|
Menjelang Pemilu 2014, muncul asa bahwa korupsi politik berupa penggunaan
anggaran negara (politisasi anggaran) dan politisasi birokrasi dapat dijerat
hukum. Harapan ini melambungkan cita-cita terwujudnya pemilu
berintegritas.
Berita
menggembirakan itu muncul saat Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan
Nomor 79/PHPU.D-XI/2013 terkait Pilkada Gubernur Sumatera Selatan, awal Juli
lalu. Substansi putusan adalah membatalkan kemenangan petahana Alex
Noerdin-Ishak Mekki karena terbukti telah menggunakan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan kampanye dan melakukan politisasi
birokrasi.
Bentuknya,
pemanfaatan APBD Sumsel Tahun Anggaran 2013, bertanggal 21 Januari 2013,
berjumlah Rp 1.492.704.039.000 dan mengarahkan birokrasi untuk memilih
petahana.
Ini adalah
yurisprudensi di mana korupsi politik, ─yaitu segala cara untuk memperoleh
kekuasaan, ─dapat ”dihukum”. Konsekuensinya, MK memerintahkan pemungutan ulang
di lima daerah, yaitu Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Kota Palembang, Kota Prabumulih, dan Kecamatan Warkuk Ranau
Selatan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan.
MK juga
memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU), KPU Sumatera Selatan, Badan
Pengawas Pemilihan Umum, dan Bawaslu Sumsel melaporkan pelaksanaan amar putusan
ini dalam waktu paling lambat 90 hari setelah dibacakan.
Majelis hakim
menilai, pemberian dana bantuan sosial itu tidak wajar, selektif, dan terkesan
dipaksakan menjelang pelaksanaan pilkada sehingga patut diduga ada kampanye
terselubung oleh petahana.
Majelis hakim
berpendapat, pemberian tersebut secara langsung dan tidak langsung dapat
memengaruhi pilihan dan secara khusus menguntungkan petahana. Maka pilkada
harus diulang di beberapa daerah yang terbukti terjadi pelanggaran.
Ibrahim Fahy
Badoh dalam buku Korupsi Pemilu (2010) menjelaskan, fenomena di atas
termasuk abuse of power. Awalnya, tidak terkelolanya pendanaan politik (political financing) dalam pemilu
sehingga memicu korupsi politik, berangkat dari penyalahgunaan
jabatan/kewenangan (abuse of power).
Politisasi anggaran
Fenomena
politisasi anggaran sebenarnya terjadi di seluruh Indonesia, bahkan di tingkat
nasional saat Pemilu 2009. Di Jawa Tengah, misalnya, menjelang Pemilihan
Gubernur 2013 anggaran dana bantuan sosial (bansos) dan hibah meningkat tiga
kali lipat dibanding tahun sebelumnya, hingga Rp 3,5 triliun. Hal serupa juga
terjadi di Pilgub Banten, di mana petahana saat itu, Ratu Atut Chosiyah,
disinyalir mengalirkan dana bansos senilai hampir Rp 29,5 miliar ke lembaga
yang dipimpin kroni dinastinya.
Politisasi
anggaran juga terjadi dalam Pemilu 2009. Indonesia Corruption Watch (ICW)
menemukan indikasi penggunaan dana bansos dan hibah di setiap kementerian untuk
pemenangan presiden petahana, saat itu Susilo Bambang Yudhoyono.
Untuk Pemilu
2014, setidaknya ada 10 menteri yang akan berpartisipasi dalam pemilu
legislatif. Dari Partai Demokrat ada EE Mangindaan, Syarifudin Hassan, Amir
Syarifudin, Jero Wacik, dan Roy Suryo.
Dari PKS,
Suswono dan Tifatul Sembiring; PKB ada Muhaimin Iskandar, Helmy Faisal, dan
Zaini; serta dari PAN, Zulkifli Hasan. Dengan demikian, potensi politisasi APBN
akan bergeser dari sentralisasi pemilu presiden menjadi kepentingan pemilu
legislatif, kecuali jika Hatta Rajasa dan Surya Dharma Ali juga maju dalam
pemilu capres.
Dana hibah dan
bansos merupakan pos dalam APBD dan APBN yang sengaja digunakan sebagai dana
politik, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Alokasi dana bansos ada dalam
struktur APBN atau APBD semenjak tahun 2004 hingga kini.
Desakan
masyarakat agar dana bansos dan hibah dikeluarkan dari struktur anggaran justru
direspons pemerintah dengan memperketat Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 32 Tahun 2011 menjadi Permendagri No 39/2012. Bedanya, cuma
pada administratif pelaporan. Padahal, menurut BPK, dari tahun 2005 hingga
sekarang, sekitar Rp 300 triliun dana bansos dan hibah digunakan untuk dana
politik saat pilkada.
Langkah 2014
Untuk
mengantisipasi politisasi anggaran pada Pemilu 2014 perlu langkah simultan,
mulai dari proses penganggaran, momentum pemilu, hingga penegakan hukum serta
perbaikan instrumen demokrasi.
Pertama,
anggaran Pemilu 2014 harus diatur jelas agar tidak dijarah politisi. Caranya,
dengan meminimalkan dana-dana taktis yang bersifat dana sosial, dana hibah, dan
dana bantuan keuangan, dan mengubahnya menjadi dana jangka panjang untuk
infrastruktur. Akan lebih baik dana dialokasikan dalam bentuk Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
Khusus dana
bansos dan hibah lebih baik ditiadakan dalam momentum APBN Perubahan 2013 dan
RAPBN 2014. Presiden dalam nota APBN 2014 harus jelas mencantumkan
antipolitisasi APBN dengan menghapus dana bansos dan hibah dari struktur
anggaran.
Kedua, KPU
perlu memperketat aturan dana kampanye plus sanksi untuk peserta yang
menggunakan dana publik. Momentum perubahan ini adalah revisi peraturan KPU
Dana Kampanye yang kini masih digodok.
Bawaslu juga
perlu melihat politisasi anggaran sebagai pelanggaran dengan mengubah metode
pengawasan yang selama ini masih monoton, seperti menertibkan masalah spanduk,
alat peraga, dan pelanggaran tempat ibadah, menjadi lebih menyentuh pada level
korupsi politik, seperti penggunaan APBD/ APBN untuk membiayai kampanye oleh
petahana.
Ketiga,
penegakan hukum pemilu juga perlu diperkuat dalam hal sanksi. Bukan hanya
sanksi administratif sesuai putusan MK, melainkan juga penegak hukum, seperti
KPK, perlu melihat bahwa politisasi anggaran merupakan bentuk korupsi politik
yang bisa dijerat dengan UU antikorupsi sebagai penyalahgunaan wewenang.
Keempat,
pelanggaran pemilu dalam bentuk politisasi anggaran dan politisasi birokrasi
perlu diatur secara ketat. Misalnya, saat ini adalah momentum pembahasan RUU
Pilkada, selain pengaturan politik dinasti, unsur korupsi politik juga perlu
diatur.
Masyarakat
juga jangan memilih politisi dan capres yang menggunakan uang rakyat untuk
kampanye. Dengan demikian, konsep pemilu bersih, berintegritas, dan adil bisa
ditegakkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar