Selasa, 20 Agustus 2013

Kampanye dengan Uang Rakyat

Kampanye dengan Uang Rakyat
Apung Widadi ;   Peneliti Politik Anggaran di Indonesia Budget Center;
Alumnus Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
KOMPAS, 19 Agustus 2013

Menjelang Pemilu 2014, muncul asa bahwa korupsi politik berupa penggunaan anggaran negara (politisasi anggaran) dan politisasi birokrasi dapat dijerat hukum. Harapan ini melambungkan cita-cita terwujudnya pemilu berintegritas.
Berita menggembirakan itu muncul saat Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan Nomor 79/PHPU.D-XI/2013 terkait Pilkada Gubernur Sumatera Selatan, awal Juli lalu. Substansi putusan adalah membatalkan kemenangan petahana Alex Noerdin-Ishak Mekki karena terbukti telah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan kampanye dan melakukan politisasi birokrasi.
Bentuknya, pemanfaatan APBD Sumsel Tahun Anggaran 2013, bertanggal 21 Januari 2013, berjumlah Rp 1.492.704.039.000 dan mengarahkan birokrasi untuk memilih petahana.
Ini adalah yurisprudensi di mana korupsi politik, ─yaitu segala cara untuk memperoleh kekuasaan, ─dapat ”dihukum”. Konsekuensinya, MK memerintahkan pemungutan ulang di lima daerah, yaitu Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kota Palembang, Kota Prabumulih, dan Kecamatan Warkuk Ranau Selatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan.
MK juga memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU), KPU Sumatera Selatan, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Bawaslu Sumsel melaporkan pelaksanaan amar putusan ini dalam waktu paling lambat 90 hari setelah dibacakan.
Majelis hakim menilai, pemberian dana bantuan sosial itu tidak wajar, selektif, dan terkesan dipaksakan menjelang pelaksanaan pilkada sehingga patut diduga ada kampanye terselubung oleh petahana.
Majelis hakim berpendapat, pemberian tersebut secara langsung dan tidak langsung dapat memengaruhi pilihan dan secara khusus menguntungkan petahana. Maka pilkada harus diulang di beberapa daerah yang terbukti terjadi pelanggaran.
Ibrahim Fahy Badoh dalam buku Korupsi Pemilu (2010) menjelaskan, fenomena di atas termasuk abuse of power. Awalnya, tidak terkelolanya pendanaan politik (political financing) dalam pemilu sehingga memicu korupsi politik, berangkat dari penyalahgunaan jabatan/kewenangan (abuse of power).
Politisasi anggaran
Fenomena politisasi anggaran sebenarnya terjadi di seluruh Indonesia, bahkan di tingkat nasional saat Pemilu 2009. Di Jawa Tengah, misalnya, menjelang Pemilihan Gubernur 2013 anggaran dana bantuan sosial (bansos) dan hibah meningkat tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya, hingga Rp 3,5 triliun. Hal serupa juga terjadi di Pilgub Banten, di mana petahana saat itu, Ratu Atut Chosiyah, disinyalir mengalirkan dana bansos senilai hampir Rp 29,5 miliar ke lembaga yang dipimpin kroni dinastinya.
Politisasi anggaran juga terjadi dalam Pemilu 2009. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan indikasi penggunaan dana bansos dan hibah di setiap kementerian untuk pemenangan presiden petahana, saat itu Susilo Bambang Yudhoyono.
Untuk Pemilu 2014, setidaknya ada 10 menteri yang akan berpartisipasi dalam pemilu legislatif. Dari Partai Demokrat ada EE Mangindaan, Syarifudin Hassan, Amir Syarifudin, Jero Wacik, dan Roy Suryo.
Dari PKS, Suswono dan Tifatul Sembiring; PKB ada Muhaimin Iskandar, Helmy Faisal, dan Zaini; serta dari PAN, Zulkifli Hasan. Dengan demikian, potensi politisasi APBN akan bergeser dari sentralisasi pemilu presiden menjadi kepentingan pemilu legislatif, kecuali jika Hatta Rajasa dan Surya Dharma Ali juga maju dalam pemilu capres.
Dana hibah dan bansos merupakan pos dalam APBD dan APBN yang sengaja digunakan sebagai dana politik, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Alokasi dana bansos ada dalam struktur APBN atau APBD semenjak tahun 2004 hingga kini.
Desakan masyarakat agar dana bansos dan hibah dikeluarkan dari struktur anggaran justru direspons pemerintah dengan memperketat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32 Tahun 2011 menjadi Permendagri No 39/2012. Bedanya, cuma pada administratif pelaporan. Padahal, menurut BPK, dari tahun 2005 hingga sekarang, sekitar Rp 300 triliun dana bansos dan hibah digunakan untuk dana politik saat pilkada.
Langkah 2014
Untuk mengantisipasi politisasi anggaran pada Pemilu 2014 perlu langkah simultan, mulai dari proses penganggaran, momentum pemilu, hingga penegakan hukum serta perbaikan instrumen demokrasi.
Pertama, anggaran Pemilu 2014 harus diatur jelas agar tidak dijarah politisi. Caranya, dengan meminimalkan dana-dana taktis yang bersifat dana sosial, dana hibah, dan dana bantuan keuangan, dan mengubahnya menjadi dana jangka panjang untuk infrastruktur. Akan lebih baik dana dialokasikan dalam bentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Khusus dana bansos dan hibah lebih baik ditiadakan dalam momentum APBN Perubahan 2013 dan RAPBN 2014. Presiden dalam nota APBN 2014 harus jelas mencantumkan antipolitisasi APBN dengan menghapus dana bansos dan hibah dari struktur anggaran.
Kedua, KPU perlu memperketat aturan dana kampanye plus sanksi untuk peserta yang menggunakan dana publik. Momentum perubahan ini adalah revisi peraturan KPU Dana Kampanye yang kini masih digodok.
Bawaslu juga perlu melihat politisasi anggaran sebagai pelanggaran dengan mengubah metode pengawasan yang selama ini masih monoton, seperti menertibkan masalah spanduk, alat peraga, dan pelanggaran tempat ibadah, menjadi lebih menyentuh pada level korupsi politik, seperti penggunaan APBD/ APBN untuk membiayai kampanye oleh petahana.
Ketiga, penegakan hukum pemilu juga perlu diperkuat dalam hal sanksi. Bukan hanya sanksi administratif sesuai putusan MK, melainkan juga penegak hukum, seperti KPK, perlu melihat bahwa politisasi anggaran merupakan bentuk korupsi politik yang bisa dijerat dengan UU antikorupsi sebagai penyalahgunaan wewenang.
Keempat, pelanggaran pemilu dalam bentuk politisasi anggaran dan politisasi birokrasi perlu diatur secara ketat. Misalnya, saat ini adalah momentum pembahasan RUU Pilkada, selain pengaturan politik dinasti, unsur korupsi politik juga perlu diatur.

Masyarakat juga jangan memilih politisi dan capres yang menggunakan uang rakyat untuk kampanye. Dengan demikian, konsep pemilu bersih, berintegritas, dan adil bisa ditegakkan.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar