Sabtu, 24 Agustus 2013

Mendesak, Sertifikasi Ustadz

Mendesak, Sertifikasi Ustadz
Hamli Syaifullah ;   Penulis aktif di Majelis Tabligh
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta
SUARA KARYA, 23 Agustus 2013


Indonesia merupakan negara paling liberal dalam memberikan gelar ustadz terhadap seseorang. Tidak ada kriteria khusus yang bisa menjadi standarisasi seseorang untuk mendapatkan gelar ustadz. Seolah-olah gelar ustadz lebih gampang mendapatkannya ketimbang menjadi seorang guru taman kanak-kanak (TK) ataupun guru PAUD (pendidikan anak usia dini) yang setidaknya harus mengantongi ijazah PGTK/PGPAUD (Pendidikan Guru TK/Pendidikan Guru PAUD).

Ijazah itu merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan untuk menjaga kualitas guru yang akan mengajar. Karena dengan adanya guru TK/PAUD yang berkualitas, akan berdampak signifikan terhadap proses belajar dan mengajar di sekolah.

Jika demikian, mengapa tidak ada batasan minimal seseorang yang hendak menjadi ustadz di negeri ini? Paling tidak ada sertifikasi yang menggambarkan kemampuan keilmuan yang dimiliki olehnya. Apalagi ustadz-ustadz yang bermunculan di televisi layaknya artis. Seolah menggantikan peran ustadz yang sebelumnya sebagai da'i (pengajak kebenaran) berubah peran menjadi seorang artis. Sehingga kehadiran ustadz bukan lagi menjadi figur tuntunan, akan tetapi lebih menjadi tontonan belaka.

Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Prof Yunahar Ilyas, pengurus teras Muhammadiyah dan juga anggota MUI. Prof Yunahar ketika memberikan kultum (kuliah tujuh menit) seusai melaksanakan shalat zuhur di PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, menyatakan pernah bertanya pada salah seorang kru televisi mengenai kriteria ustadz untuk memberikan ceramah di stasiun televisi. 

Ternyata, kata Prof Yunahar, kru televisi itu menjawab tanpa banyak pertimbangan, bahwa kriteria seorang Ustadz yang akan diundang di stasiun televisi biasanya meliputi, wajah unik, orangnya lucu, serta wajah tampan (good looking).

Jika seperti itu kriteris seorang ustadz yang memberikan ceramah di stasiun televisi yang ditonton orang banyak termasuk anak-anak dan remaja yang memang dalam masa pencarian identitas, alangkah miris mendengarnya. Jika kriteria menjadi seorang ustadz adalah wajah unik, tampan, dan lucu, lantas apa bedanya acara ceramah di televisi dengan acara Srimulat dan Opera Van Java.

Dalam hal ini, tentunya masih hangat di benak kita bagaimana perseteruan antara Eyang Subur dengan Adi Bing Slamet. Adi Bing Slamet yang merupakan murid sang Eyang, menuduh Eyang Subur seorang yang musyrik dengan mengajarkan ajaran sesat. Mendengar ocehan Adi Bing Slamet, Eyang Subur pun yang diwakili oleh kuasa hukumnya tidak terima dengan tuduhan tersebut. Sehingga menjadikan perseteruan tersebut bertambah panas.

Akhirnya keduanya pun membawa perseteruan tersebut ke Majlis Ulama Indonesia (MUI), untuk memperjelas titik permasalahan tersebut. Karena MUI yang merupakan otoritas agama tertinggi di Indonesia, tentunya akan lebih berhak menentukan apakah kasus tersebut merupakan murni masalah penyesatan agama ataupun masalah kriminalitas.

Jika masalah tersebut merupakan murni masalah penyesatan agama/ mengajarkan ajaran sesat yang mengatasnamakan Islam, maka kasus tersebut merupakan arena yang harus diselesaikan oleh MUI. Sedangkan jika masalah tersebut merupakan masalah yang beraroma kriminalitas, maka hal tersebut merupakan tugas kepolisian.

Yang sangat menggelikan adalah pertanyaan yang diutarakan oleh kuasa hukum Eyang Subur terhadap MUI. Eyang Subur menanyakan, apakah memang benar batasan maksimal seorang laki-laki dalam Islam hanya boleh memiliki empat isteri. Tentunya semua ummat Islam telah mengetahui hal tersebut, mengapa harus dipertanyakan oleh Eyang Subur ini.

Jika diteliti lebih mendalam lagi, pertanyaan tersebut menandakan kedangkalan pengetahuan agama si penanya. Bayangkan saja jika seorang muslim yang seharusnya memiliki pengetahuan agama dasar sebagai pijakan hidup sehari-hari tidak mengetahuinya, lantas bagaimana dengan keberislaman dirinya? Tentunya keberislaman dirinya haruslah dipertanyakan. Ini merupakan tugas penting seorang ustadz sebagai da'i yang memberikan pencerahan kepada ummat Islam.

Oleh sebab itu, seorang ustadz tidak hanya bertugas memberikan pencerahan mana yang haq dan mana yang bathil, akan tetapi seorang ustadz haruslah menjadi figur dan juga guru spritual ummat. Dalam artian bahwa dirinya memberikan bimbingan menuju ke jalan yang benar. Bukan malah menjadi guru spritual seperti yang dilakukan oleh Adi Bing Slamet terhadap Eyang Subur, yang membawa dirinya mengkultuskan guru spritualnya sebelum ada konflik di antara keduanya. Karena mengkultuskan seseorang dalam Islam, merupakan kemusyrikan.

Selain itu, larahbaniyata fil Islam, artinya tidak ada pengrahiban di dalam Islam. Semua orang dipersilahkan berdo'a kepada Allah SWT tanpa harus melalui perantara siapapun. Karena Allah SWT maha mendengar setiap do'a yang dilantunkan oleh hamba-hambanya.

Tentunya bursa bebas menduduki kursi empuk seorang ustadz, menjadi "PR" besar MUI. Karena disinyalir banyak ustadz yang beredar di masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni, terutama ilmu-ilmu dasar seperti aqidah, syariah, dan akhlaq, begitu juga dengan ilmu turunan seperti ibadah, muamalah, jinayah, dan lain sebagainya.


Itu sebabnya, MUI harus memberikan sertifikasi ataupun kriteria yang ketat bagi seorang ustadz. Sehingga, tidak akan ada lagi seorang muslim yang bertanya tentang pengetahuan dasar Islam seperti kuasa hukum Eyang Subur di atas. Dengan adanya sertifikasi ataupun kriteria ketat menjadi seorang ustadz, maka seseorang yang menjadi ustadz benar-benar merupakan orang yang mumpuni dan bukan seorang artis atau orang berpengatahuan abal-abalan yang hanya akan menyesatkan ummat Islam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar