Restrukturisasi
dan Gelar TNI
Al Araf ;
Direktur
Imparsial;
Mengajar di Universitas
Paramadina dan Al Azhar, Jakarta
|
KOMPAS, 17 Februari 2017
Presiden Joko
Widodo dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, 12 Januari 2017, menyampaikan
dan memerintahkan kepada beberapa menteri, Panglima TNI, dan Kepala Polri
agar postur pertahanan dan gelar pasukan TNI fokus untuk disebar dan dibangun
di wilayah pinggiran, wilayah perbatasan dan kawasan timur Indonesia (Kompas,
13/1/2017).
Presiden mengatakan
bahwa postur dan gelar kekuatan TNI juga penting memperhatikan paradigma
pembangunan nasional kita yang tidak lagi Jawa sentris, tetapi Indonesia
sentris. Sikap politik Presiden Jokowi yang menginginkan adanya perubahan
postur dan gelar kekuatan TNI yang tidak lagi Jawa sentris dan perlu
memperhatikan wilayah luar serta perbatasan merupakan sesuatu yang positif.
Perintah Presiden sudah selayaknya dipatuhi dan ditindaklanjuti oleh menteri
pertahanan dan Panglima TNI untuk segera melakukan restrukturisasi postur dan
gelar kekuatan TNI.
Sejarah TNI
Dalam rentang
panjang sejarah TNI, postur dan gelar kekuatan TNI memang tidak bisa
dilepaskan dari peran, fungsi, dan persepsi ancaman yang berkembang. Sejarah
peran politik militer dan dominasi persepsi ancaman internal oleh militer
secara langsung atau tidak langsung telah memengaruhi postur dan gelar kekuatan TNI.
Pada masa awal
kemerdekaan, struktur dan organisasi TNI memang belum memiliki bentuk ideal.
Pada masa ini, orientasi pembangunan angkatan perang adalah membentuk
kesatuan-kesatuan yang lebih tertata dan terorganisasi. Salah satu program
dan agenda reorganisasi militer pada 1947-1948 dikenal dengan nama program Re
Ra (Reorganisasi/ Rekonstruksi dan Rasionalisasi) angkatan perang. Di bawah
pemerintahan PM Mohammad Hatta program ini diformalkan dan dijalankan (Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia
1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI, LP3ES, 1982, dan lihat juga Yahya
Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Gadjah Mada
University Press, 1982).
Meski
demikian, program Re Ra ini mendapatkan kritik dan protes karena dianggap tak
mengakomodasi sebagian kelompok, di antaranya kelompok laskar-laskar rakyat.
Apalagi keberpihakan prajurit kepada partai-partai politik di masa Orde Lama
telah menimbulkan konflik internal. Alhasil, kondisi politik memanas pada
1948, khususnya di Madiun (MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2005).
Pada masa Orde
Lama, orientasi postur dan gelar kekuatan militer lebih dominan ditunjukkan
untuk menghadapi berbagai gejolak di daerah seperti menghadapi masalah
PRRI/Permesta, DI/TII, dan lainnya. Meski pada awal-awal kemerdekaan,
orientasi angkatan bersenjata juga ditunjukkan untuk menghadapi aksi agresi
militer Belanda 1 dan 2.
Dinamika
orientasi postur dan gelar kekuatan militer secara masif berubah pada masa
pemerintahan Orde Baru. Di bawah rezim politik otoritarian, orientasi postur
dan gelar kekuatan militer diperkuat dan dipermanenkan untuk menopang rezim
politik Soeharto. Di masa ini, Soeharto melakukan politisasi militer dengan
menjadikan militer salah satu kekuatan politik yang menyangga kekuasaannya.
Melalui
doktrin Dwi Fungsi ABRI (sekarang TNI), militer kemudian terlibat dalam
kehidupan sosial dan politik. Meski wajah politik militer sudah terlihat
sejak masa Orde Lama, secara masif keterlibatan militer dalam politik nyata
terlihat dan dominan pada masa pemerintahan Orde Baru. Peran politik militer
itu berdampak terhadap pembangunan postur dan gelar kekuatan ABRI khususnya
Angkatan Darat yang memiliki jangkauan hingga ke desa dan strukturnya
mengikuti struktur pemerintahan sipil yang di kenal dengan nama struktur
komando teritorial (koter).
Meski cikal
bakal koter ada pada masa Orde Lama, fungsi koter sebagai struktur yang
menunjang peran politik ABRI baru dipermanenkan dan diperkuat pada masa Orde
Baru. Jangkauan struktur koter dapat mendistribusikan peran politik ABRI di
daerah, juga menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Koter kerap digunakan
sebagai instrumen merepresi masyarakat yang menentang rezim Soeharto.
Hierarki koter sampai ke kecamatan dan memiliki babinsa di level
terbawah. Dengan memandang persepsi
ancaman lebih melihat ke dalam yang menjadikan kelompok masyarakat yang
kritis terhadap rezim Soeharto adalah ancaman terhadap keamanan nasional,
dengan sendirinya orientasi postur dan gelar kekuatan ABRI terkonsentrasi
untuk berpolitik dan terkesan Jawa Sentris sebagaimana disampaikan Presiden
Jokowi.
Pada masa itu,
secara umum orientasi postur dan gelar kekuatan militer lebih banyak
ditujukan dan diorientasikan inward
looking bukan outward looking
dengan dominannya persepsi ancaman internal. Hal ini berimplikasi pada
kecenderungan terlibatnya militer dalam kehidupan politik. Konsekuensinya
bangunan untuk menciptakan tentara yang kuat, profesional, dan modern sulit
dilakukan.
Reformasi
Ketika doktrin
Dwi Fungsi ABRI, yang jadi pijakan dasar militer berpolitik sudah dihapus
pada masa reformasi, sepantasnya postur dan gelar kekuatan TNI yang memiliki
dimensi politik direstrukturisasi dan direfungsionalisasi. Salah satu agenda
utama yang penting dan perlu dilakukan restrukturisasi dan refungsionalisasi
koter. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya mensyaratkan otoritas
politik melakukan restrukturisasi koter. Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU TNI
menyatakan, dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari
bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik
praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi
pemerintahan.
Pada
hakikatnya, pada masa reformasi ini, perubahan postur dan gelar kekuatan TNI
dilakukan sesuai fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara sebagaimana
ditegaskan dalam UU Pertahanan Negara Nomor 3 Tahun 2002 dan UU TNI No
34/2004. Dengan meletakkan militer sebagai alat pertahanan negara,
sesungguhnya TNI sedang dibangun menjadi organisasi militer yang profesional
yang dididik, dilatih, dibina, dan dipersiapkan untuk perang sesuai dengan
hakikat atau raison d' etre atau
prinsip utama dari militer itu sendiri (Samuel
Huntington, "New Contingencies, Old Roles", Joint Forces Quarterly,
1993).
Dengan
demikian, persepsi ancaman, orientasi postur dan gelar kekuatan TNI perlu
memprioritaskan pembangunan ke arah outward
looking. Pembangunan postur dan gelar kekuatan TNI itu juga perlu
memperhatikan dan mempertimbangkan realitas kondisi geografis Indonesia
sebagai negara kepulauan/negara maritim.
Pembiaran postur, gelar kekuatan, dan persepsi
ancaman yang orientasinya lebih dominan inward looking tentu akan berpengaruh
pada ruang dan peluang militer dalam politik. Secara konsepsi, jika persepsi
ancaman internal terhadap negara lebih dominan ketimbang ancaman eksternal,
ruang dan kecenderungan bagi militer untuk berpolitiknya tinggi. Akan tetapi,
sebaliknya, jika persepsi ancaman eksternal terhadap negara lebih dominan
ketimbang ancaman internal, ruang dan kecenderungan bagi militer untuk
berpolitiknya rendah. Dengan kata lain, sebuah negara yang menghadapi ancaman
eksternal tinggi dan ancaman internal rendah mempunyai hubungan sipil-militer
yang paling stabil. Sebaliknya, negara yang menghadapi ancaman eksternal yang
rendah dan ancaman internal yang tinggi akan mempunyai kontrol sipil yang lemah
(Michael C Desch, Politisi Vs Jenderal,
Rajawali Press, Jakarta, 2002).
Realitas
geopolitik dan geostrategi Indonesia hari ini sesungguhnya menggambarkan
berbagai dimensi ancaman eksternal,
baik itu bersifat tradisional maupun nontradisional yang mengancam Indonesia,
yang tentu akan berpengaruh pada pelibatan militer untuk menghadapinya. Hal
yang perlu segera disiapkan oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan militer
adalah segera menyiapkan strategi dan kekuatan TNI untuk menghadapi
kemungkinan terburuk terkait konflik Laut China Selatan (LTS). Meski diplomasi menjadi pilihan terdepan
untuk menghadapi konflik LTS, kemungkinan terburuk berupa perang perlu
dipikirkan dan dihitung oleh Kemhan yang tentunya berpengaruh pada kesiapan
kekuatan TNI untuk menghadapinya. Selain itu, persoalan sengketa perbatasan
Indonesia dengan sejumlah negara tetangga juga menjadi masalah buat
Indonesia. Persoalan pembajakan dan kejahatan ilegal lainnya di wilayah laut
perlu menjadi perhatian khusus mengingat kejahatan itu terus terjadi berulang
kali dan merugikan Indonesia.
Lebih dari
itu, upaya menghadapi ancaman terorisme di luar negeri seperti mencari
orang-orang Indonesia yang tergabung dalam aksi terorisme NIIS di Suriah
perlu menjadi perhatian Kemhan dan TNI. Semestinya Kemhan dan militer perlu
melakukan operasi intelijen ke Suriah untuk mencari dan menemukan orangorang
Indonesia yang tergabung dalam aksi terorisme NIIS. Untuk kepentingan ini,
Presiden hanya perlu membuat keputusan politik negara sesuai Pasal 7 Ayat 2
dan Ayat 3 UU TNI No 34/2004. Terakhir, mengingat pengalaman militer
Indonesia mendapatkan nilai positif di dunia terkait dengan operasi-operasi
perdamaian PBB, sudah semestinya orientasi pertahanan dan pembangunan pasukan
perdamaian perlu ditingkatkan.
Dengan
demikian, apa yang disampaikan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas agar
postur dan gelar kekuatan TNI difokuskan pada wilayah terdepan Indonesia
untuk menjaga wilayah pinggiran dan perbatasan tentu sudah tepat. Apalagi kebijakan politik Jokowi mengarahkan
pada pembangunan kekuatan maritim sehingga penting buat Kemhan untuk segera
menata kembali postur pertahanan negaranya. Meski strategi pertahanannya
adalah strategi pertahanan berlapis untuk menghadapi kondisi perang di mana
upaya menghadapi ancaman perlu melibatkan tiga kekuatan yang terintegrasi,
yakni Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara, skala prioritas
modernisasi alutsista ke depan perlu fokus untuk membangun kekuatan AL dan AU
dengan tak meninggalkan pembangunan kekuatan AD. Konsekuensinya, anggaran
modernisasi alutsista perlu diprioritaskan pada pembangunan AL dan AU.
Langkah
perubahan postur dan gelar kekuatan TNI itu perlu dilandasi oleh kebijakan
pertahanan yang komprehensif mulai dari pembentukan kebijakan yang terkait dengan
strategi pertahanan negara hingga postur pertahanan negara dengan melihat dan mengevaluasi kembali
produk strategis bidang pertahanan negara yang sudah di buat. Dengan berpijak
pada kebijakan tersebut, penyiapan sarana dan prasarana, infrastruktur, anggaran,
wilayah pertahanan, dan jaminan kesejahteraan prajurit juga perlu disiapkan.
Semoga perintah Presiden itu dilaksanakan oleh para pembantunya di kabinet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar