Sabtu, 24 Agustus 2013

MEA 2015, Posisi Indonesia? (2)

MEA 2015, Posisi Indonesia? (2)
Emil Abeng ;   Anggota Komisi VI DPR RI
SUARA KARYA, 23 Agustus 2013


Faktanya, dalam menghadapi MEA 2015, belum banyak persiapan berarti dari Indonesia. Berdasarkan laporan dari Kementerian Koordinator Perekonomian, terungkap berbagai fakta. Neraca Perdagangan Indonesia terhadap negara-negara ASEAN sejak 2005 selalu mengalami defisit yang meningkat setiap tahunnya.

Ekspor Indonesia selama ini didominasi oleh barang-barang berupa bahan baku alam (raw material), seperti batubara, minyak nabati, gas, dan minyak bumi (40 persen dari seluruh ekspor Indonesia). Daya saing produk Indonesia secara umum relatif lebih lemah dibandingkan dengan negara-negara industri utama ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Di bidang jasa, tingkat kunjungan turis ke Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya meskipun Indonesia memiliki potensi pariwisata yang sangat besar, baik berupa kekayaan alam, budaya maupun peninggalan sejarah. Kualitas tenaga kerja yang ada di Indonesia relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja di negara ASEAN lainnya. Kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia cukup baik, namun terbatas di kota besar dan harganya juga relatif mahal. Apalagi, jika dilihat dari jumlah tenaga kerja kesehatan dan infrastruktur yang dibangun di Indonesia masih berada di bawah negara ASEAN lainnya.

Dari segi investasi, aliran penanaman modal asing (Foreign Direct Investment/ FDI) ke Indonesia dibanding dengan total FDI ke ASEAN relatif rendah dibandingkan dengan yang mengalir ke Singapura, Thailand dan bahkan Vietnam. Begitu pula terhadap sektor pendukung, anggaran untuk belanja infrastruktur Indonesia paling rendah, hanya 2 persen dari GDP (dengan tingkat ideal belanja infrastruktur 5 persen). Sebagai perbandingan, Vietnam memiliki dana belanja infrastruktur hingga 8 persen, dan China mencapai 10 persen. Begitu pula kondisi infrastruktur jalan di Indonesia merupakan yang terburuk di ASEAN. Selain itu, panjang jalan di Indonesia juga merupakan yang terpendek di ASEAN (ADB, 2011). Sekitar 36 persen dari jaringan jalan dilaporkan rusak atau mengalami kerusakan berat, tidak memadai dan berkualitas rendah. (ADB 2007)

Dengan kondisi seperti ini, jelas daya saing industri dan ekonomi Indonesia masih di bawah negara-negara besar ASEAN lain. "Keunggulan" semu berupa jumlah penduduk, lokasi strategis, dan SDA melimpah hanyalah "pemanis" untuk menjual Indonesia ke pasar dan pemodal internasional, terutama oleh negara ASEAN yang tidak memiliki penduduk, pasar, dan SDA.

Apalagi, kelemahan Indonesia di sektor jasa dan tenaga kerja dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh negara-negara ASEAN lain. Melalui ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), sudah dibuka liberalisasi untuk profesi akuntan, dokter, dokter gigi, insinyur, perawat, dan arsitek. Bahkan dalam penyusunan paket komitmen ke-8 AFAS tahun 2010, dinyatakan secara tegas bahwa dalam praktik Indonesia sudah membuka pasar tenaga kerja kelas bawah (low level) bagi negara antara lain Malaysia, Singapura, dan Brunei.

Tidak Siap

Saya pribadi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VI yang membidangi masalah, antara lain soal perdagangan sudah menyuarakan kekhawatiran terhadap ketidaksiapan Indonesia menghadapi perdagangan bebas, setidaknya sejak awal 2009 ketika masuk di parlemen. Alasannya sederhana: pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas, terukur, dan executable, dalam menghadapi MEA 2015. Dalam berbagai kesempatan rapat kerja parlemen, saya sudah sering meminta agar pemerintah menyediakan roadmap, blueprint, atau apa pun dokumen kebijakan resmi yang memuat strategi pemerintah menghadapi MEA 2015, namun hingga kini tidak pernah diserahkan.

Di sisi lain, pemerintah sebenarnya sadar bahwa ada bahaya besar terkait daya saing global Indonesia. Namun sayangnya, kita seperti terlalu takut menghadapi kenyataan yang ada. Dalam pidato Presiden Susilo Yudhoyono (SBY) di hadapan para pengusaha muda, Desember 2012 mengatakan, "ASEAN Economic Community itu dilaksanakan di Bali, Indonesia, pada tahun 2003. Jadi, kalau tiba-tiba kita mengatakan belum siap, padahal Laos siap, Kamboja siap, yang masih jauh di bawah kita ekonominya, Myanmar siap, Vietnam siap-siap. Bagaimana? Tentu tidak bagus bagi kehormatan sebuah bangsa."

Artinya, ada pengakuan bahwa Indonesia memang tidak siap. Namun, terlepas dari segala dinamika diplomasi ekonomi, kita sepakat bahwa pembenahan harus dimulai di dapur sendiri. Pakar dan praktisi paham bahwa agar mampu bersaing, kita butuh kebijakan untuk membenahi perekonomian kita, antara lain dengan membangun infrastruktur fisik, perbaikan regulasi, keamanan iklim usaha, peningkatan kapasitas SDM (termasuk pendidikan, keterampilan, dan kemampuan bahasa asing), akses permodalan, dan penyusunan industri prioritas.


Namun, hingga kini eksekusi dari program-program tersebut masih berjalan sangat lambat. Terakhir, ada rencana untuk membuat komite khusus dan menyusun instruksi presiden guna memfokuskan program kebijakan dan langkah aksi menyikapi MEA 2015. Meski hal ini patut diapresiasi, tindakan ini seharusnya sudah dimulai sejak 9 tahun lalu, ketika Presiden SBY pertama kali terpilih. Dibutuhkan tenaga super ekstra dan kepemimpinan super tegas untuk mempercepat pemenuhan target kesiapan dalam 1,5 tahun mendatang. Sejujurnya, saya skeptis apakah Presiden mampu menggalang dukungan politik, memimpin koordinasi antar kementerianlembaga pemerintah, dan mengajak masyarakat bisnis untuk menjalankan kebijakan ini. Semoga saja, saya salah. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar