Selasa, 20 Agustus 2013

Menghapus Penjajahan Anak Bangsa

Menghapus Penjajahan Anak Bangsa
Mahfudz Fauzi ;   Peraih beasiswa Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang
SUARA KARYA, 19 Agustus 2013


Memang benar menurut Ibnu Taimiah, pemimpin harus ada. Namun, KAHMI merumuskan pemimpin memang harus ada namun tidak harus mengada-ada. Namun, jika semua kebijakan telah menyalahi hak rakyat, maka mereka wajib digulingkan. Sebab, Heln Kelsen berasumsi bahwa demokrasi menempatkan rakyat di strata paling tinggi serta memiliki legitimasi untuk memerintah negaranya. Karena itu, jika potretnya sedemikian rupa, apakah Indonesia perlu melakukan Reformasi Jilid II?

Menelisik kondisi bangsa yang kian memilukan, semakin terjajah, diperlukan peran pemimpin menelisik masalah ini. Sebab, tanpa disadari atau bahkan sudah sadar namun seolah apatis, bangsa ini telah terjajah hampir 3,5 abad, dampaknya cukup serius bagi negara. Namun, lebih dari itu, dewasa ini Indonesia dijajah oleh anak bangsa sendiri.

Sangat disayangkan, semula anak bangsa yang diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat negara, sekarang berhaluan terbalik mencari keuntungan di tengah menderitaan anak bangsa sendiri. Mereka memberdayakan diri sepenuhnya, untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya diatas kepentingan umum. Maka, setiap gerak langkah anak bangsa hanya berorientasi materi bukan pengabdian suci terhadap negeri.

Demikian realitanya, masyarakat Indonesia semakin individualistik. Bangsa dan negara saja dilupakan, apalagi dengan lingkungan sekitar. Keeksotisan alam, keramahan pemandangan lingkungan, ketulusan teman, pengabdian sahabat, dibayar murah dengan tindakan tidak sportif hanya untuk mengumpulkan uang. Hidup penuh pendustaan menjadi rutinitas yang mustahil dilenyapkan. Karena itu, tidak heran kerusakan terjadi dimana-mana yang semua itu bersumber dari hasil tangan rakyatnya sendiri. (Qs Ar-rum:41)

Menelisik realita, diperlukan usaha untuk antisipasi masalah ini. Jika hanya mengacu pada retorika, ma-ka signifikansinya pun tiada, begitupun sebaliknya. Jadi langkah konkrit harus dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, terlebih para pemimpin bangsa. Sebab, baik-buruknya bangsa tentu tidak lepas dari dedikasi sang pemimpin.

Penjajahan oleh anak bangsa sendiri memang sudah diamini oleh berbagai kalangan. Sehingga, sistem demokrasi yang dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara serasa dinodai. Demokrasi yang semula menitikberatkan kepentingan kolektif, sekarang bergeser hanya bersifat individualis. Demokrasi memang ada, namun hanya terpusat pada masing-masing individu tanpa menghargai kepentingan umum. Oleh sebab itu, harus ada revitalisasi demokrasi negeri.

Sesungguhnya sistem demokrasi memang cukup baik. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.

Kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia artinya kekuasaan rakyat, terbentuk dari kata demos artinya rakyat dan kratos adalah kekuatan atau kekuasaan, pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani. Salah satunya Athena, kata ini merupakan antonim dari aristocratie atau kekuasaan elite. Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi.

Namun akibat sentuhan tangan pemerintah yang kurang apik, secara terorganisir telah menodai kemurnian demokrasi. Ternyata, sistem di Indonesia cenderung otoriter, dinasti, atau monarki. Bukti riilnya, prosentasi kegagalan negeri makin meningkat. Untuk berkutik di tataran Asia Tenggara saja sulitnya minta ampun, apalagi setingkat Asia bahkan dunia internasional. Terbukti, segalanya impor, tusuk gigi pun harus impor. Ironis bukan?

Oleh sebab itu, benar kata Dr H Fatah Syukur Nc, MAg yaitu berupaya usaha menyadarkan warga negara Indonesia. Berawal dari hal terkecil kesuksesan itu dapat diraih. Begitupun sabaliknya, berawal dari setitik kesalahan akan terjadi kehancuran. Karena itu, niat untuk menindaklanjuti perubahan harus dilakukan. Terlebih mahasiswa yang hakikatnya menjadi tinta mas negara.

Sebagai langkah antisipatif lain, sistem meritokrasi juga harus dicanangkan demi kemajuan bangsa. Sebab, jika cara pemilihan pemimpin dilakukan secara meritokrasi, yang lebih mengutamakan skill dan track record akan membina kepemimpinan yang sempurna. Tentu dengan tujuan satu, yaitu kemakmuran bangsa. Ada yang mengatakan, sistem meritorasi memang solusi tepat untuk menjawab problematika negeri.

Secara menyeluruh, sistem meritokrasi bukan merupakan barang baru. Jepang, India, Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Singapura merupakan segelintir negara yang mengusung sistem tersebut. Realitanya memang demikian, negara-negara tersebut menjadi negara gajah yang disegani oleh dunia. Dalam seleksi kepala negara atas latar belakang intelektual, emosional, spiritual, dan material.

Sebagaimana diyakni banyak kalangan, Indonesia memang perlu berevolusi kembali. Karena itu, selayaknya sistem meritokrasi yang lebih menjunjung tinggi nilai kompetitif yang sehat, akan melahirkan pemimpin yang hebat pula. Apalagi dipupuk dengan spirit para pemuda bangsa, alhasil mampu menjadi elemen kuat untuk memperkokoh kerapuhan negeri.


Namun, sesungguhnya yang mendasari kesuksesan adalah kemauan, skill, keberuntungan (fortuna), dan kecerdikan (virtu). Hal ini sesuai persepsi Machiavelli, yang hasil pemikirannya masih relevan bagi negara pengacu demokrasi seperti Indonesia ini. Setidaknya kita sadar bahwa nilai demokrasi bangsa ternodai. Jadi wajar jika indonesia sebagai negara statis, tidak maju-maju. Mari hapus penjajahan anak bangsa oleh bangsa sendiri. Wallahu a'lam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar