Bahaya
Utang Pemerintah
Kusfiardi ; Analis Ekonomi Politik
|
KORAN
SINDO, 17 Februari 2018
KETIKA membicarakan beban
utang yang kian membesar, sering kali yang digunakan adalah indikator rasio
utang pemerintah terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Menurut UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara pasal 12 ayat 3, jumlah utang pemerintah dibatasi maksimal 60% dari
PDB. Oleh pemerintah, ketentuan ini menjadi legitimasi dalam menumpuk utang
dengan sangat agresif. Hasilnya, utang pada masa pemerintahan Jokowi
meningkat signifikan.
Utang
Pemerintah Meroket
Selama masa pemerintahan
Joko Widodo (Jokowi), jumlah utang pemerintah bertambah Rp1.062 triliun.
Rinciannya, pada 2015 bertambah menjadi Rp556,3 triliun dan 2016 bertambah
lagi Rp320,3 triliun. Pada akhir September 2017, menurut data yang
dipublikasikan laman http://www.djppr.kemenkeu.go.id, utang pemerintah sudah
berjumlah Rp3.866,45 triliun. Utang tersebut terdiri atas SUN Rp2.591,55
triliun (67,0%), SBSN Rp536,91 triliun (13,9%), dan pinjaman Rp737,99 triliun
(19,1%).
Utang pemerintahan Jokowi
tersebut didominasi oleh utang dalam mata uang rupiah (59%), diikuti porsi
utang dalam mata uang asing, yakni dolar AS (29%), yen Jepang (6%), euro
(4%), special drawing right (1%), dan beberapa valuta asing lain (1%).
Menurut krediturnya, utang pemerintahan Jokowi didominasi investor SBN (81%),
kemudian pinjaman dari Bank Dunia (6%), Jepang (5%), ADB (3%), dan lembaga
lainnya (5%).
Pemerintahan Jokowi
mengaku senantiasa melakukan pengelolaan risiko utang dengan hati-hati dan
terukur. Hal itu termasuk menjaga risiko pembiayaan kembali, risiko tingkat
bunga, dan risiko nilai tukar dalam posisi yang terkendali.
Meskipun begitu, pada
September 2017 lalu, indikator risiko utang seperti rasio variable rate sudah
berada pada level 10,8% dan refixing rate pada level 19,2%. Porsi utang dalam
mata uang asing berada pada level 40,9%, sedangkan average time to maturity
(ATM) berada pada level 9,0 tahun. Indikator jatuh tempo utang dengan tenor
hingga lima tahun mengalami kenaikan dari 39,2% menjadi 39,7% dari total
out-standing utang.
Utang pemerintahan Jokowi,
baik itu pinjaman maupun SBN, rasionya terhadap PDB juga cenderung meningkat.
Pada 2014, rasio utang sudah 24,7% PDB. Pada 2015, naik menjadi 27,4% PDB.
Pada 2016, naik lagi menjadi 28,3% PDB. Berdasarkan proyeksi posisi akhir
2017, besaran utang sudah 28,6% PDB.
Rasio utang pemerintahan
Jokowi, berdasarkan Debt Services Framework (DSF) IMF dan Bank Dunia, tidak
bisa disebut baik-baik saja. Menurut IMF dan Bank Dunia, batas (threshold )
atas yang aman untuk rasio utang terhadap ekspor adalah sebesar 25%.
Perbandingan dengan
negara-negara peer, sesama negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, rasio
utang terhadap ekspor Indonesia menempati yang tertinggi, yakni mencapai
39,6%. Ini jauh melampaui batas aman DSF sebagaimana ditentukan IMF dan Bank
Dunia. Apabila perbandingannya Indonesia dengan sesama negara-negara
berpenduduk besar di kawasan Asia, seperti China, India, Pakistan, dan
Bangladesh, rasio utang terhadap ekspor Indonesia masih yang tertinggi di
antara kelima negara berpopulasi terbesar di kawasan Asia. Dari indikator
tersebut, utang pemerintahan Jokowi yang menggunung dalam tiga tahun terakhir
sudah memasuki batas bahaya.
Penerimaan
Pajak Rendah
Pengelolaan utang
pemerintahan Jokowi tidak memperhitungkan kemampuan penerimaan dalam negeri
sebagai penopang kewajiban utang yang jatuh tempo. Semakin tinggi utang tentu
semakin besar pula beban (cicilan pokok dan bunga) yang harus dibayarkan.
Semakin besar pula alokasi pendapatan negara yang harus disisihkan untuk
melunasi utang.
Pendapatan negara sangat
mengandalkan penerimaan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Kinerja
penerimaan pajak akan memengaruhi langsung kemampuan membayar utang
pemerintahan Jokowi.
Menurut Menteri Keuangan
Sri Mulyani, rasio pajak Indonesia hanya 11%, terendah di dunia. Di tengah
utang yang terus bertambah, rasio penerimaan pajak terhadap PDB justru
menurun. Pada 2015, rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya 10,76%. Pada
2016 menjadi 10,36% dan pada 2017 rasio penerimaan pajak terhadap PDB
diperkirakan 10,82%.
Di tengah lemahnya
kemampuan memacu peningkatan penerimaan negara, melalui pajak, pemerintahan
Jokowi berencana akan kembali menarik utang tahun ini. Utang tersebut untuk
menambal defisit anggaran yang ditargetkan Rp325,93 triliun atau 2,19% dari
PDB. Pemerintahan Jokowi merencanakan penarikan utang baru sebesar Rp399,34
triliun.
Sikap pemerintahan Jokowi
yang bersikeras dengan kebijakan menambah utang, tentu akan semakin membebani
keuangan negara. Akibatnya akan membatasi kemampuan keuangan negara membiayai
program dari kebijakan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat, termasuk
membatasi keuangan negara dalam memperkuat perekonomian nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar