Melemahnya
Keterampilan Sosial
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2017
PERAN
media sosial, tak bisa dimungkiri, memengaruhi hampir setiap sudut kehidupan
masyarakat kita. Bisa dipastikan hampir seluruh lapisan masyarakat terkena
dampak negatif dari media sosial. Yang lebih menyedihkan ialah melemahnya
kontrol sosial dan terduksinya nilai-nilai kegotongroyongan yang guyub ke
dalam sektarianisme berjenis agama dan ideologi tertentu. Media sosial,
pendek kata, membuat mekanisme sosial masyarakat Indonesia hampir terpecah
jika tidak dilakukan program keterampilan sosial, terutama bagi anak-anak
sekolah yang rentan dan rawan dengan kemudahan memperoleh informasi.
Antisosial?
Di
tengah marak dan vulgarnya kampanye menjelang pilkada serentak yang tak
jarang mempertontonkan rasa kebencian, curiga, fitnah, egoisme berlebih,
ingin menang sendiri, kasak-kusuk cari teman, mengidentifikasi lawan,
menaksir strategi, hingga memetakan kemiskinan rakyat untuk kebutuhan parpol
dan golongan tertentu, kesempatan untuk melihat pengaruh sosial terhadap
dunia pendidikan sangat jarang dilakukan. Secara kasatmata jarang sekali ada
komentar dari tokoh kita yang menggambarkan pemilu dan kegiatan kampanye
sebagai sebuah kompetisi yang sehat, yakni kejujuran menjadi panglimanya,
saling bersimpati, dan menuangkan banyak empati di ruang publik menjadi tolok
ukur sebuah keberhasilan. Maka tak heran jika anak-anak di sekolah punya
keputusan dan pandangan yang berbeda dari apa yang dipikirkan para politikus.
Fenomena
dan pandangan anak-anak sekolah menengah kita yang antisosial boleh jadi
merupakan hasil sebuah produk dari pengaruh sosial sistem kepartaian kita.
Diam-diam anak-anak di sekolah sedang mencerna dengan kritis fakta sosial
yang terjadi. Jangan-jangan fakta sosial dan lingkungan pendidikan kita malah
dapat membuat anak-anak berpikir secara liar dan bebas dalam membangun sebuah
kesimpulan. Non schola sed vita
decimos! (Only the educated are
free), demikian Epictetus berkata suatu ketika. Jika ini yang terjadi,
pendidikan politik kita dapat dikatakan berhasil meningkatkan taraf
kecerdasan sosial anak-anak kita meski pilihannya tidak lazim, yaitu menjadi
antisosial dan antipartai.
Pengaruh
sosial dapat terjadi kapan saja ketika kita melakukan sesuatu, baik karena
keberadaan sesuatu (nyata atau dalam bayangan) orang lain, atau sebaliknya.
Manusia ialah makhluk sosial. Oleh karena itu, semua akan selalu dipengaruhi
orang lain. Itulah barangkali yang terjadi dengan anak-anal kita yang
antisosial dan memilih kekerasan sebagai jalan keluar dari kepenatan di
sekolah dan di rumah. Dalam bahasa teori atribusi, faktor-faktor lingkungan
yang berinteraksi dengan faktor-faktor disposisional dalam menentukan
perilaku, membuat anak-anak kita berkesimpulan sederhana tanpa melakukan
analisis dan kajian lagi. Dalam konteks ini, pengaruh sosial dapat berakibat
buruk di satu sisi, tetapi sekaligus dapat menjadi sebuah kekuatan sosial
baru yang jangan-jangan berubah wujud menjadi partai baru, suatu ketika.
Jika
kekuatan sosial diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah tingkah laku orang
lain, pengaruh cara berpikir anak-anak kita di sekolah sangat boleh jadi akan
memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk memengaruhi teman sejawatnya. Kekuatan
sosial dapat berasal dari pemilikan akses terhadap berbagai sumber daya
(ganjaran, hukuman, informasi, keahlian), dari posisi atau perannya (kekuatan
absah), atau dari kondisi yang disukai dan dikagumi (kekuatan rujukan).
Melihat kecenderungan anak-anak kita di sekolah yang akan golput, kekuatan
rujukan dan kekuatan informasional merupakan pola yang sedang berlangsung
saat ini.
Kepada
para pendidik dan orangtua, apalagi para politikus, jangan sekali-sekali
mencoba melarang apa yang sedang diputuskan oleh anak-anak kita saat ini
untuk antisosial dan lebih senang dengan gadget di tangannya. Serangkaian
penelitian yang dilakukan di Universitas Duke oleh Brehm (1966) menelaah
gejala yang disebutnya reaktansi. Gagasan yang mendasari penelitian Brehm ialah
bahwa orang cenderung mempertahankan kebebasannya untuk bertindak.
Bila
kebebasan ini terancam, dia akan berusaha semampu mungkin untuk
memulihkannya. Jika peningkatan tekanan dipandang sebagai ancaman terhadap
kebebasan bertindak, orang akan melindunginya dengan menolak taat atau dengan
melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang diminta. Kita sering
menyaksikan seorang anak yang ketika disuruh melakukan sesuatu mengatakan
'tidak mau'. Namun, ketika orang tuanya mengatakan 'baik, kamu tidak usah melakukannya',
anak itu justru pergi dan melakukan apa yang diminta.
Solusi
Apa
yang bisa dilakukan para guru untuk mengantisipasi munculnya sikap
antisosial? Penting bagi mereka untuk memahami konsep kunci Skillstreaming,
sebuah bentuk intervensi psycho-educational
yang berakar pada ilmu psikologi dan pendidikan. Proses skillstreaming
menitikberatkan pada empat instruksi langsung prinsip pembelajaran; modeling,
bermain peran, umpan balik dan transfer. Keempat prosedur pembelajaran
tersebut telah lama digunakan untuk mendidik berbagai jenis perilaku
prososial murid di sekolah-sekolah yang memiliki kesadaran tentang pentingnya
perilaku prososial siswa yang positif dan diinginkan.
Selain
itu, ada juga empathic encouragement
(memberi dorongan semangat dengan empati) ialah konsep kunci pertama dari
mekanisme skillstreaming. Semua guru pasti sepakat bahwa memberi dorongan
semangat dengan empati adalah sebuah strategi teramat penting. Di mana
seorang guru dapat menunjukkan bahwa ia memahami kesulitan yang dihadapi
murid dan selanjutnya menyarankan murid untuk berpartisipasi seperti yang
diperintahkan. Threat reduction
(mengurangi ancaman/gangguan) merupakan mekanisme kedua yang juga penting
untuk diketahui para guru. Teknik ini akan membantu untuk mengatasi kegelisahan
murid.
Mekanisme
ketiga dari skillstreaming ialah prompting, yaitu sebuah upaya guru untuk
menganjurkan/menyarankan sesuatu kepada siswa. Prompting dapat mencegah murid
bersikap mengacau atau menganggu yang disebabkan rasa takut gagal. Salah satu
fungsi utama seorang guru adalah untuk mengantisipasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi murid selama dalam kelompok dan bersiap untuk menganjurkan
tanggapan yang diharapkan. Akhirnya adalah simplifying (penyederhanaan), cara
lain untuk meningkatkan kemungkinan murid berhasil sukses dalam kelompok
skillstreaming.
Para
guru harus menyadari bahwa kemampuan murid untuk menyelesaikan beberapa tugas
khusus berbeda-beda. Beberapa murid mungkin menghadapi kesulitan mengikuti
serangkaian perintah, atau memahami perintah-perintah, atau mengetahui apa
yang harus dikatakan dalam dan selama proses umpan balik. Karena itu
memanfaatkan saat-saat yang tepat untuk memberi pelajaran (capturing teachable moments) dengan
menggunakan metode skillstreaming akan berguna untuk mengelola kelompok yang
memiliki problem perilaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar