|
Kekurangan paling mencolok terkait
dengan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia mencakup sumber
daya manusia, anggaran, dan sarana-prasarana. Jika belakangan ini berkali-kali
muncul berita tak sedap tentang lembaga tersebut, sebenarnya berawal dari
kekurangan tersebut.
Namun, pemenuhan ketiganya tanpa
diimbangi pengawasan yang memadai hanya akan menimbulkan permasalahan baru.
Untuk itu, rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (LP) ataupun
lembaga terkait dengan rumpun pemasyarakatan, seperti balai pemasyarakatan
(bapas) dan rumah penyimpanan barang sitaan negara (rupbasan), perlu punya
lembaga pengawasan sendiri.
Bahaya moral
Keterbatasan menyangkut tiga hal di
atas, oleh manajemen rutan dan LP dikompensasi dengan penciptaan budaya penjara
yang mengutamakan keseimbangan. Kehidupan penjara diciptakan sedemikian rupa
sehingga memperlihatkan harmoni. Secara konsep, harmoni itu juga menunjang
proses reintegrasi penghuni untuk, pada saatnya kelak, dapat kembali ke
masyarakat.
Guna merealisasi harmoni, pada satu
sisi para sipir ”meminta” para penghuni agar tidak lari, tak berkelahi, tak
melawan petugas, dan, yang paling ditakuti, tidak menciptakan kerusuhan.
Mengapa demikian? Karena jika terjadi, sipir dapat dipastikan akan tunggang
langgang karena tak akan mampu menahan para penghuni apabila mengamuk.
Di sisi yang lain, sipir juga
memberi ”konsesi” kepada penghuni berupa aneka keringanan dan keleluasaan.
Sipir juga berjanji tak galak, tak gemar menghukum, menoleransi jika terjadi
penyimpangan kecil-kecil, bahkan bersedia fleksibel sepanjang penghuni tidak
bikin onar.
Permasalahannya, penciptaan
keseimbangan itu menghadirkan moral
hazard (bahaya moral). Petugas bisa dengan mudah terlena dan hanyut
dalam kelonggaran yang diciptakannya sendiri. Interaksi dirinya dengan penghuni
bisa menjadikannya ”terbeli” karena sering meminta atau menerima uang.
Penyimpangan kecil-kecilan yang timbul di rutan/ lapas juga bisa berkembang ke
arah lebih serius, tetapi tak dicegah atas nama ”harmoni” tadi.
Yang terjadi di LP Cipinang,
misalnya, pada dasarnya adalah kasus penyimpangan yang ekstrem yang dilakukan
secara interaktif oleh penghuni dan sipir. Disebut sebagai kasus karena dapat
dipastikan bahwa hal itu tidak terjadi di 600-an UPT Pemasyarakatan di seluruh
Indonesia. Dikatakan interaktif karena, dari sudut sipir, sulit diterima akal
sehat bahwa sipir tak tahu yang terjadi dalam wilayah yang diawasinya secara
total.
Terkait dengan itu, sistem
pengawasan internal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak bisa
menjangkaunya. Seperti juga sejumlah inspektorat jenderal, Inspektorat Jenderal
Kemenkumham juga gampang terkena tiga penyakit. Pertama, ewuh
pakewuh saat memeriksa sesama teman dan gampang ”masuk angin”. Kedua,
pengawasan lebih pada aspek administratif. Ketiga, pelaksanaan pengawasan
dilakukan secara protokoler (diberitahukan terlebih dahulu, dll) sehingga yang
dilihat di rutan/LP pada dasarnya tidaklah apa adanya.
Untuk itu, kita perlu menghargai
upaya dari (khususnya) Wamenkumham Denny Indrayana, yang rajin melakukan
inspeksi mendadak ke sejumlah unit pengelola teknis di lingkungan Kemenkumham.
Upayanya menekan kehadiran telepon seluler, pungli, dan narkoba memang tak akan
menyelesaikan masalah, tetapi minimal bisa menekan kemungkinan berkembangnya
penyimpangan ke arah yang lebih serius dan ekstrem.
Namun, itu tidak cukup. Kasus
”pabrik narkoba” di LP Cipinang dan ulah terpidana mati Freddy yang memperoleh
akses luar biasa di LP tersebut pada dasarnya adalah tamparan bagi kita semua.
Namun, jika mengambil hikmahnya, kasus itu kembali memperlihatkan bahwa kegiatan
pemasyarakatan memerlukan pengawasan yang bukan hanya fungsional dan melekat,
melainkan juga pengawasan terkait proses dan aktivitas pemasyarakatan. Di
mancanegara, hal itu dikenal dengan sebutan pengawasan penjara (prison oversight).
Pengawasan
Kehadiran lembaga pengawasan
terkait dengan kinerja suatu lembaga bukan lagi barang baru di negeri ini. Di
lingkungan peradilan pidana, ada Komisi Kepolisian Nasional sebagai pengawas
Polri; untuk kejaksaan terdapat Komisi Kejaksaan. Demikian pula Komisi Yudisial
(KY) untuk mengawasi para hakim.
Lalu siapa yang mengawasi rutan/LP
dan kegiatan para sipir? Tidak ada. Itjen dan Wamenkumham bukanlah pengawas
fungsional yang memahami dan secara konsisten memonitor manajemen penjara,
budaya penjara, dan aneka penyimpangan petugas ataupun penghuni.
Dalam UU No 12/1995 tentang
Pemasyarakatan, disebutkan tentang lembaga Balai Pertimbangan Pemasyarakatan
(BPP) yang diposisikan sebagai pemberi saran dan pertimbangan kepada Menkumham
mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Oleh banyak kalangan, BPP
digadang-gadang sebagai KY-nya jajaran pemasyarakatan. Padahal, jika dilihat
secara format dan kegiatan, BPP sama sekali tidak bisa disebut sebagai suatu
komisi negara yang secara rutin menjalankan kegiatan pengawasan.
Keanggotaan BPP terdiri atas
beberapa mantan dirjen pemasyarakatan, anggota parlemen, beberapa akademisi,
dan aktivis LSM. Mereka sesekali berkunjung ke beberapa UPT serta 1-2 bulan
sekali bertemu guna membahas sejumlah isu dan mengajukannya dalam bentuk saran
kepada Menkumham atau Dirjen Pemasyarakatan.
Jadi, walau BPP itu baik dalam
rangka melahirkan konsep dan pemikiran, termasuk pembuatan parameter kinerja
jajaran pemasyarakatan, BPP tak punya kapasitas mengawasi secara teknis. Walau
dewasa ini Presiden SBY sudah memiliki struktur kelembagaan yang gemuk, itu
tidak berarti kita semua menutup kesempatan untuk mendiskusikan pembentukan
Komisi Pengawasan Pemasyarakatan ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar