Hubungan
Indonesia-Amerika di Era Trump
Dave Laksono ;
Anggota Komisi Luar Negeri DPR RI
|
KORAN
SINDO, 14
Februari 2017
Pasca
pelantikan Donald Trump sebagai presiden Amerika, saat ini arus protes
terhadap berbagai kebijakan kontroversial Trump sedang meluas di beberapa
negara bagian di Amerika. Kasus teranyar, Presiden Trump beberapa waktu lalu
meneken aturan larangan masuk warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas
muslim ke Amerika Serikat, yaitu Suriah, Irak, Iran, Yaman, Libya, Somalia,
dan Sudan. Selain itu, Trump juga menghentikan penerimaan imigran di mana
secara khusus protokol tersebut melarang sementara pengungsi Suriah masuk ke
Amerika. Akibat itu, terjadi pengurangan jumlah pengungsi yang semula sekitar
110.000 menjadi hanya 50.000.
Namun, putusan
pengadilan banding Amerika Serikat telah mengalahkan gugatan pemerintahan
Presiden Donald Trump terkait larangan masuk bagi warga dan pengungsi dari
tujuh negara mayoritas muslim. Meluasnya aksi protes terhadap Trump terutama
dipicu oleh isu hak sipil yang dinilai ”tidak manusiawi” bagi pengungsi dan
korban kekejaman ekstremis. Namun, Trump berdalih langkahnya semata-mata demi
membantu melindungi warga Amerika dari serangan terorisme.
Ia juga
menegaskan larangan itu bukan mengenai muslim atau nonmuslim, tetapi soal
keamanan. Terlepas dari dalih yang disampaikan Trump, yang pasti Trump telah
memulai suatu era pemerintahan baru di Amerika dengan sejumlah kebijakan
kontroversial yang sedang mendapat kecaman dari warga negara Amerika sendiri.
Kontroversi Trumpdiprediksiakanterusberlanjut, terutama menyangkut kebijakan
luar negeri Amerika dalam bidang politik, keamanan, dan perdagangan.
Indonesia
sebagai negara yang mempunyai pengaruh yang begitu besar di kawasan Asia
Tenggara dan memilikihubungankemitraanyang dekat dengan Amerika juga tidak
akan lepas dari kontroversi Trump, terutama menyangkut isu terorisme,
hubungan militer, dan perdagangan.
Menerka Hubungan Dua Negara
Dalam
kunjungan kerja saya saat ini di Amerika sejak 8 Februari lalu, saya sudah
bertemu beberapa stakeholder di Amerika yakni beberapa anggota Kongres dan
Senat dari Partai Republik dan Demokrat, termasuk juga dengan para analis
politik untuk Pemerintah Amerika. Pada prinsipnya, mereka mempunyai visi masa
depan untuk membangun kemitraan yang lebih strategis lagi dengan Indonesia di
era pemerintahan Jokowi dan Presiden Donald Trump yang sudah dimulai di era
pemerintahan SBY.
Indonesia
diyakini dapat menjadi motor pendorong perdamaian di negara-negara muslim
sekaligus menjadi jembatan penghubung negara-negara Barat dengan
negara-negara Islam. Indonesia juga diyakini akan mempunyai andil yang besar
dalam upaya pemberantasan terorisme setelah sukses menyelesaikan kasus Bom Bali.
Di sisi lain, dengan model demokrasi yang saat ini sedang dikembangkan,
Indonesia dapat menjadi percontohan negara muslim yang demokratis bagi dunia
internasional.
Amerika juga
mempunyai harapan agar Indonesia dapat memainkan peranan yang signifikan
dalam mendorong penyelesaian sengketa Laut China Selatan. Namun, menjadi
pertanyaan, sejauh mana hubungan kemitraan Indonesia-Amerika dapat
berlangsung? Ini masih menjadi teka-teki, terutama di beberapa kalangan di
Amerika, termasuk juga masyarakat Indonesia yang berada di Amerika mengingat
ciri khas kepemimpinan Trump yang penuh dengan kontroversi.
Dalam konteks
kebijakan luar negeri, kepemimpinan Donald Trump akan memengaruhi hubungan AS
dan Indonesia. Kebijakan Trump akan lebih fokus untuk penguatan industri
dalam negeri. Kebijakan ini akan berdampak besar terhadap cara Amerika
menjalankan kepentingan bisnisnya dengan seluruh negara dunia. Sejak
memenangkan pemilu, Trump mengancam untuk menarik diri dari pakta-pakta kerja
sama perdagangan bebas seperti Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara
(North American Free Trade Agreement / NAFTA) dan Perjanjian Kemitraan
Trans-Pasifik (Trans Pacific Partnership Agreement/ TPPA).
Ia bahkan
menyarankan AS menarik diri dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kebijakan
Trump yang cenderung antiglobalisasi dan antiliberalisasi perdagangan
dikhawatirkan akan menyulut perang dagang antarnegara yang ujungnya bakal
menimbulkan ketidakstabilan ekonomi global. Dampak kebijakan perdagangan
Trump bagi ekonomi Indonesia berpotensi memukul industri dalam negeri karena
masih banyak industri dalam negeri yang menggunakan bahan baku impor dan
berpotensi memperlemah ekspor Indonesia ke Amerika. Padahal, hubungan ekonomi
Indonesia-Amerika selama ini begitu strategis.
Berdasarkan
data BPS, nilai ekspor Indonesia ke Amerika pada 2016 mencapai USD11,59
miliar atau 11,5% terhadap total ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia ke
Amerika lebih besar dibandingkan ekspor Indonesia ke Jepang, China, India,
dan Singapura yang merupakan negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia.
Begitu juga kebijakan Trump yang akan memangkas pajak korporasi tentu akan
menarik perusahaan-perusahaan Amerika untuk lebih banyak berinvestasi di
negaranya sendiri. Dampaknya, alokasi investasi korporasi- korporasi Amerika
di negara- negara lain termasuk Indonesia bisa jadi akan berkurang.
Padahal,
menurut data BKPM, pada 2016 penanaman modal asing (PMA) dari AS cukup
signifikan dengan realisasi investasi langsung Amerika di Indonesia mencapai
USD430,4 juta atau setara Rp5,7 triliun. Kebijakan Trump di bidang
perdagangan yang antiglobalisasi dan perdagangan bebas oleh anggota Kongres
dari Partai Demokrat dan para analis politik di Amerika dinilai akan
melemahkan ekonomi Amerika karena selama ini Indonesia merupakan negara mitra
kerja sama ekonomi yang strategis.
Memperkuat Diri
Tentu menjadi
pertanyaan, lalu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi kontroversi
kebijakan Trump? Jawabannya, kita harus membangun fundamental ekonomi dalam
negeri menjadilebihkuat agartidakmudah terguncang oleh kontroversi kebijakan
Trump. Fondasi perekonomian pun harus dibangun dengan kekuatan sendiri. Dalam
beberapa kesempatan rapat Komisi I dengan menteri luar negeri dan beberapa
kementerian terkait, saya kerap kali menyampaikan untuk menghadapi kebijakan
Trump yang mengisolasi Amerika dari perdagangan internasional, Indonesia
sudah harus mempunyai industri dalam negeri yang kuat agar tidak tergantung
impor bahan baku dari Amerika.
Seperti AS
yang inward looking, Indonesia juga harus fokus membenahi industri nasional
sehingga ketergantungan pada asing semakin berkurang. Rangkaian kebijakan
besar yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi dengan mengeluarkan paket
kebijakan ekonomi hingga 14 jilid harus direalisasikan secara lebih nyata
agar paket-paket kebijakan tersebut dapat memperbaiki iklim bisnis di dalam
negeri, mulai dari kemudahan izin berinvestasi hingga kepastian hukum dalam
berusaha.
Saya yakin,
jika fundamental perekonomian Indonesia kuat, kita bisa menentukan nasib kita
sendiri dan tidak akan terpengaruhi gaya kepemimpinan Trump yang kontroversial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar