Senin, 01 Oktober 2012

Benteng Terakhir Melawan Krisis


Benteng Terakhir Melawan Krisis
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 01 Oktober 2012


Perekonomian Indonesia kebal krisis pada 2008-2009 karena tiga hal. Pertama, konsumsi domestik yang kuat, yang didukung oleh keberadaan masyarakat kelas menengah. Konsumsi rumah tangga menyumbang 55 hingga 60 persen pembentukan produk domestik bruto. Kelas menengah kita berjumlah 130 juta orang, dengan daya beli 2 hingga 20 dollar AS per orang sehari.

Kedua, Indonesia memiliki produk-produk primer yang menyebabkan keragaman komoditas ekspor. Ketika pasar manufaktur global sedang lesu terkena krisis, Indonesia justru mengalami ”bonanza” melalui ekspor produk-produk berbasis sumber daya alam yang harganya meroket (minyak sawit, batubara, karet, dan timah). Akibatnya, surplus perdagangan mencapai 20 miliar hingga 40 miliar dollar AS setahun.

Ketiga, industri perbankan beruntung tidak memiliki portofolio yang besar pada produk dan transaksi derivatif global sehingga tidak menderita kerugian berarti ketika harga saham global jatuh. Krisis global kali ini berbeda. Harga produk-produk primer jatuh. Dalam empat bulan terakhir, neraca perdagangan tekor. Tahun ini diperkirakan akan terjadi defisit perdagangan, sesuatu yang sudah lama tak kita alami.

Oleh karena itu, benteng terakhir pertahanan untuk melawan krisis kini bergantung pada geliat kelas menengah, kinerja industri perbankan, dan masuknya modal asing. Terperosoknya perekonomian India yang pertumbuhan ekonominya menurun drastis dari level 8 persen menjadi 5 persen juga menjadi salah satu alasan investor global mengalihkan sasaran investasi ke Indonesia selain ke China. Itulah sebabnya bursa efek kita kembali bergairah, bahkan pekan lalu mencatat rekor baru di atas 4.250. Kinerja industri perbankan sejauh ini baik-baik saja. Aset total mencapai Rp 3.900 triliun, dana pihak ketiga Rp 2.900 triliun, kredit total Rp 2.400 triliun, non-performing loan bruto 2,18 persen, dan net interest margin 5,38 persen.

Bahkan, dalam hal ekspansi kredit melebihi ekspektasi, dengan pertumbuhan 25,8 persen. Dalam situasi tertekan krisis ekonomi global, mestinya ekspansi kredit turun, misalnya menjadi 23 persen atau 24 persen. Yang terjadi justru sebaliknya, penyaluran kredit tetap tinggi. Hal ini akan menjadi jaminan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai setidaknya 6,3 persen tahun ini.

Namun, di sisi lain, timbul kekhawatiran overheating, yakni pertumbuhan ekonomi tinggi yang diikuti dampak negatif defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Kejadian ini pernah kita alami pada 1996 sebelum krisis 1997. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) mulai meminta bank-bank mengerem ekspansi kreditnya dan lebih mementingkan aspek kualitatif.

Dalam rangka meningkatkan kualitas itulah, BI akan segera mengeluarkan kebijakan perizinan berlapis (multiple license), di mana BI akan membeda-bedakan strata setiap bank berdasarkan modalnya. Semakin besar modal suatu bank, semakin leluasa bank tersebut mengembangkan bisnisnya, termasuk mendirikan cabang-cabang di daerah. Saat ini, perbankan nasional diperbolehkan mengembangkan bisnis apa pun karena penerapan perizinan tunggal (single license).

Implikasi dari kebijakan ini adalah hanya bank-bank berkualitas baik yang berhak atas lisensi mendirikan cabang-cabang di daerah. Dengan catatan, jika BI dan pemerintah daerah juga harus secara proaktif memberikan daya tarik dan kemudahan agar kota-kota dan daerah-daerah yang selama ini kurang terjangkau oleh sektor perbankan menjadi sasaran investasi. Implikasi lain dari ketentuan ini adalah kian sulitnya bank-bank asing melakukan ekspansi pendirian kantor-kantor cabang di kota-kota kecil. Dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank asing mulai merambah ke daerah-daerah untuk menjalankan ekspansi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah yang menjanjikan tingkat keuntungan tinggi.

Kebanyakan bank asing di Indonesia berstatus sebagai cabang dari kantor pusatnya di luar negeri. Karena status ini, mereka tidak memiliki struktur permodalan yang kuat. Modal mereka berada di negara-negara asalnya. Dengan ketentuan BI yang baru, mereka tidak akan diizinkan membuka cabang di daerah karena persyaratan mendirikan bank di daerah adalah memiliki struktur modal yang kuat.

Bank-bank asing itu boleh mendirikan cabang jika statusnya diubah menjadi anak perusahaan (subsidiary) dan berbadan hukum perseroan terbatas (PT). Dengan status hukum ini, akan terjadi suntikan dana (modal) dari induk bank itu di luar negeri ke Indonesia. Akibatnya, cadangan devisa BI akan meningkat. Ini akan sangat bagus bagi neraca pembayaran kita dan bisa memperkuat kurs rupiah.

Praktik regulasi ini lazim dilakukan di luar negeri. Ketika Bank Mandiri ingin melakukan ekspansi kredit di London, kantor pusat Bank Mandiri di Jakarta harus menyuntikkan dana ke London agar mempertahankan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio). Suntikan dana ini berdampak positif bagi perekonomian Inggris karena berarti ada aliran dana masuk.

Asas resiprokalitas inilah yang hendak dituju BI. Sudah lama hal ini menjadi ganjalan bagi BI. Upaya untuk menyetarakan regulasi sehingga semua bank berada pada level of playing field yang sama agak sulit dieksekusi ketika perekonomian Indonesia sakit untuk periode yang lama. Namun, seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian Indonesia, BI pun mulai ”berani” melakukan upaya ini. Memang akan timbul pro dan kontra. Regulasi multiple license ini seperti menutup kesempatan bank-bank asing untuk membuka cabang di daerah. Ini akan menjadikan berkurangnya kesempatan untuk memberikan akses sebanyak-banyaknya kepada masyarakat terhadap produk perbankan (financial inclusion). Namun, di sisi lain, hal ini akan mendorong bank-bank asing untuk mengubah status hukumnya menjadi PT. Implikasinya, akan ada aliran suntikan modal masuk ke Indonesia. BI bisa mendorong naik cadangan devisanya yang kini sekitar 109 miliar dollar AS.

Bagi bank-bank lokal, sasaran yang dikehendaki BI adalah mendorong terjadinya konsolidasi. Bank-bank kecil diharapkan tergerak untuk melakukan konsolidasi (merger dan akuisisi) dengan bank-bank lain sehingga permodalannya semakin kuat. Namun, soal ini saya tidak bisa terlalu optimistis. Pengalaman selama ini, bank-bank kita sangat sulit berkonsolidasi. Itulah sebabnya jumlah bank kita sekarang tetap tinggi, 120 bank.

Meski demikian, regulasi multiple license saya anggap baik, terutama jika berhasil memicu bank-bank asing untuk membentuk PT. Aliran dana asing masuk ke Indonesia yang ditimbulkannya sangat penting sebagai salah satu strategi yang jitu menghadapi krisis ekonomi global. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar