Menjaga
Hakim Konstitusi dan Lembaga Peradilan
Arief Hidayat ;
Ketua Mahkamah Konstitusi; Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 14
Februari 2017
Pada Kamis, 26
Januari 2017 pagi, tidak hanya jagat dunia hukum, tetapi publik kembali
dikagetkan dengan berita tertangkap tangannya seorang hakim konstitusi
berinisial PAK oleh KPK. Wajah MK pun kembali tercoreng untuk kedua kalinya
pascatertangkapnya AM yang kala itu menjabat sebagai ketua MK. Berbeda dengan
AM yang tersandung transaksi suap pilkada, PAK diduga tersandung kasus suap
perkara pengujian UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Meskipun hal itu merupakan tindakan individual, lembaga MK tetap memikul
beban berat dan sangat mencederai nama baik MK. Terlebih sebentar lagi MK
akan mengadili kasus sengketa hasil pilkada serentak.
Oleh karena
itu, diharapkan Presiden segera melakukan seleksi untuk memilih hakim
konstitusi pengganti PAK. Seiring dengan itu, ada permasalahan klasik ihwal
”pengawasan hakim konstitusi” yang acap kali muncul dan menguat manakala
terkait dengan hakim konstitusi yang tersandung kasus hukum, terutama kasus
tindak pidana korupsi. Saat ini publik juga menilai adanya kebutuhan yang
mendesak untuk mengawasi MK melalui pintu KY. Akan tetapi, upaya untuk
”mengawasi” MK melalui pintu KY hampir dipastikan selalu kandas di tengah
jalan.
Oleh karena MK
selalu saja membatalkan norma yang memuat pengawasan MK oleh KY. Walhasil
hingga saat ini KY tak memiliki kewenangan untuk mengawasi MK. Sikap MK ini
didasari oleh Putusan Nomor 005/PUU-IV/ 2006, tanggal 23 Agustus 2006 dan
Putusan Nomor 1-2/PUUXII/ 2014, tanggal 13 Februari 2014, di mana MK telah
memutuskan bahwa Hakim MK tidak terkait dengan KY yang mendapatkan kewenangan
berdasarkan Pasal 24B UUD 1945.
Berdasarkan
kedua putusan ini, setidaknya terdapat dua alasan mengapa KY tidak didesain
untuk ”mengawasi” MK. Pertama, berdasarkan penafsiran sistematis atas
pasalpasal dalam konstitusi. Posisi KY berada pada Pasal 24B UUD 1945,
sedangkan MA berada pada Pasal 24A UUD 1945 dan posisi MK berada pada Pasal
24C UUD 1945 yang letak pengaturan pasalnya satu tingkat berada di bawah KY.
Keberadaan
pengaturan posisi pasal-pasal ini menyirat makna bahwa KY didesain untuk
”mengawasi” hakim di lingkungan MA dan KY tidak didesain untuk ”mengawasi”
MK. Akan tetapi, tidaklah berarti ”pengawasan” terhadap MK diabaikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 27A ayat (2) UU Nomor 8/ 2011 tentang Perubahan
UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto UU Nomor 24/2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, lembaga yang diberikan kewenangan untuk menjadi
”pengawas” MK adalah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang bersifat
ad hoc yang akan bekerja tatkala ada dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman
perilaku hakim.
Namun, dalam
perkembangannya, terutama pascatragedi konstitusional yang melibatkan AM
sebagai ketua MK dalam skandal suap perkara pilkada, dipandang perlu dilakukan
rekonstruksi untuk mendesain ulang mekanisme ”pengawasan” terhadap Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena itu, saat ini telah terbentuk Dewan Etik Hakim
Konstitusi sebagai lembaga permanen dan independen. Kedua, menghindari
konflik kepentingan (conflict of
interest).
Apabila KY
diberikan kewenangan mengawasi MK, hal ini berpotensi menimbulkan konflik
kepentingan manakala KY berkedudukan sebagai pihak dalam sengketa kewenangan
lembaga negara yang menjadi domain kewenangan MK. Dalam kondisi ini, MK akan
”tersandera” karena lembaga pengawasnya turut menjadi pihak dalam sengketa
yang harus diputus olehnya. Hal ini jelas berpotensi mereduksi independensi
dan imparsialitas MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
merdeka berdasarkan Pasal 24 UUD 1945.
Selain dijaga
oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi,
MK juga telah bersinergi membangun sistem pengawasan eksternal. Hal ini
dibuktikan dengan adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara MK dengan
KPK sehingga peristiwa ”OTT” hakim konstitusi PAK merupakan satu keberhasilan
dari sistem ini. Oleh sebab itu, instrumen untuk menjaga dan menegakan
kehormatan, keluhuran martabat, dan kode etik Hakim Konstitusi telah
terbangun dengan baik sehingga hal ini menafikan pendapat bahwa MK alergi
terhadap ”pengawasan” eksternal.
Hal yang perlu
dipahami bersama adalah pola ”pengawasan” yang berbeda antara MA dengan MK.
Dalam konteks ini, MK tidak dapat dipaksa ”diawasi” oleh KY, karena jika
demikian, maka yang terjadi adalah sebuah bentuk penyelundupan hukum. Hal
tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUUIV/
2006 dan Putusan Nomor 1- 2/PUU-XII/2014.
Jika memang
”pengawasan” eksternal sebagaimana yang berlaku saat ini belum mencukupi,
maka terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh, yaitu: (i) menjadikan
Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagai lembaga independen dan mandiri yang
berwenang menjaga integritas hakim konstitusi seperti halnya Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU); (ii) melakukan
perubahan UUD 1945 dengan meletakkan posisi kewenangan KY setelah kewenangan
MA dan MK. Artinya, posisi KY harus diletakkan pada Pasal 24C setelah Pasal
24A yang mengatur tentang MA dan Pasal 24B yang mengatur tentang MK.
Selain itu,
perlu dinyatakan secara tegas pada perubahan Pasal 24 UUD 1945 bahwa objek
kewenangan KY meliputi pula hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi. Di
sisi lain, terdapat salah kaprah mengenai kata ”pengawasan” yang sering kali
digunakan terhadap lembaga peradilan. Dalam Pasal 24B UUD 1945 yang mengatur
tentang Komisi Yudisial, menyatakan, ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim”.
Dalam pasal
ini ditegaskan bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan ”menjaga dan
menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” dan bukan
”mengawasi”. Perbedaan kata ”menjaga” dan ”mengawasi” membawa implikasi hukum
yang berbeda. Dalam perspektif bahasa, kata ”menjaga” dipandang lebih elegan
dan komprehensif ketimbang kata ”mengawasi”. Selain itu secara filosofis,
terdapat dua faktor yang menyebabkan penggunaan kata ”menjaga” lebih baik
daripada kata ”mengawasi, yaitu: (1) Kata ”menjaga” memuat persepsi
pencegahan, sedangkan kata ”mengawasi” memuat persepsi penindakan; (2) Kata
”menjaga” memuat persepsi ”koordinatif”, sedangkan kata ”mengawasi” memuat
persepsi ”subordinasi”.
Oleh karena
itu dalam konteks peradilan, para pengubah UUD 1945 menentukan bahwa dalam
Pasal 24B UUD 1945 yang dipilih adalah kata ”menjaga” sebagai pilihan
nomenklatur daripada kata ”mengawasi”. Dalam struktur peraturan perundang-undangan,
konstitusi merupakan produk hukum tertinggi (the supreme law of the land) sehingga semua produk hukum yang
berada di bawahnya wajib mengikuti ketentuan yang secara tegas ditentukan
dalam UUD 1945. Begitu pula terhadap kata ”menjaga” yang mesti digunakan
daripada kata ”mengawasi” karena UUD 1945 menentukan demikian.
Dalam
perkembangannya, kata ”menjaga” ini kemudian pernah ditafsirkan oleh
pembentuk undang-undang menjadi kata ”mengawasi” sebagaimana tertuang dalam
Pasal 20 UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial, yang menyatakan, ”Dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi
Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam
rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim”.
Pasal inilah
yang kemudian dibatalkan oleh MK karena ternyata dalam praktik, Komisi
Yudisial melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim melalui penilaian
terhadap putusannya. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945,
asasres judicata pro veritate habetur, dan asas universal yang menyatakan
bahwa putusan pengadilan tidak dapat diubah kecuali melalui putusan
pengadilan itu sendiri.
Dengan
demikian kata ”menjaga” kini mesti digunakan dan dipopulerkan dalam dunia
peradilan ketimbang kata ”mengawasi” karena hakim sebagai ”vicegerent” di
muka bumi harus kita jaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilakunya
dan bukan diawasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar