi manusia (HAM) yang dimilikinya. Rakyat bebas dari ketakutan, kekerasan, dan diskriminasi, terjamin keamanan dan hak milik serta kebebasannya sesuai martabat kemanusiaannya pula.

Untuk apa merdeka jika rakyat masih jauh dari kesejahteraan lahir batin dan justru masih bergelimang dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan? Tidak ada kemerdekaan jika kita sebagai pemimpin masih menyaksikan terjadinya eksploitasi manusia terhadap manusia yang lain (padahal mengaku sebangsa dan setanah air) di depan mata kepala kita dalam kehidupan sehari-hari.

Realitas bangsa saat ini belum seperti yang dibayangkan dan dicita-citakan dalam Proklamasi Kemerdekaan RI pada 68 tahun lalu. Indonesia semestinya sudah dapat menjadi negara maju dan sejahtera jika saja pemerintah dapat membersihkan penyelenggaraan negara ini dari korupsi, kolusi, kongkalikong, dan nepotisme.

Maka, harapan kita segeralah terwujud pemerintahan yang bebas dan merdeka dari korupsi. Tetapi apa lacur, korupsi masih merajalela laksana epidemi. Lihat saja, masih banyak koruptor ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejadian tertangkapnya para koruptor beberapa tahun terakhir ini benar-benar menyedihkan. Ini berarti serentetan peristiwa penangkapan yang dilakukan KPK selama ini belum menghasilkan efek jera kepada pejabat-pejabat kita.

Jangankan menimbulkan rasa takut atau efek jera, bahkan sekadar perasaan kapok pun tidak! Buktinya, praktik-praktik korupsi tetap semarak, suap tetap merajalela, dan kongkalikong antara legislatif, eksekutif, dan judikatif, bahkan dengan pengusaha, masih tetap berjalan terus. Bahkan, modus operandi tindak pidana korupsi makin mengalami diversifikasi sehingga makin beraneka ragam.

Ada kesan, kegarangan KPK dalam melakukan penggeledahan, penangkapan, dan penyeretan para koruptor selama ini tidak berpengaruh sama sekali. Jika keadaan demikian terus berlangsung, sungguh sudah waktunya dicari jenis hukuman lain untuk menghentikan korupsi di negeri ini. Entahlah jenis penanganan dan hukuman yang seperti apa lagi, yang harus dilakukan KPK untuk membuat para pegawai dan pejabat negara/pemerintahan berhenti korupsi. Jangan-jangan dihukum mati pun mereka sudah tidak takut lagi!

Kenaikan gaji dan remunerasi juga tidak membuat pejabat dan pegawai berhenti korupsi. Teori menaikkan gaji dan remunerasi untuk menghentikan korupsi dan/atau suap sudah jadi teori kuno dan out of date! Itu teori klise yang terbukti ngawur! Sudah jelas sekarang ini bahwa kalau memang dasarnya korup, ya, tetap saja korup meski kesejahteraannya sudah diperhatikan.


Sedih, bahkan kecewa, karena ternyata korupsi terus saja terjadi. Ini menunjukkan bahwa korupsi-korupsi baru akan terus bermunculan silih berganti bagaikan ungkapan "patah tumbuh hilang berganti, esa hilang dua terbilang!" Apa akan begini terus negara kita ini? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar