|
Memang benar menurut Ibnu Taimiah,
pemimpin harus ada. Namun, KAHMI merumuskan pemimpin memang harus ada namun
tidak harus mengada-ada. Namun, jika semua kebijakan telah menyalahi hak
rakyat, maka mereka wajib digulingkan. Sebab, Heln Kelsen berasumsi bahwa
demokrasi menempatkan rakyat di strata paling tinggi serta memiliki legitimasi
untuk memerintah negaranya. Karena itu, jika potretnya sedemikian rupa, apakah
Indonesia perlu melakukan Reformasi Jilid II?
Menelisik kondisi bangsa yang kian
memilukan, semakin terjajah, diperlukan peran pemimpin menelisik masalah ini.
Sebab, tanpa disadari atau bahkan sudah sadar namun seolah apatis, bangsa ini
telah terjajah hampir 3,5 abad, dampaknya cukup serius bagi negara. Namun,
lebih dari itu, dewasa ini Indonesia dijajah oleh anak bangsa sendiri.
Sangat disayangkan, semula anak
bangsa yang diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat negara, sekarang
berhaluan terbalik mencari keuntungan di tengah menderitaan anak bangsa
sendiri. Mereka memberdayakan diri sepenuhnya, untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya
diatas kepentingan umum. Maka, setiap gerak langkah anak bangsa hanya
berorientasi materi bukan pengabdian suci terhadap negeri.
Demikian realitanya, masyarakat
Indonesia semakin individualistik. Bangsa dan negara saja dilupakan, apalagi
dengan lingkungan sekitar. Keeksotisan alam, keramahan pemandangan lingkungan,
ketulusan teman, pengabdian sahabat, dibayar murah dengan tindakan tidak
sportif hanya untuk mengumpulkan uang. Hidup penuh pendustaan menjadi rutinitas
yang mustahil dilenyapkan. Karena itu, tidak heran kerusakan terjadi
dimana-mana yang semua itu bersumber dari hasil tangan rakyatnya sendiri. (Qs
Ar-rum:41)
Menelisik realita, diperlukan
usaha untuk antisipasi masalah ini. Jika hanya mengacu pada retorika, ma-ka
signifikansinya pun tiada, begitupun sebaliknya. Jadi langkah konkrit harus
dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, terlebih para pemimpin bangsa.
Sebab, baik-buruknya bangsa tentu tidak lepas dari dedikasi sang pemimpin.
Penjajahan oleh anak bangsa
sendiri memang sudah diamini oleh berbagai kalangan. Sehingga, sistem demokrasi
yang dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara serasa dinodai. Demokrasi yang
semula menitikberatkan kepentingan kolektif, sekarang bergeser hanya bersifat
individualis. Demokrasi memang ada, namun hanya terpusat pada masing-masing
individu tanpa menghargai kepentingan umum. Oleh sebab itu, harus ada
revitalisasi demokrasi negeri.
Sesungguhnya sistem demokrasi
memang cukup baik. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga
negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah
hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara
langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan
hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan
adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata ini berasal dari bahasa
Yunani yaitu demokratia artinya kekuasaan rakyat, terbentuk dari kata demos
artinya rakyat dan kratos adalah kekuatan atau kekuasaan, pada abad ke-5 SM
untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani. Salah satunya Athena, kata
ini merupakan antonim dari aristocratie atau kekuasaan elite. Secara teoretis,
kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak
jelas lagi.
Namun akibat sentuhan tangan
pemerintah yang kurang apik, secara terorganisir telah menodai kemurnian
demokrasi. Ternyata, sistem di Indonesia cenderung otoriter, dinasti, atau
monarki. Bukti riilnya, prosentasi kegagalan negeri makin meningkat. Untuk
berkutik di tataran Asia Tenggara saja sulitnya minta ampun, apalagi setingkat
Asia bahkan dunia internasional. Terbukti, segalanya impor, tusuk gigi pun
harus impor. Ironis bukan?
Oleh sebab itu, benar kata Dr H
Fatah Syukur Nc, MAg yaitu berupaya usaha menyadarkan warga negara Indonesia.
Berawal dari hal terkecil kesuksesan itu dapat diraih. Begitupun sabaliknya,
berawal dari setitik kesalahan akan terjadi kehancuran. Karena itu, niat untuk
menindaklanjuti perubahan harus dilakukan. Terlebih mahasiswa yang hakikatnya
menjadi tinta mas negara.
Sebagai langkah antisipatif lain,
sistem meritokrasi juga harus dicanangkan demi kemajuan bangsa. Sebab, jika
cara pemilihan pemimpin dilakukan secara meritokrasi, yang lebih mengutamakan
skill dan track record akan membina kepemimpinan yang sempurna. Tentu dengan
tujuan satu, yaitu kemakmuran bangsa. Ada yang mengatakan, sistem meritorasi
memang solusi tepat untuk menjawab problematika negeri.
Secara menyeluruh, sistem
meritokrasi bukan merupakan barang baru. Jepang, India, Tiongkok, Korea
Selatan, Taiwan, Singapura merupakan segelintir negara yang mengusung sistem
tersebut. Realitanya memang demikian, negara-negara tersebut menjadi negara
gajah yang disegani oleh dunia. Dalam seleksi kepala negara atas latar belakang
intelektual, emosional, spiritual, dan material.
Sebagaimana diyakni banyak
kalangan, Indonesia memang perlu berevolusi kembali. Karena itu, selayaknya
sistem meritokrasi yang lebih menjunjung tinggi nilai kompetitif yang sehat,
akan melahirkan pemimpin yang hebat pula. Apalagi dipupuk dengan spirit para
pemuda bangsa, alhasil mampu menjadi elemen kuat untuk memperkokoh kerapuhan
negeri.
Namun, sesungguhnya yang mendasari
kesuksesan adalah kemauan, skill, keberuntungan (fortuna), dan kecerdikan
(virtu). Hal ini sesuai persepsi Machiavelli, yang hasil pemikirannya masih
relevan bagi negara pengacu demokrasi seperti Indonesia ini. Setidaknya kita
sadar bahwa nilai demokrasi bangsa ternodai. Jadi wajar jika indonesia sebagai
negara statis, tidak maju-maju. Mari hapus penjajahan anak bangsa oleh bangsa
sendiri. Wallahu a'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar