|
Indonesia merupakan negara paling
liberal dalam memberikan gelar ustadz terhadap seseorang. Tidak ada kriteria
khusus yang bisa menjadi standarisasi seseorang untuk mendapatkan gelar ustadz.
Seolah-olah gelar ustadz lebih gampang mendapatkannya ketimbang menjadi seorang
guru taman kanak-kanak (TK) ataupun guru PAUD (pendidikan anak usia dini) yang
setidaknya harus mengantongi ijazah PGTK/PGPAUD (Pendidikan Guru TK/Pendidikan
Guru PAUD).
Ijazah itu merupakan salah satu
prasyarat yang ditetapkan untuk menjaga kualitas guru yang akan mengajar.
Karena dengan adanya guru TK/PAUD yang berkualitas, akan berdampak signifikan
terhadap proses belajar dan mengajar di sekolah.
Jika demikian, mengapa tidak ada
batasan minimal seseorang yang hendak menjadi ustadz di negeri ini? Paling
tidak ada sertifikasi yang menggambarkan kemampuan keilmuan yang dimiliki
olehnya. Apalagi ustadz-ustadz yang bermunculan di televisi layaknya artis.
Seolah menggantikan peran ustadz yang sebelumnya sebagai da'i (pengajak
kebenaran) berubah peran menjadi seorang artis. Sehingga kehadiran ustadz bukan
lagi menjadi figur tuntunan, akan tetapi lebih menjadi tontonan belaka.
Kondisi ini sejalan dengan apa
yang dikatakan oleh Prof Yunahar Ilyas, pengurus teras Muhammadiyah dan juga
anggota MUI. Prof Yunahar ketika memberikan kultum (kuliah tujuh menit) seusai
melaksanakan shalat zuhur di PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat,
menyatakan pernah bertanya pada salah seorang kru televisi mengenai kriteria
ustadz untuk memberikan ceramah di stasiun televisi.
Ternyata, kata Prof Yunahar,
kru televisi itu menjawab tanpa banyak pertimbangan, bahwa kriteria seorang
Ustadz yang akan diundang di stasiun televisi biasanya meliputi, wajah unik,
orangnya lucu, serta wajah tampan (good
looking).
Jika seperti itu kriteris seorang
ustadz yang memberikan ceramah di stasiun televisi yang ditonton orang banyak
termasuk anak-anak dan remaja yang memang dalam masa pencarian identitas,
alangkah miris mendengarnya. Jika kriteria menjadi seorang ustadz adalah wajah
unik, tampan, dan lucu, lantas apa bedanya acara ceramah di televisi dengan
acara Srimulat dan Opera Van Java.
Dalam hal ini, tentunya masih
hangat di benak kita bagaimana perseteruan antara Eyang Subur dengan Adi Bing
Slamet. Adi Bing Slamet yang merupakan murid sang Eyang, menuduh Eyang Subur
seorang yang musyrik dengan mengajarkan ajaran sesat. Mendengar ocehan Adi Bing
Slamet, Eyang Subur pun yang diwakili oleh kuasa hukumnya tidak terima dengan
tuduhan tersebut. Sehingga menjadikan perseteruan tersebut bertambah panas.
Akhirnya keduanya pun membawa
perseteruan tersebut ke Majlis Ulama Indonesia (MUI), untuk memperjelas titik
permasalahan tersebut. Karena MUI yang merupakan otoritas agama tertinggi di
Indonesia, tentunya akan lebih berhak menentukan apakah kasus tersebut
merupakan murni masalah penyesatan agama ataupun masalah kriminalitas.
Jika masalah tersebut merupakan
murni masalah penyesatan agama/ mengajarkan ajaran sesat yang mengatasnamakan
Islam, maka kasus tersebut merupakan arena yang harus diselesaikan oleh MUI.
Sedangkan jika masalah tersebut merupakan masalah yang beraroma kriminalitas,
maka hal tersebut merupakan tugas kepolisian.
Yang sangat menggelikan adalah
pertanyaan yang diutarakan oleh kuasa hukum Eyang Subur terhadap MUI. Eyang
Subur menanyakan, apakah memang benar batasan maksimal seorang laki-laki dalam
Islam hanya boleh memiliki empat isteri. Tentunya semua ummat Islam telah
mengetahui hal tersebut, mengapa harus dipertanyakan oleh Eyang Subur ini.
Jika diteliti lebih mendalam lagi,
pertanyaan tersebut menandakan kedangkalan pengetahuan agama si penanya.
Bayangkan saja jika seorang muslim yang seharusnya memiliki pengetahuan agama
dasar sebagai pijakan hidup sehari-hari tidak mengetahuinya, lantas bagaimana
dengan keberislaman dirinya? Tentunya keberislaman dirinya haruslah
dipertanyakan. Ini merupakan tugas penting seorang ustadz sebagai da'i yang
memberikan pencerahan kepada ummat Islam.
Oleh sebab itu, seorang ustadz
tidak hanya bertugas memberikan pencerahan mana yang haq dan mana yang bathil,
akan tetapi seorang ustadz haruslah menjadi figur dan juga guru spritual ummat.
Dalam artian bahwa dirinya memberikan bimbingan menuju ke jalan yang benar.
Bukan malah menjadi guru spritual seperti yang dilakukan oleh Adi Bing Slamet
terhadap Eyang Subur, yang membawa dirinya mengkultuskan guru spritualnya
sebelum ada konflik di antara keduanya. Karena mengkultuskan seseorang dalam
Islam, merupakan kemusyrikan.
Selain itu, larahbaniyata fil Islam, artinya tidak ada pengrahiban di dalam
Islam. Semua orang dipersilahkan berdo'a kepada Allah SWT tanpa harus melalui
perantara siapapun. Karena Allah SWT maha mendengar setiap do'a yang
dilantunkan oleh hamba-hambanya.
Tentunya bursa bebas menduduki
kursi empuk seorang ustadz, menjadi "PR" besar MUI. Karena disinyalir
banyak ustadz yang beredar di masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang
mumpuni, terutama ilmu-ilmu dasar seperti aqidah, syariah, dan akhlaq, begitu
juga dengan ilmu turunan seperti ibadah, muamalah, jinayah, dan lain
sebagainya.
Itu sebabnya, MUI harus memberikan
sertifikasi ataupun kriteria yang ketat bagi seorang ustadz. Sehingga, tidak
akan ada lagi seorang muslim yang bertanya tentang pengetahuan dasar Islam
seperti kuasa hukum Eyang Subur di atas. Dengan adanya sertifikasi ataupun
kriteria ketat menjadi seorang ustadz, maka seseorang yang menjadi ustadz
benar-benar merupakan orang yang mumpuni dan bukan seorang artis atau orang
berpengatahuan abal-abalan yang hanya akan menyesatkan ummat Islam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar