Senin, 22 Oktober 2012

Subsidi BBM: Kejahatan Poltik-Ekonomi


Subsidi BBM: Kejahatan Poltik-Ekonomi
Faisal Basri ;  Pengamat Ekonomi
KOMPAS, 22 Oktober 2012
  

Semua menteri ekonomi ”berteriak” akibat subsidi energi yang kian mencekik perekonomian Indonesia. Mayoritas anggota DPR pun telah sangat menyadari betapa mahal penghamburan ratusan triliun rupiah setiap tahun untuk subsidi yang jauh dari tepat sasaran. Karena itu, DPR telah memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk bertindak.
Pemberitaan di media massa belakangan ini hampir setiap hari dengan lugas mengungkapkan fakta-fakta bahwa subsidi energi jauh lebih banyak mudarat ketimbang maslahatnya.
Sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, subsidi energi bakal menembus Rp 1.000 triliun, yang dua pertiganya disedot oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selama kurun waktu tahun 2006-2013 subsidi BBM diperkirakan juga akan menembus Rp 1.000 triliun.
Tak ada keraguan sujumput pun bahwa penikmat terbesar dari subsidi energi adalah kelas menengah-atas. Semakin kaya seseorang kian banyak subsidi energi yang dinikmatinya.
Adapun penduduk miskin hanya keciptratan tak sampai 10 persen dari subsidi yang terus menguras sumber daya nasional. Hampir semua penduduk miskin tak berlistrik dan tentu saja mereka tak memiliki kendaraan bermotor. Mereka bukan pula pengunjung pusat-pusat belanja modern yang terang benderang ataupun pencoleng dan penyelundup BBM bersubsidi.
Tak heran jika koefisien gini Indonesia kian memburuk, bahkan telah menembus batas psikologis 0,4 pada tahun 2011, naik tajam dari 0,33 pada tahun 2006. Ketimpangan yang memburuk juga terlihat dari distribusi pendapatan yang bertambah timpang.
Perolehan kelompok 40 persen termiskin terus tergerus dari 21,1 persen tahun 2009 menjadi 16,8 persen tahun 2011, sementara itu pada kurun waktu yang sama perolehan kelompok penduduk 20 persen terkaya naik tajam dari 41,2 persen menjadi 48,4 persen.
Ketimpangan desa-kota hampir bisa dipastikan juga memburuk sebagai akibat politik anggaran yang sangat lebih menguntungkan penduduk kota dan sektor jasa modern (non-tradables) ini. Dampaknya sudah mulai terlihat pada ketahanan pangan kita. Sejak tahun 2007, Indonesia telah mengalami defisit pangan, dengan impor pangan lebih besar daripada ekspor pangan.
Dengan dana Rp 1.000 triliun, banyak yang bisa dilakukan untuk memerangi kemiskinan dan ketimpangan. Jika subsidi benih ditingkatkan dari hanya seratusan miliar rupiah menjadi satu triliun rupiah—hanya 0,3 persen dari subsidi energi—bisa dibayangkan betapa akan sangat terbantunya para petani dalam meningkatkan produksi pangan sehingga kita tak lagi mengalami defisit pangan.
Kita pun bisa membenahi sarana dan prasarana transportasi laut sehingga arus barang lebih lancar dan ongkos logistik lebih murah. Rakyat Papua tak lagi harus membeli semen yang harganya 20 kali lebih mahal daripada di Jakarta.
Dengan transportasi laut yang efisien, jeruk dari Sumatera dan Kalimantan bisa dijual di Jakarta lebih murah ketimbang jeruk dari China. Dengan membenahi pelabuhan di sentra-sentra produksi berbasis sumber daya alam di luar Jawa, industrialisasi pun akan lebih merata, tak hanya terkonsentrasi di Jawa. Dengan demikian, tingkat harga dan laju inflasi di luar Jawa yang secara persisten tinggi bisa pula dijinakkan.
Subsidi BBM telah pula mulai menggerogoti daya tahan makroekonomi. Akibat harga relatif BBM merosot, otomatis permintaan BBM terus melonjak melebihi kenaikan alamiahnya. Maka tak heran kuota BBM bersubsidi selalu terlampaui.
Sementara itu, produksi minyak kita terus-menerus melorot setiap tahun. Pada tahun 2008 produksi minyak rata-rata per hari masih 976.000 barrel, tetapi selama triwulan kedua tahun ini rata-rata per hari tinggal 870.000 barrel. Persoalan kian parah karena kapasitas produksi kilang minyak tak kunjung meningkat selama puluhan tahun.
Ditambah dengan faktor kenaikan harga minyak dunia, impor BBM menggila. Tahun lalu saja kenaikan impor BBM mencapai 10 miliar dollar AS, suatu kenaikan terbesar sepanjang sejarah. Tak kurang dari 28,1 miliar dollar AS kita habiskan untuk mengimpor BBM tahun lalu.
Tahun ini impor BBM diperkirakan akan mencapai rekor baru lagi, mengingat selama Januari-Agustus saja sudah mencapai 18,3 miliar dollar AS.
Lonjakan impor BBM inilah yang merupakan biang keladi dari defisit akun semasa (current account) sejak triwulan keempat tahun 2011 dan terus memburuk hingga triwulan kedua tahun ini yang telah mencapai 7 miliar dollar AS atau 3,1 persen produk domestik bruto.
Arus modal asing masuk yang cukup deras tak sanggup mengimbangi defisit akun semasa sehingga neraca pembayaran mengalami defisit sejak triwulan ketiga 2011. Akibat selanjutnya adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Subsidi BBM nyata-nyata sudah menjadi kanker bagi perekonomian. Kanker sudah menjalar ke sekujur perekonomian. Betapa akan sangat kian menyakitkan jika penyembuhan dengan kemoterapi harus dilakukan karena kanker sudah sedemikian parahnya.
Fearful leader like fearful animals are dangerous. Pro-poor, pro-job, pro-growth, pro-environmentjangan sebatas slogan. Saatnya membuktikan dengan tindakan nyata, dengan kebijakan nyata. Jangan diam saja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar